•••
Happy Reading.
Mohon maaf jika ada typo.
•••
"Gue bingung, deh." Ucap Jihan tiba-tiba setelah membuat temannya itu bingung karena hari ini terlihat tak fokus.
Febi melirik jam dinding di kelasnya.
"Tunda dulu ceritanya. Bentar bunyi bell biar puas gosip." Balas Febi semangat dengan cengiran membuat Jihan mendengus.
Ck.
Bisa-bisa ia lupa apa yang ingin ia ceritakan.
Jadi mau tak mau ia kembali fokus menyimak kedepan tentang materi untuk Ujian Nasional nanti.
Ia melirik Lisa yang malah sibuk berkirim pesan dengan cara menempatkan ponselnya di laci.
"Eh." Cetus Lisa tiba-tiba lalu menghadap kebelakang.
"Apaan?" tanya Febi dan Jihan bersamaan.
"Kalian kenal Rosita, nggak?"
"Rosita kelas sebelah?" tanya Febi balik yang di balas anggukan oleh Lisa.
Sedangkan Jihan memilih diam karena tak terlalu mengenal murid-murid di sekolahnya karena ia jarang memperhatikan orang lain.
"Kenapa dia?" tanya Jihan penasaran.
"Kenal, nggak?"
"Iya kenal." Jawab Febi kesal.
Lisa mengambil sebuah plastik hitam di dalam laci yang isinya cukup banyak.
"Itu apaan?" kini Jihan bertanya.
Lisa membetulkan posisi nya agar enak berbicara dengan mereka.
Untung saja sebangku nya adalah gadis tomboy yang Lisa asumsikan sebagai gadis cuek karena tak pernah menyinggung ketika Lisa dan teman-teman nya ber gosip atau bisa di bilang apa yang kadang mereka gosip kan tak pernah beber kemana-mana.
"Eits. Tunggu bell dulu." Sahut Febi kemudian saat Lisa ingin mulai berbicara.
Ia mendecak kesal.
Sialan memang.
Febi selalu begitu.
Karena katanya jika ber gosip saat KBM berlangsung tak enak karena harus seperti berbisik.
Dan tak menunggu waktu cukup lama, akhirnya bell istirahat berbunyi.
Murid-murid di kelasnya langsung banyak yang keluar termasuk teman sebangku Lisa.
Febi langsung mengajak mereka duduk di pojokan yang berarti duduk di atas lantai.
"Siapa yang mau cerita duluan?" tanya Febi buka suara.
Lisa melirik Jihan, "Jihan aja deh."
Febi mengangguk dan menatap Jihan lagi untuk memberi kode segera berbicara.
"Gue bingung kok malah takut kalau istri bang Ray pulang." Keluhnya membuat Lisa mengerutkan dahinya.
Sedangkan Febi entah ia harus bereaksi seperti apa.
"Lo suka sama Om Ray?" tanya Febi.
Jihan menggeleng.
"Halah dusta." Sahut Lisa.
Jihan mendengus.
Suka?
Masa iya?
Apa karena ia terlalu lama sendiri dan tak pernah dekat dengan pria lain hingga dengan mudah menyukai Ray?
"Jadi gimana dong? Gue takut kalau suka beneran."
Jihan melirik Febi yang terlihat berpikir.
"Yasudah nggak apa-apa. Gue dengar bang Ray cari istri ke-dua, kali aja lo bisa jad---"
"Eh si setan sembarangan ngomongnya." Sela Lisa memotong ucapan Febi membuat gadis itu menyengir.
Sedangkan Jihan hanya diam.
Istri kedua? Sinting.
"Yasudah, giliran lo lagi cerita." Febi berujar.
"Ah, ini." Ucap Lisa mengangkat isi plastik hitam yang sedari tadi ia pegang. "Titipan dari om Theo buat Rosita."
Ya, karena Theo menitipkan coklat itu pada Bastian agar menyuruh Lisa memberikan pada Rosita.
Lisa langsung mengeluarkan isinya.
Banyak beraneka rasa coklat disana dan beraneka merk coklat disana.
"Widih!" seru Febi yang ingin mengambil satu namun langsung di tepis oleh Jihan.
"Punya orang, bego!" ketus Jihan membuat Febi mendengus pelan.
"Gila, sih. Om Theo romantis banget." Seru Lisa terharu dan memasukkan kembali coklat-coklat itu kedalam plastik.
"Memangnya mereka pacaran?" kini Jihan bertanya.
Lisa mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban.
"Perutnya rada membesar. Kalian sadar nggak, sih?" Febi buka suara.
Jujur saja ia pernah mengenalkan Rosita pada Theo tapi setelah itu tak tahu mengenai hubungan mereka.
•••••••
Seminggu berlalu. Bastian tak menyangka akhirnya Lisa jinak juga meski harus di sogoki dengan pizza setiap hari.
Ya, hanya jinak tak memberontak atau pun marah-marah jika Bastian menjemputnya.
Sebastian jadi mengurungkan niatnya untuk membatalkan pernikahan itu.
"Lis ... kita mampir ke Toko Buku dulu ya?" ujar Bastian dan memutar stir-nya membuat alis Lisa mengkerut.
Toko Buku?
Bastian seorang kutu buku?
Atau Lisa yang salah dengar?
Ah, apa peduli Lisa?
Lisa hanya perlu membiasakan diri dengan kehadiran Bastian di hidupnya karena minggu depan ia akan melaksanakan Ujian Nasional dan setelah Ujian juga---- pernikahan mereka akan dilaksanakan.
Gila? Emang.
Meski Lisa menyukai cerita yang berbau perjodohan tetapi ia tak suka di jodohkan.
Eh, tapi--- mereka tak di jodohkan karena hanya Lisa yang di paksa untuk menerima pernikahan itu.
"Kalau kamu mau beli novel--- beli aja. Saya dengar kamu suka baca novel." Bastian berujar membuat Lisa berdeham.
"Dibayarin nggak, nih?"
Bastian mendecak. "Anak zaman sekarang pintar morotin ya." Gumam Bastian.
"Heh! Enak aja!" sahut Lisa tak terima dan mencubit lengan Bastian.
"Bercanda, dek." Ucap Bastian dengan raut wajah kesakitan dan mengelus lengan nya yang dicubit Lisa tadi.
"Lagian kita mau ngapain ke Toko Buku?"
"Saya mau beli buku panduan salat."
Lisa bergeming.
Hal seperti ini ia jadi tak enak jika memohon pada orangtua nya untuk tak menikahkan nya. Sedangkan Bastian sudah banyak berkorban. Pikirnya.
"Om sudah bisa ngaji, belum?"
Bastian menggeleng dengan polosnya.
"Yasudah--- nanti gue ajari."
Tbc