Happy Reading!
•••
"Aduh, dek-dek. Kamu kenapa sih? Mulai kemarin diamin aku terus, kan, aku nggak ada apa-apa sama asisten baruku." Lisa hanya bergeming dan tetap fokus untuk memainkan ponselnya dengan posisi bersandar di dinding dengan kaki yang diluruskan kedepan.
Ya, wanita itu langsung duduk di atas lantai saat menyadari keberadaan Bastian yang ikut duduk di sofa bersamanya tadi.
Wajah wanita itu tampak serius dan datar memainkan ponselnya seakan-akan tak peduli apa yang dikatakan Bastian.
Sedangkan, pria itu hanya bisa menghela nafas frustasi duduk di atas sofa melihat istrinya yang mulai kemarin mengabaikannya.
Tetapi disisi lain ada rasa senang dihatinya Bastian karena sikap Lisa menunjukkan bahwa ia sedang cemburu. Tetapi tetap saja, wanita itu malah mengabaikannya.
Bastian memilih bangkit dan mendekati Lisa yang duduk di atas lantai tetapi lagi-lagi wanita itu menjauhkan tubuhnya.
"Hap!" Serunya yang langsung memeluk Lisa membuat ponsel wanita itu terjatuh.
Lisa langsung melemparkan tatapan kesal pada Bastian namun pria itu tak peduli. "Bas!"
"Iya aku disini." Balasnya santai lalu mengangkat tubuh Lisa menuju kamar tanpa memperdulikan ocehan yang dikeluarkan oleh wanita itu.
"Bas!" Entah yang keberapa kalinya wanita itu menggeram sembari meneriaki pria itu.
Bastian langsung menghempaskan tubuh Lisa diatas kasur membuat Lisa dengan cepat merubah posisinya menjadi duduk dan mengambil bantal sebagai perlindungan dari sosok Bastian.
Pria itu hanya tertawa pelan melihat sikap istrinya membuat Lisa mendecih.
"Nggak usah dekat-dekat! Aku nggak mau diganggu!" Serunya memberi peringatan saat Bastian hendak ikut naik ke atas kasur namun pria itu kembali mengurungkan niatnya sembari berkacak pinggang memandangi Lisa yang melemparkan tatapan kesal padanya.
"Mau sampai kapan kamu begini? Kan, aku sudah bilang kalau aku nggak ada apa-apa sama dia." Jelasnya kemudian.
Lisa bergeming namun tak memalingkan tatapannya menatap suaminya itu.
"Kamu cemburu?"
"Ya nggak lah!" Elak Lisa cepat membuat Bastian tertawa. Lisa langsung memalingkan wajahnya membuat Bastian melanjutkan niatnya untuk ikut duduk diatas kasur bersama istrinya itu.
Lisa tak lagi berontak, kini ia bisa merasakan tangan Bastian yang mulai memeluknya. "Aku sayangnya cuman sama kamu, kok, dek." Ujarnya lembut membuat hati Lisa perlahan luluh.
"Walaupun pertemuan kita ditempat yang nggak bagus. Tapi kamu jangan mikir aku cuman main-main aja sama kamu." Jelas Bastian kembali membuat sifat keras kepala Lisa mendadak menghilang begitu saja.
Pasalnya, Lisa sudah meyakinkan dirinya untuk mendiami pria itu selama berhari-hari agar tak bersikap genit pada wanita lain.
Well, Lisa tahu jika itu kekanakan, tetapi mau bagaimana lagi, ia sudah termakan api cemburu dan pikiran-pikiran negatifnya mengingat masa lalu Bastian yang suka memainkan wanita.
"Jadi, mau sampai kapan?" Tanya Bastian lagi membuat Lisa menoleh sehingga mereka saling melemparkan tatapan dengan cukup dekat.
Bastian mengecup bibir wanita itu sekilas lalu menyengir lebar.
Ya! Melihat reaksi Lisa yang tak memberontak karena ulahnya barusan membuat ia berfikir jika wanita itu sudah memaafkannya.
"Kok kamu ada disini?!" Rosita yang baru saja terbangun dari tidurnya langsung terkejut saat melihat ada sebuah tangan yang ia kenali sedang melingkar diperutnya.
Ya, siapa lagi kalau bukan suaminya.
Theo yang merasa tidurnya terganggu oleh pekikkan istrinya itu langsung terbangun dan mengerjabkan matanya untuk menormalkan pengelihatannya.
"Sudah bangun?" Tanyanya saat melihat Rosita menyingkirkan tangannya lalu bangkit dari kasur memandangi dirinya dengan tatapan kesal.
"Kenapa kamu bisa ada disini?" Tanyanya dengan nada tak suka.
Pria itu hanya bergeming lalu mengusap kedua matanya sembari memperbaiki posisinya menjadi duduk.
"Jawab! Kan aku sudah bilang, aku mau sendiri dulu untuk beberapa hari!"
"Ta---"
"Ta kenapa? Kok ribut pagi-pagi?" Suara dari ayahnya Rosita membuat Theo tak melanjutkan ucapannya.
Mereka berdua langsung melirik ke arah pintu yang secara perlahan mulai terbuka.
Rosita hanya bisa menghela nafas panjang. Ini masih pagi namun emosinya naik begitu saja.
Sebisa mungkin ia menyembunyikan itu semua dari ayahnya dan langsung tersenyum canggung. "Nggak ada apa-apa, kok." Sahutnya cepat dan berjalan ke arah pintu.
Sedangkan Theo yang mulai sadar hanya bisa menggeleng pelan. Ia pikir dengan keberadaan nya yang tiba-tiba ada bisa membuat amarah istrinya itu menghilang.
Ah! Sial! Ia ingin marah pada dirinya sendiri karena sudah bersikap bodoh datang kesana yang jelas-jelas membuat istrinya itu tak suka.
Tak membutuhkan waktu yang cukup lama, ia melihat Rosita menutup pintu kamar kembali lalu mendekati dia.
Tak ada percakapan diantara mereka. Theo hanya menundukkan kepalanya sembari mengutuk dirinya sendiri.
"Aku cuman mau perbaikin semuanya." Theo buka suara lalu mengangkat wajahnya memandangi istrinya itu. "Menghindar begini nggak bakal selesaikan masalah." Sambungnya lagi.
Ia bisa mendengar nafas Rosita tak beraturan seperti menahan amarah.
Well, entahlah, Theo tahu jika wanita hamil sangat sensitif jadi ia tak ingin salah bicara dan memancing amarah istrinya lebih besar.
"Ta, aku nggak mau kita begini." Ucapnya lagi dan memandang Rosita dalam.
Ah, ia sungguh merindukan sosok istrinya itu.
Ia bisa melihat Rosita memejamkan matanya sembari menarik nafas dalam.
"Aku cuman nggak suka kamu dekat cewek lain, Te!" Ungkap Rosita jujur.
"Tapi itu cuman salah paham."
"Tapi tetap aja, Bianca itu mantanmu!"
Theo bergeming sejenak. Ia menyeret tubuhnya kepinggir kasur lalu melingkarkan tangannya diperut Rosita lalu menyandarkan kepalanya diperut wanita itu.
"Aku nggak peduli sama dia. Aku cuman nggak mau kamu jauhin aku begini." Ucapnya sungguh-sungguh.
Rosita menarik nafas dalam. Selama mengandung hatinya benar-benar sensitif. Bahkan ia ingin menangis karena sikap Theo saat ini.
Sial! Apakah ia terlalu egois memikirkan perasaan nya sendiri? Ia hanya takut jika Theo kembali pada mantan kekasihnya!
Tbc