Happy Reading 😚
••••
20.55 PM
"Lo dengar nggak, sih?!" gerutu Theo kesal dan menatap Ray yang tengah sibuk menikmati sebatang rokok-nya.Ini sudah dua minggu semenjak terakhir dia mengantar Jihan pulang dari rumah sakit.
Pria itu tak pernah mencari-cari tahu tentang kabar gadis itu lagi dan memilih fokus bekerja agar pikirannya lebih tenang.
Namun apa yang ia rasakan dalam dua minggu terakhir benar-benar jauh berbeda dengan ekspetasi nya.
Ya, hampir setiap malam ia berusaha menahan dirinya untuk tak mengirim pesan pada Jihan.
Ray membuang napas pelan dan membuang puntung rokoknya lalu diinjaknya hingga mati.
Saat ini mereka sedang berada di pinggir jalan bersama Theo. Entah apa yang Theo katakan tadi ia benar-benar tak mendengarnya.
Ia tak menyangka jika telah bercerai dengan Vanessa dan menjauhi gadis bernama Jihan.
Apakah mereka baik-baik saja?
"Lo ngomong apa tadi?" Tanyanya dan menoleh pada Theo yang sedari tadi bersandar pada badan mobil seraya bersedekap dada dan menatapnya kesal.
Theo membuang napas berat dan memilih ikut duduk di atas trotoar bersama pria itu.
"Gue pengen ngelamar Rosita." Ungkapnya terdengar serius.
"Terus? Hubungannya sama gue apa?"
Theo mendecak pelan dan meluruskan kedua kakinya seraya memainkan kedua tangannya di udara untuk menahan agar tidak memukul temannya itu.
"Bokap nya Rosita itu kerja di perusahaan lo."
Ray terdiam sejenak lalu tertawa geli setelah mengerti maksud Theo.
"Jadi lo mau gue ikut nganterin lo buat ngelamar Rosita biar bokap nya terima?"
Theo mengangguk mantap. Air wajah kesalnya telah digantikan dengan mata berbinar penuh harap.
"Yaudah, kapan? Nyokap lo gimana?" Tanya Ray santai dan merogoh sakunya lagi untuk mengambil sebungkus kotak rokok.
"Besok, gimana?"
Ray membalas lewat anggukan karena ia sudah menyelipkan sebatang rokok pada mulutnya.
"Nyokap gue nggak ngerestuin makanya gue nginap dirumah lo dua minggu terakhir ini." Lanjut Theo lagi bercerita yang kembali dibalas anggukan oleh Ray.
Tanpa bertanya pun Ray sudah tahu apa alasan Ibu dari Theo tak merestui mereka.
"Mau?" Tawar Ray dan mengangkat kotak rokok miliknya.a
Theo langsung meraihnya dan mengambil sebatang rokok didalamnya.
"Bastian mana? Tumben gue nggak liat dia seharian." Ray berujar setelah menghembuskan asap rokoknya.
"Katanya mau ketemu teman kerjanya."
"Teman kerjanya? Memangnya dia punya teman?" Tanya Ray dengan kekehan diujungnya membuat Theo ikut terkekeh.
"Yang namanya Ashilla itu, lho."
••••••••••••
Sudah hampir seminggu Lisa berdiam diri dirumah, akhirnya teman-temannya yang ia tunggu datang juga.
Mereka langsung melepas rindu dan saling berpelukan secara bergantian.
Ya, sudah seminggu berlalu semenjak Ujian sekolah dilaksanakan mereka tak bisa saling bertemu terlebih lagi saat ini Lisa harus di pingit mengingat sebentar lagi akan menikah dengan Bastian.
"Gila, sih! Lo dipingit makin cantik aja." Puji Febi dengan gelak tawa membuat yang lain ikut tertawa.
"Eh, Lisa ... Temannya suruh duduk, dong. " Ujar Ibunya Lisa yang baru saja keluar dan melemparkan senyuman pada teman-temannya itu.
Mereka semua tertawa.
Bukan pertama kalinya mereka bertamu namun Ibunya Lisa selalu memperlakukan mereka seperti tamu spesial yang harus disuruh duduk dan dibuatkan minuman.
Seperti saat ini Ibunya Lisa langsung pamit ingin membuatkan mereka minuman.
"Gue nggak nyangka lo bakal nikah beneran sama Om Babas," sahut Febi lagi.
Ya, ia masih tak menyangka jika Bastian akan menikahi gadis itu mengingat pertemuan mereka jauh dari kata baik karena bertemu di club dengan tujuan tertentu.
Lisa hanya membalasnya dengan tawaan kecil.
"Kalau lo? Gimana, Ta?" Tanya Lisa bertanya pada Rosita yang baru saja memainkan ponselnya.
Rosita tersenyum tipis, "Theo mau ngelamar gue besok!" Pekiknya dengan suara tertahan membuat mereka berseru.
Febi yang duduk didekat Rosita langsung memeluk gadis itu, "gue terharu, sumpah! Akhirnya perjuangan kalian nggak sia-sia." Febi berujar dengan nada melankolis membuat Lisa yang duduk dihadapannya mendecih pelan mengejek gadis itu.
"Oh iya, Jihan masih diluar? Kok belum masuk?" Tanya Lisa sesekali melirik ke pintu.
Febi melepaskan pelukannya dan ikut melirik ke pintu.
"Belum. Masih telponan sama nyokap nya kali."
Lisa mengangguk paham dan memutuskan bangkit dari sana untuk berjalan keluar.
"Iya, ma. Jihan dengar."
Lisa berdeham saat mendengar itu membuat gadis itu berbalik.
"Jihan matikan dulu ya, ma." Ucap Jihan lagi dan memutuskan sambungan telpon sepihak.
Gadis itu langsung memeluk Lisa erat. "Tambah cantik aja teman, gue!!" Pujinya dengan suara riang membuat Lisa tertawa geli.
Jihan melepas pelukannya.
Lisa bisa melihat gadis itu menangis.
"Kok nangis?" Tanya Lisa cemas dan mengerjapkan matanya.
"Bokap gue meninggal, Lis. Gue disuruh pulang."
TBC