Happy Reading!
•••
"Ya, ampun! Suami lagi kerja aja diikutin." Bisik salah seorang karyawati yang juga bekerja di tempat Bastian bekerja saat melihat sosok Lisa yang baru saja menyebrang untuk membeli minum di kedai yang berada disebrang kantor.
"Liat, tuh. Nggak pakai make-up lagi. Gila, ya, Bastian. Seleranya cewek begini." Bisiknya lagi setelah meneliti penampilan Lisa yang terlihat biasa saja.
Lisa yang merasa dilihati memilih memainkan ponselnya. Ia memiliki firasat bahwa mereka sedang bercerita aneh-aneh tentang dirinya.
"Kok pergi sendirian, sih, dek?" Seru Bastian yang tiba-tiba muncul dibelakang Lisa.
"Kan, kamu masih kerja." Balasnya lalu mengantongi ponselnya kembali sembari melirik pada bartender disana yang sedang membuat minuman yang ia pesan.
Bastian menghela nafas pelan. "Kan, bisa dilanjut nanti. Yang penting kamu nggak keluar sendirian." Ucapnya kemudian.
Semenjak keluar dari rumah sakit, Bastian tak pernah meninggalkan Lisa sendirian bahkan ia menyuruh istrinya itu untuk ikut pergi bekerja dengan dirinya.
Berlebihan? Ya Bastian tahu itu karena Lisa sering mengatakan bahwa sikapnya berlebihan.
Namun ia tak ingin Lisa kenapa-kenapa lagi.
"Bas!" Panggil salah seorang pria yang sedang makan bersama beberapa wanita yang Bastian kenali sebagai karyawati ditempatnya bekerja juga.
Bastian memainkan alisnya sebagai balasan.
"Sini, gabung!" Ajaknya lagi membuat Bastian melirik Lisa.
"Mau gabung nggak, dek?" Lisa bergeming sejenak. Ia ingin menolak namun merasa tak enak.
"Sembarang kamu aja." Balasnya dan bersamaan dengan itu juga minuman yang ia pesan selesai. Bastian langsung merebut minuman itu dan membayarnya lalu menarik tangan Lisa untuk bergabung dengan mereka.
Jujur saja Lisa merasa tak nyaman karena ia merasa bahwa daritadi mereka memerhatikan dirinya.
"Istri lo?" Tanya seorang wanita yang diketahui bernama Dian.
"Iya." Jawab Bastian dengan bangganya lalu merangkul Lisa yang sedang tersenyum tipis untuk menghilangkan rasa canggungnya.
"Gue kira lo bakal nikah sama Wilda." Celetuk salah seorang wanita yang bernama Anis yang langsung disenggol oleh Radit yang tadi mengajak Bastian bergabung.
"Sstt. Jangan nanya begituan." Tegurnya
Air wajah Lisa langsung berubah. Pikirannya mulai dipenuhi oleh wanita bernama Wilda.
Bastian yang menyadari perubahan raut wajah istrinya itu langsung memilih pamit darisana.
Dalam hati ia mengutuk karena wanita itu telah membawa-bawa nama Wilda didepan Lisa.
"Siapa itu?" Tanya Lisa setelah berkelahi dengan perasaanya sendiri untuk bertanya atau tidak.
"Maksudnya?" Tanya Bastian pura-pura tak tahu dan langsung memegang Lisa untuk segera menyebrang.
"Wilda. Dia siapa?" Tanyanya berusaha tenang. Padahal dalam hati itu merasa kesal dan kecewa.
Entahlah, ia bingung mengapa ia merasa kecewa.
"Bukan siapa-siapa, dek."
"Ngaku aja. Aku lagi malas debat, Bas." Jawabnya cepat membuat Bastian menghela nafas pasrah.
Ia bergeming sejenak sembari menuntun Lisa untuk kembali ke ruangannya. "Nanti aku jelasin." Balasnya kemudian.
Tak membutuhkan waktu yang cukup lama akhirnya mereka sampai. Bastian juga langsung menempatkan minuman yang tadi Lisa beli di atas meja.
"Jadi, dia siapa?" Tanya Lisa lagi. Ia begitu penasaran.
Sedangkan Bastian sendiri menjadi bingung harus memulai dari mana.
Ia memilih ikut duduk bersama Lisa disofa.
"Dia bukan siapa-siapa, dek."
Lisa mendecih. Ia menjadi merasa panas sendiri.
"Bukan jawaban itu yang mau kudengar." Ketusnya.
Geez!
"Jadi, jujur aja daripada aku tau dari orang lain." Sambungnya lagi.
"Dulu dia kerja disini." Ucap Bastian tiba-tiba.
"Siapa?"
"Wilda."
"Terus? Pernah pacaran sama dia?"
Bastian menggeleng pelan. Ia takut jika Lisa menjadi berfikir hal yang tidak-tidak.
"Nggak pacaran. Cuman langsung tunangan."
Lisa langsung terdiam mendengar itu. Ia tak bisa membohongi dirinya sendiri untuk berpura-pura tenang.
"Terus? Kenapa nggak nikah?"
"Dia pergi ke luar negri dan hilang kabar gitu aja."
Lisa kembali terdiam. Entahlah, ia merasa cemburu pada wanita yang bernama Wilda itu. Ia menjadi berfikir jika wanita itu kembali ke Indonesia, wanita itu akan kembali menjalin hubungan dengan Bastian kembali.
"Axel masih nangis, bang. Aku bingung harus gimana lagi." Ucap Jihan pada Rayhan melalui telfon.
"Nggak mungkin, kan, aku bawa ke kampus, bang." Ucapny lagi.
"Yaudah, bentar, aku coba telfon Theo dulu."
Sedangkan disisi lain, Theo langsung terbangun saat ponselnya berdering dengan keras.
Sial!
Dirinya masih merasa mengantuk meski sudah menunjukkan pukul siang hari.
"Om, ada telfon, tuh." Ucap seorang wanita yang tengah mengusap-ngusap punggung Theo dari belakang.
Ya, semalam Theo minum-minum disebuah club hingga berakhir disebuah hotel bersama wanita yang cukup ia kenali.
Theo menggeram pelan lalu bangkit dari posisinya membuat wanita itu ikut bangkit juga sembari menutup tubuhnya dengan selimut.
"Rayhan yang nelfon." Ucapnya sambil melirik wanita itu yang tengah menatapnya.
"Jadi, nggak lo angkat, om?"
Theo bergeming. Ia bimbang. Ia tahu pasti temannya itu ingin mengabarinya tentang anaknya.
Wanita itu langsung memeluk Theo dari belakang saat merasa tak ada jawaban.
"Gimanapun. Axel itu tetap anak lo, om."
Theo berbalik lalu menatap wanita itu.
"Gue tau, Feb. Cuman gue pengen nenangin diri gue dulu." Balasnya lalu mengusap wajah Febi dengan lembut.
Ya, wanita yang menemaninya saat ini adalah Febi yang merupakan sahabat Rosita dahulu.
Ah, entahlah. Ia tahu ini salah. Tetapi yang ia pikirkan, ia hanya ingin lari dari masalah.
"Ayo, dek." Ajak Bastian menyuruh agar Lisa segera masuk.
Waktu sudah menunjukkan pukul malam hari. Mereka baru saja selesai menikmati makan malam mereka disebuah kedai yang cukup terkenal di kota itu.
"Bas, itu kok mirip Febi sama Theo, ya?" Ucap Lisa tanpa mengalihkan pandangannya dari dua sosok wanita dan pria yang baru saja keluar dari sebuah hotel yang tak jauh dari posisi mereka.
Bastian langsung mengikuti arah pandang Lisa dan sontak ia juga ikut terkejut terlebih lagi melihat mereka sedang bergandengan tangan.
TBC