Happy Reading!
•••
"Lo sendirian disana? Memangnya om Theo lagi kemana?" Tanya Jihan seraya membetulkan earphone miliknya ditelinga.
Sudah beberapa hari ini temannya itu mengeluh akan sosok Theo yang selalu pulang larut malam dan bahkan hampir jarang kembali pulang padahal Rosita sudah mulai merasakan namanya mengidam.
"Siapa yang nelfon, dek?" Tanya Rayhan dengan suara berbisik. Sudah lebih dari seminggu semenjak dimana ia mengetahui jika Jihan membawa kemeja milik Kaisar membuat pria itu terus-terusan mengawasi gadis itu bahkan selalu bertanya jika ada yang mengirim pesan ataupun menelfon gadis itu.
Ia hanya ingin memastikan jika istrinya itu tak berkomunikasi dengan Kaisar karena insiden dimana Jihan tak sengaja mengotori pakaiannya.
"Tata." Balasnya dengan suara hampir terdengar berbisik membuat Rayhan mengangguk dan memilih melanjutkan aktivitas nya bermain gitar.
Well, selain menjadi pengusaha muda, ia juga memiliki banyak talenta sehingga tak dipungkiri lagi jika banyak wanita-wanita yang menyukai pria itu meski sudah berstatus menikah.
Ia kembali memetikkan jemariny pada senar gitar membuat Jihan sedikit menjauh karena tak mendengar jelas suara Rosita.
"Iya, gue heran deh. Terus, ya. kalau misalnya tetangga gue datang kerumah, dia langsung izin pergi ke rumah sakit. Padahal gue tau banget hari itu dia off." Jihan menghela nafas pelan mendengar itu.
Ada sedikit kecemasan akan dirinya pada temannya itu. Ia takut jika Theo memiliki wanita lain.
"Bang!" Jihan langsung berseru dengan nyaring saat merasakan earphone yang ia pakai ditarik oleh Rayhan. Pria itu sudah berhenti memainkan gitar dan malah duduk di depan gadis itu.
"Nanti lagi, ya, curhatnya, dek." Ucap Rayhan dengan sedikit nyaring lalu merebut ponsel Jihan lalu mematikan sambungan telfon sepihak membuat emosi di diri Jihan sedikit menaik.
"Apa?" Tanya Rayhan dengan wajah polosnya. Ah, ia terlalu lelah sehingga ia tak menyadari jika istrinya itu sedang marah.
Sungguh! Ia memiliki banyak pekerjaan namun ia lebih memilih mengerjakan nya dirumah karena ingin bersama istrinya itu. Tetapi tetap saja, waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam dan istrinya itu malah asik bertelfonan dengan temannya membuat ia merasa sedikit terabaikan.
"Tata itu lagi---"
"Sudah. Nggak usah ikut campur rumah tangga orang. Cukup jadi pendengar aja." Potong Rayhan cepat seolah-olah mengetahui apa yang ada dipikiran Jihan. "Ini sudah malam. Kamu nggak ada niatan mau nikmatin waktu bareng sama aku?"
"Bang... kan aku sudah bilang, aku masih belum siap." Balas Jihan kemudian setelah mengumpulkan cukup keberanian.
"Aku nggak minta itu. Aku---" Ucapan Rayhan terpotong karena ponselnya berdering membuat mereka berdua menoleh pada meja kecil yang tak jauh dari mereka yang dimana Rayhan meletakan ponselnya.
"Angkat dulu." Balas Jihan membuat Rayhan berdeham. Pria itu langsung bangkit dari sofa dan meraih ponselnya.
Segera ia mengangkat panggilan itu tanpa melihat nama penelfonnya. Sungguh! Ia sedikit kesal karena telah diganggu seperti itu.
"Halo? Ini sudah---"
"Ray, ternyata Vannesa lagi hamil muda dan baru memasuki usia 2 bulan."
"Maksudnya?"
"Dia lagi mengandung anak, lo."
Rosita mendesah pelan. Waktu sudah menunjukkan dimana waktunya tidur. Namun ia tak juga bisa tidur.
Ia benar-benar ingin makan sesuatu yang ada dipikirannya namun ia tak bisa keluar sendiri saat larut malam seperti ini.
Rosita juga sudah mencoba menghubungi Theo namun pria itu tak juga kunjung mengangkatnya.
Ia menjadi tak enak karena telah mengganggu waktunya Jihan dan Rayhan. Ah, sial! Firasatnya benar-benar tak enak.
Rosita jadi bingung akan perubahan Theo seminggu ini.
KRING!
Segera ia mengangkat ponselnya untuk melihat sang penelfon. Dan ternyata tertera nama Lisa disana.
"Halo, Lis! Gue kira lo sudah tidur!" Serunya langsung karena ia tadi menelfon temannya itu beberapa puluh menit yang lalu namun tak juga diangkatnya.
"Belum. Bastian lagi sakit. Jadi gue nggak bisa tidur soalnya dia menggigil terus." Balas Lisa dengan suara sendu membuat Rosita mengurungkan niatnya untuk bercerita tentang masalahnya. "Kenapa nelfon tadi, Ta?" Tanya Lisa lagi membuat lamunan gadis itu buyar.
"Kepencet aja, Lis."
"Dek, kayaknya aku nggak kerja besok." Rosita terdiam sejenak saat mendengar suara lesu Bastian yang sedang berbicara pada Lisa disebrang sana.
Sial! Lagi-lagi ia merasa tak enak karena telah mengganggu waktu mereka. Segera ia mematikan panggilan telfon sepihak dan mengirimkan pesan pada Lisa dengan beralasan ingin tidur.
"Kayaknya gue harus pergi ke rumah sakit aja daripada nungguin dia." Ucapnya bermonolog setelah berfikir panjang.
Ya, ia tak peduli jika suaminya akan memarahinya karena keluar malam. Tetapi hanya satu yang ia inginkan, ia ingin bertemu suaminya itu.
"Kamu mau sarapan apa?" Tanya Lisa sembari menatapan Bastian dengan cemas. Ia benar-benar tak tidur sepanjang malam karena melihat suaminya yang selalu menggodanya itu sedang jatuh sakit.
Badannya yang terasa panas membuat Lisa ingin menangis karena ia bingung harus melakukan apa. Ia benar-benar belum pernah mempersiapkan diri untuk belajar mengurus suami.
"Kamu nggak tidur?" Tanya Bastian dengan suara pelannya. Ditariknya tubuh Lisa dengan tangan lemasnya agar ikut tidur disebelahnya.
"Tidur, kok."
"Sepanjang malam aku nggak tidur. Jadi aku tau kalau kamu nggak tidur." Jawabnya dengan jujur karena ia benar-benar tak bisa tidur dengan nyenyak.
Meski matanya terpejam ia masih bisa merasakan situasi disekitarnya dimana istrinya itu mengganti kompres untuk kening nya pada setiap jam nya.
"Kamu sakit. Aku bingung. Aku nggak bisa apa-apa." Jawab Lisa dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Ia merasa tak ada guna nya. Bahkan ia tak bisa memasak makanan yang enak untuk suaminya itu.
"Hm..." Bastian mendesis pelan lalu memeluk tubuh gadis itu. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi.
"Pasti kamu nyesal nikahin bocah kayak aku." Cicit Lisa lagi. Air matanya berhasil lolos. Entahlah, hatinya menjadi benar-benar sensitif. "Aku nggak bisa ngurus kamu. Apa yang bisa kamu banggain dari aku?"
Oh ayolah! Bastian tak pernah mempermasalahkan hal itu meski ia ingin Lisa bisa mengurus dirinya dengan baik.
Tok... Tok...
Suara ketukan pintu membuat Bastian sedikit merenggangkan pelukannya. Ia bingung harus berkata apa lagi. Lisa masih menangis meski tak bersuara.
"Jangan nangis. Ada yang datang." Desisnya seraya mengusap wajah istrinya dengan lembut.
Lisa bergeming dan malah memeluk Bastian kembali tanpa memperdulikan suara ketukan pintu yang masih terdengar.
Damn! Pria itu benar-benar membuatnya gila.
TBC