Happy Reading!
•••
Entahlah, selama masa kehamilan nya, perasaan Lisa begitu sensitif. Seperti sekarang ini ia sedang meringkuk diatas kasur dengan wajah yang basah. Air matanya terus mengalir sembari memeluk guling.
Pikirannya melayang menjadi negatif memikirkan Bastian. Tak biasanya suaminya itu seperti ini.
Waktu bahkan sudah menunjukkan pukul siang hari. Tetapi tak ada kabar dari pria itu.
Kret...
Dengan cepat ia mengusap wajahnya agar tak ketahuan jika sedang menangis saat mendengar suara pintu terbuka.
Ia masih tetap berada diposisinya tak bergerak sedikit pun berpura-pura sedang terlelap.
Lisa bisa merasakan kasurnya sedikit goyang karena ada yang naik.
Tak berapa lama kemudian ia merasakan sebuah pelukan hangat dari belakang membuat jantungnya berdegup kencang.
Itu Bastian!
Ia pikir yang masuk adalah ibunya atau mungkin ayahnya. Ia bisa merasakan deruan nafas berat pria itu membuat hatinya terasa sesak karena terus memikirkan hal-hal aneh.
Perlahan tapi pasti ia berpura-pura seakan baru bangun sembari menggerakkan badannya dengan pelan membuat Bastian merenggangkan pelukannya agar wanita itu bisa berbalik menghadap padanya.
Lisa masih bergeming membuat mereka hanya melemparkan tatapan dalam diam.
"Darimana?" Tanyanya dengan suara dengan sedikit serak.
Bastian mengusap rambut Lisa lembut. Mata pria itu terlihat merah dan bengkak seakan tak tidur sama sekali.
"Nggak darimana-mana..." Jawabnya membuat Lisa tak ingin bertanya lebih lanjut. Ia tak ingin disebut posesif oleh pria itu karena dengan mendengar jawaban suaminya itu itu membuat ia berfikir jika Bastian tak ingin menjawabnya. pertanyaannya.
"Kamu sudah makan?"
"Sudah." Jawabnya sembari mengecup pipi Lisa lembut.
Entahlah, hati Lisa terasa remuk, sesak bahkan rasanya ia seperti benar-benar hancur. Ia takut jika Bastian bosan padanya karena tubuhnya tak seperti dahulu.
Karena perubahan hormon akibat sedang mengandung membuat Lisa merasa tubuhnya benar-benar hancur.
Well, bagaimana tidak, ia merasa seluruh tubuhnya seakan terasa begitu gatal membuat ia selalu menggaruknya hingga meninggalkan bekas hingga setiap ia melirik ke kaca, tubuhnya terlihat sudah tak menarik lagi.
Belum lagi wajahnya yang mulai ditumbuhi jerawat membuat ia menjadi benar-benar takut jika Bastian akan berpaling darinya.
"Kok, tumben cepat bangun tadi?" Tanya Lisa setelah berfikir panjang. Ia tak ingin malah terjebak oleh pikiran negatif nya sendiri.
Ia hanya takut apa yang ia pikirkan sungguh terjadi. Maka dari itu, ia hanya ingin memastikan.
Bastian bergeming. Ia ragu, ia takut jika Lisa salah paham. Tetapi ia tak mungkin juga berbicara jujur karena dari pertanyaan wanita itu membuat Bastian bisa menebak jika istrinya itu sudah tahu bahwa dirinya menghilang.
"Semalam dompetku ketinggalan dikantor, jadi aku balik kesana. Tapi, pas perjalanan pulang, ban mobilku malah bocor jadi mau nggak mau aku tidur dimobil nunggu sampai besok buat cari montir." Jelasnya dengan tenang tanpa ragu sedikitpun agar Lisa tak curiga.
"Terus kenapa nggak kasih kabar?"
"Hp-ku mati." Balasnya cepat.
Lisa menghembuskan nafas pelan. Hatinya masih merasa ragu. Namun ia tak ingin terlalu banyak berfikir jadi ia berusaha melupakan itu.
"Kenapa?" Tanya Bastian saat melihat Lisa menghembuskan nafasnya dalam sembari memejamkan matanya.
Wanita itu menggeleng sebagai jawaban membuat Bastian tak ingin bertanya lebih lanjut. Ia kembali memeluk wanita itu dengan erat.
Ia hanya berharap bahwa Lisa tak memikirkan hal-hal aneh tentangnya.
"Kok, ikut turun?" Tanya Jihan saat melihat Rayhan juga ikut turun dari mobil.
Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Mereka baru saja sampai di depan universitas yang menjadi tempat Jihan melanjutkan pendidikannya.
"Kenapa memangnya?" Tanya Rayhan balik membuat Jihan mengerutkan alisnya.
Hari ini ia tak membawa Axel karena Theo ingin menjaga nya. Well, mereka berharap jika Theo tak perlu menghindari kenyataan lagi tentang Rosita yang sudah meninggalkan nya dengan seorang anak.
"Nggak kerja?"
Mereka masih berdiri disisi kiri gerbang tepat didepan mobil. Banyak Mahasiswa dan Mahasiswi lalu lalang sembari melirik mereka.
Rayhan menggeleng polos. "Mau tungguin kamu aja disini."
"Yakin?" Tanya Jihan dengan wajah terkejut.
"Nanya mulu." Jawabnya lalu merangkul Jihan. "Dimana kelasmu?" Tanyanya lagi lalu menarik Jihan untuk masuk ke dalam.
"B-bang!!!"
"Kenapa? Kamu malu jalan sama aku?"
"B-bukan begitu... i-ini kan diwilayah kampusku..."
"Terus?"
Jihan mencebik sebal namun tetap berjalan. Ia langsung menundukkan kepalanya saat merasa dirinya menjadi tontonan disana.
Hell, bagaimana tidak, Rayhan tengah memakai pakaian formal dengan rambut yang begitu klimis membuat orang-orang disana langsung memperhatikannya.
"Gue dengar-dengar, tuh cwek jadi pelakor..."
Entahlah, itu orang sedang berbisik atau memang sedang menyindir Jihan secara terang-terangan. Hati Jihan langsung berdenyut perih.
Siapa lagi yang menyebarkan berita seperti itu? pikirnya.
"Anggap aja setan yang lagi bicara." Bisik Rayhan menenangkan membuat Jihan mengangguk pelan.
Apa benar dirinya seorang pelakor? Tidak. Bahkan ia tak pernah merasa menggoda Rayhan saat masih bersama mantan istrinya dulu.
Hhhh. Ia malah menjadi kepikiran tentang ucapan orang itu barusan.
"Gue yakin ini anak gue. Bukan anak Rayhan."
"Nggak usah ngomong sembarangan, deh. Gue lagi nggak mood."
'Tapi---"
"Sar... jangan buat gue tambah pusing karena lo bahas masalah itu terus."
Saat ini Kaisar tengah berkeliling kota Jakarta bersama Vanessa.
Wanita itu juga berhenti sementara untuk melakukan pemotretan mengingat kondisi tubuhnya yang terasa begitu lemas.
Tubuhnya juga terlihat menjadi lebih kurus karena kekurangan cairan.
Kaisar mendecih pelan. "Bukannya lo sendiri yang bilang kalau Rayhan itu mandul. Jadi, anak yang lo kandung bukan anak dia."
Vanessa memilih diam. Ia memalingkan wajahnya dari Kaisar dan memilih menghadap jendela.
"Anak yang lo gugurin waktu itu juga, kan, anak gue. Karena lo takut ketahuan pas lahir makanya lo gugurin dengan alasan fokus sama karir lo..." Sambung Kaisar lagi membuat kepala Vanessa semakin berdenyut sakit.
TBC