•••
Happy Reading.
•••
Tak henti-hentinya Jihan menggerutu.
Ya, bisa-bisanya dengan Ray menghambur isi kamarnya agar ia membersihkannya.
"Eh! Itu kotor." Seru Ray menunjuk bawah ranjangnya.
Jihan tak berhenti mendumel namun tetap melakukan apa yang Ray minta juga.
"Han, baju gue berantakan di lemari." Ujarnya dan menunjuk lemari di dekatnya dengan dagu nya saat Jihan menoleh.
Jihan menarik napas dalam dan mendekati lemari itu untuk membereskan pakaian milik Ray.
Sial.
Padahal jelas sekali Jihan melihat lemari itu tadi tertutup rapat.
Namun kini yang ia lihat sekarang adalah lemari itu terbuka lebar dengan pakaian yang berantakan.
Ck.
Jihan tak bodoh--- ia tahu jika Ray sengaja melakukan itu agar menambah tugasnya lagi untuk bersih-bersih.
Namun ia masih bertahan untuk tak protes secara langsung.
Ya, karena tiga hari belakangan ini ia mendiami Ray dan tak berbicara dengan Ray semenjak kejadian malam itu.
Malam dimana Ray memeluknya dengan erat dan tak membiarkan Jihan keluar dari kamarnya.
Jihan benar-benar takut padanya.
Ia melirik Ray sekilas. Pria itu sekarang sedang menumpahkan isi tempat sampah kecil di lantai.
"Han, ini juga kotor." Teriaknya.
Bodoh.
Memangnya Jihan tak lihat jika ia baru saja menumpahkan isi sampah itu?
Jihan menarik napas dalam dan menggantung pakaian Ray dengan cepat lalu menutup lemari itu lalu mengambil sapu yang ada di dekat pintu dan menyapu sampah-sampah yang berserakan itu.
Ia masih bertahan untuk tak berbicara. Ia malas untuk berbicara pada pria itu bahkan sekadar untuk protes.
Matanya memanas. Ia benar-benar tak suka di perlakukan seperti itu.
Ia terus menyapu lantai itu dengan tak sabaran hingga merasakan tangan Ray memegang tangannya membuat ia susah menyapu.
Jihan tak ingin menoleh untuk sekadar melirik air wajah pria itu.
"Kamu marah sama saya?" tanya Ray dengan nada serius.
Jihan bergeming.
Ray menghela napas pelan.
Ternyata hanya dengan memeluk bisa membuat Jihan sampai mogok bicara.
Ia melepas tangannya dan mengusap puncak kepala Jihan lembut.
"Maaf ya..." ucapnya sungguh-sungguh.
Jihan mengangguk dan merasakan sebuah tangan memeluknya dari belakang.
"Entah kenapa--- saya jadi suka meluk kamu."
Sial.
Jihan bergeming dan mengumpat dalam hati karena tak berontak saat Ray melakukan itu.
TING NONG.
"A-ada tamu, b-bang." Ujarnya dengan harap Ray akan melepas pelukannya.
Perlahan namun pasti. Ray melepas pelukannya dan entah kenapa Jihan merasa kecewa.
Ray pamit untuk membukakan pintu dan membiarkan Jihan membersihkan kamarnya yang sengaja ia kotor kan.
Ia berjalan dengan gontai sembari bersiul menuruni tangga rumahnya.
Setelah sampai di lantai bawah ia langsung berjalan dengan cepat menuju pintu dan membukanya perlahan.
"Lama banget!" ketus orang itu membuat Ray langsung mendorong kepalanya dengan pelan.
"Ngapain disini?" tanyanya.
Bukannya menjawab, tetapi sang tamu malah masuk ke dalam rumah Ray tanpa permisi dengan muka bete.
Ray mendecak dan kembali menutup pintunya.
Jika tahu yang datang adalah Bastian--- mungkin ia lebih memilih tetap di lantai atas sambil memeluk Jihan tanpa memperdulikan bunyi bell rumahnya.
Ya, yang datang adalah Bastian.
Pria itu langsung menghempaskan tubuhnya di atas sofa dan melirik ke tangga saat merasakan sosok Jihan yang baru saja turun dari tangga.
"Eh! Han! Coba sini deh." Pintanya.
Jihan yang mendengar itu langsung mengerutkan dahinya dan melirik Ray sekilas dengan tatapan tanda tanya.
Tetapi Ray hanya membalas dengan mengangkat kedua bahunya malas.
"Kalau mau minum--- ambil sendiri." Ujar Ray dan menaiki anak tangga.
Ya, ia berniat memeriksa kamar nya kembali.
Jihan langsung mendekat dan memilih duduk di depan Bastian.
"Kenapa, om?" tanyanya langsung.
Bastian bergeming sejenak dan mencondongkan tubuhnya ke depan sembari memangku wajahnya dengan kedua tangannya.
"Lisa itu ... pernah pacaran, nggak?" tanyanya dengan nada serius lalu memundurkan tubuhnya kembali.
Jihan mendecak lalu menggelengkan kepalanya, "setahu saya sih, belum."
Bastian mengangguk dan mengusap dagu nya yang mulai ditumbuhi rambut tipis.
"Kira-kira Lisa bisa suka sama saya, nggak?" tanyanya lagi.
Ya, Bastian hanya ingin bertanya seputar tentang gadis itu.
Lisa membuatnya begitu penasaran dan membuatnya seperti orang bodoh.
Meski banyak perempuan yang sering ia goda--- tetapi hanya Lisa yang membuat ia begitu seperti orang bodoh yang sedang putus cinta.
Jihan berpikir sejenak dan menatap Sebastian dengan lekat.
"Nggak, om."
Sebastian mendecak dan menghela napas pasrah.
"Sepertinya saya harus membatalkan pernikahan itu." Gumamnya sendu.
Lagi pula tak bagus 'kan jika memaksa keadaan?
"Cupu lo! Masa gitu aja nyerah." Sahut Ray mengejek yang baru saja datang membuat Sebastian menatapnya kesal.
Sedangkan Jihan hanya bergeming. Ia tak tahu harus bicara apa.
Ia takut jika salah bicara. Tapi ia merasa iba juga melihat Bastian.
"Istri lo kapan pulang?" tanya Sebastian dengan maksud ingin mengalihkan pembicaraan.
Ray melirik Jihan yang menatapnya seakan menunggu pria itu menjawab pertanyaan Bastian barusan.
"Minggu depan."
TBC