Happy Reading(¬_¬)ノ
•••••
"Tangan lo kenapa?" tanya Lisa tak santai saat baru saja datang kedalam kelas milik Rosita.
Meskipun hari ini tak ada titipan apapun yang diberikan oleh Theo namun tak membuat gadis itu langsung berhenti menghampiri Rosita dikelasnya.
Tetapi kali ini Lisa bersama Jihan karena Febi ada urusan dengan gurunya.
Ia memerhatikan tangan Rosita baik-baik. Tampak membengkak dan berbalutkan perban-perban kecil.
"Memar gitu." Sahut Jihan yang mengangkat tangan Rosita ke atas.
"Pipi lo juga." Ucap Lisa lagi saat beralih untuk menatap wajah Rosita.
Rosita hanya membalas dengan senyuman miris dan menarik tangannya yang dipegang Jihan.
"Lo kenapa?" tanya Lisa dengan nada menuntut meminta penjelasan.
Ia merasa iba pada Rosita.
Apakah gadis itu baru saja menjadi korban tabrak lari atau korban kekerasan?
"Gue nggak apa-apa." Balasnya pelan.
Rosita mengingat kejadian kemarin dimana Ayahnya menyiksanya secara membabi buta.
Matanya jadi berkaca-kaca mengingat itu semua dengan jelas.
Ia merasa tak perlu melanjutkan hidup lagi terlebih lagi Theo juga tak bisa menikahinya.
Rosita langsung menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Kesedihannya tak bisa dibendung lagi.
"Eh? Lo kenapa?" tanya Lisa khawatir dan memilih duduk disebelah gadis itu dan memeluknya dari samping.
Sedangkan Jihan yang duduk didepan Rosita hanya bisa mengelus puncak kepala gadis itu.
"Jangan nangis, dong." Pinta Jihan.
Ia tak tau harus mengatakan apa selain itu. Ia juga tak terlalu mengenal Rosita.
"Lo bisa cerita sama kita." Ucap Lisa dan memeluk gadis itu.
Untung saja suasana kelas sedang sepi jadi mereka tak perlu merasa canggung ataupun malu karena bertingkah seperti itu.
Rosita terus menangis dan menahan isakannya.
Ia merasa itu adalah titik dimana ia tak bisa membendung semua rasa pahitnya hidup yang ia jalani.
Rosita merasa hidupnya tak seberuntung dengan Lisa dan Jihan.
Ia merasa bodoh dan murah.
Bagaimana bisa ia menyerahkan kehormatannya demi uang? Terlebih lagi Theo tak bisa bertanggung jawab.
Masalah rumah, masalah cinta membuatnya benar-benar tertekan.
Jika waktu bisa diputar. Rosita memilih untuk tak pernah dilahirkan.
Ia juga memilih untuk dikeluarkan dari sekolah daripada harus hamil diluar nikah seperti saat ini.
•••••
Theo memarkirkan mobilnya tepat didepan gerbang sekolah Rosita.
Kali ini ia bersama Bastian memakai mobilnya.
"Tata!" teriaknya dan melambaikan tangannya saat melihat sosok Rosita yang jalan ber-empat bersama Febi, Lisa dan Jihan.
Bukannya menyambut dengan senyuman tetapi gadis itu menatap Theo dengan tatapan marah dan langsung bersembunyi dibelakang Lisa.
"Dia kenapa?" tanya Bastian dengan suara pelan.
Theo berdeham.
Tak mungkin 'kan ia bilang tak jadi menikahi gadis itu? Theo yakin jika temannya itu juga akan memukul wajah mulusnya karena bersikap layaknya pria brengsek.
Mereka ber-empat mendekat membuat senyuman Bastian mengembang.
Ya, meskipun ia merasa menjadi sopir pribadi gadis yang bernama Lisa tetapi ia tak pernah mempermasalahkan itu semua.
"Gue cabut duluan, ya." Pamit Rosita yang lalu berlalu dari sana dengan cepat tanpa memperdulikan teriakan dari ketiga temannya itu.
"Kejar sana!" suruh Bastian dan mendorong tubuh Theo untuk mengejar gadis itu.
Theo langsung berlari mendekati gadis itu. Tetapi Rosita semakin mempercepat langkah kakinya.
"Kamu kenapa, sih?!" kesal Theo saat berhasil menahan tangan Rosita.
Rosita membuang napas berat.
Matanya berkaca-kaca membuat Theo melepaskan pegangan tangannya.
"Lo brengsek!" umpatnya dan mendorong tubuh Theo menjauh lalu kembali menjauhi pria itu.
Theo terdiam sejenak dan kembali mengikut gadis itu.
"Ta!" kesalnya dan mencengkram kuat tangan Rosita membuat gadis itu meringis.
Theo menurunkan pandangannya melihat tangan gadis itu lalu dilepasnya dengan perlahan.
"Tanganmu kenapa?"
Rosita langsung menarik tangannya dan menyembunyikannya dibelakang.
"Bukan urusan lo." Cetusnya dan kembali berjalan menjauhi Theo.
Theo membuang napas berat dan berkacak pinggang sambil mendongakkan kepalanya melihat ke atas dan mendecih pelan.
Ia memutuskan mengedarkan pandangannya dan menyetopkan sebuah taksi yang lewat disana.
"Tunggu ya, pak." Ucapnya membuat sopir mengangguk.
Ia berlari mengejar Rosita yang sudah cukup jauh dan langsung membopong tubuh gadis itu tanpa permisi.
"Lepas, brengsek!" Rosita memberontak dan memukul punggung Theo dengan keras.
Theo semakin mempercepat langkah kakinya dan memasukkan gadis itu kedalam taksi.
Ya, tak ada waktu lagi untu kembali ke mobilnya.
Tak lupa ia melambaikan tangan pada Bastian yang menatapnya bingung dari kejauhan.
Ia membuang napas pelan dan melirik Rosita yang duduk menjauh darinya dengan ekspresi kesal saat taksi mulai berjalan.
"Kita harus bicara." Ucap Theo buka suara.
Rosita mendecih pelan.
"Dan kamu juga harus jelaskan apa yang terjadi dengan kedua tanganmu itu."
TBC