Happy Reading!
•••
"Buruan bantuin gue, anjir!" Teriak Theo pada sahabatnya itu yang baru saja datang, Bastian.
Ya, Theo begitu panik kala Rosita terus berteriak kesakitan. Ketuban wanita itu telah pecah yang menandakan bahwa sang buah hati yang ada didalam perut sudah ingin keluar.
"Gue harus bantu gimana ini?!" Seru Bastian ikut menjadi panik melihat Rosita yang terus berteriak kesakitan.
Ah, untung saja Theo sudah pindah ke perumahan yang sama dengan Bastian jadi ia tak perlu kesulitan membawa turun istrinya itu dari lantai atas mengingat dulu ia tinggal di apartemen yang cukup tinggi.
Ya, setelah memutuskan untuk menghilangkan kecurigaan Rosita tentang hubungannya dengan Bianca, Theo memilih pindah rumah beberapa bulan lalu.
Dan seperti sekarang ia hanya tinggal dengan berbeda beberapa blok dari rumah Bastian dan Lisa.
"Lo buka pintu mobil aja, deh!" Seru Theo yang langsung dilakukan dengan cepat oleh Bastian.
Pria itu juga langsung bergegas menempati kursi kemudi kembali dan menunggu kedua insan itu untuk segera masuk ke dalam mobil.
"Tey, sakit..." Ringis Rosita sembari memegangi perutnya. Bulir-bulir bening telah membasahi wajah wanita itu.
Untung saja hari ini Theo tak pergi bekerja. Jika tidak, mungkin ia akan meringis kesakitan seorang diri dirumah.
Well, memang benar ia sudah tinggal di perumahan yang sama dengan Bastian dan Lisa.
Tetapi ia juga tak mungkin meminta Lisa untuk menemani nya mengingat sahabatnya itu juga sedang mengandung.
Ya, tiga bulan yang lalu Bastian memberitahu kabar bahagia pada mereka seakan-akan itu adalah sesuatu yang sangat berharga bagi Bastian sehingga ingin membuat sahabat-sahabatnya mengetahui hal itu.
"Tey..."
"Iya, sayang... Sabar, ya..." Ucap Theo lembut menenangkan Rosita saat mobil mulai berjalan.
"Sorry, ya, Bas, gue ngerepotin, lo. Padahal kan ini waktu weekend lo." Ucap Theo kemudian melirik Bastian.
"Santai aja, kali. Lagian, kan, mobil lo juga lagi rusak." Balasnya santai yang dibalas anggukan kecil oleh Theo.
Pria itu kembali menenangkan istrinya yang mulai meremas-remas tangannya yang menandakan ia benar-benar merasakan sakit yang amat sangat.
Suara bayi-bayi menangis terdengar begitu ramai di salah satu lorong rumah sakit itu. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul tengah malam.
Namun sedaritadi Theo juga tak kunjung tidur. Ia begitu cemas akan keadaan Rosita.
Bastian yang juga menemaninya dari siang juga ikut tak bisa tidur. Ia bisa melihat raut wajah kekhawatiran dari wajah sahabatnya yang satu itu.
"Lo harus yakin Rosita bakal baik-baik aja." Ucap Bastian kemudian. Suara pria itu terdengar lelah.
Ya, jujur saja ia merasa mengantuk tetapi ia tak bisa tidur karena melihat temannya yang satu itu.
"Iya, Bas." Balas Theo kemudian.
Well, ini sudah beberapa jam setelah Rosita berhasil mengeluarkan sang buah hati namun tak kunjung sadar.
Bastian menghela nafas pelan melihat sahabatnya itu. Ia memilih meraih ponselnya dari saku celana nya lalu beranjak dari sana.
"Halo, gimana? Ita sudah sadar?" Tanya Lisa langsung saat panggilan tersambung. Bastian bergeming sejenak lalu melirik Theo yang langsung bangkit saat melihat temannya yang menangani Rosita mendekatinya.
"Bas?" Panggil Lisa sekali lagi. Entahlah, jantungnya mulai berdetak tak beraturan saat mendengar ucapan teman Theo barusan.
Ia melihat Theo yang langsung berlari memasuki ruangan membuat Bastian semakin terdiam seribu bahasa.
"Bas?" Panggil Lisa sekali lagi membuat lamunan Bastian buyar.
"Sayang, nanti aku telfon lagi." Pamitnya dan langsung mematikan panggilan telfon secara sepihak. Segera ia berlari memasuki ruangan dimana Rosita berada.
"Ta... Bangun, Ta..."
Ia bisa melihat Theo yang mencoba menggoyangkan tubuh Rosita dengan suara lemah terdengar putus asa.
"Ta..."
"Bangun..."Tanpa sadar Bastian mengepalkan kedua tangannya.
Ia kembali melangkahkan kakinya mendekati Theo. Seakan mengerti, ia langsung mengusap punggung Theo dengan pelan.
Bastian tak bisa berkata apa-apa. Ia melirik anak mereka yang sedang digendong oleh perawat disana. Bayi itu menangis membuat Bastian semakin iba pada sahabatnya itu.
Ah, sial!
Kenapa takdir begitu kejam pada sahabatnya yang satu ini?
"Lo harus kuat! Ita pasti nggak mau liat lo sedih!" Seru Lisa mencoba menyemangati Theo yang masih setia memandangi makam milik istrinya itu.
Meskipun berkata seperti itu, dada Lisa juga juga terus berdetak. Ia benar-benar tak menyangka jika sahabatnya itu akan meninggalkan nya dengan seperti ini.
Ia mengedarkan pandangannya dan melihat Jihan yang tengah menggendong anak dari Theo dan Rosita yang masih berumur beberapa hari itu.
Bayi itu menangis pelan membuat Lisa refleks mengusap perutnya.
Ia tak ingin hal seperti ini juga akan menimpa dirinya.
"Kalian pulang aja. Gue titip Axel sama kalian." Ucap Theo yang tak ingin diganggu.
Ya, Axel merupakan nama yang ingin Rosita berikan jika anak mereka berkelamin laki-laki.
Ini sudah hampir seminggu semenjak kepergian Rosita dan dia masih setia mendatangi makam mantan istrinya itu setiap hari membuat sahabatnya yang lain tak punya pilihan lain selain menemaninya mengingat Theo sering mencoba melakukan bunuh diri.
Lisa melirik Jihan membuat ia tak memiliki pilihan lain selain mengajak Jihan pergi dari sana.
"Ayo, pergi." Ajaknya dan berjalan menjauhi Theo.
Sudah ada Rayhan yang menunggu tak jauh dari mereka. Sedangkan Bastian, pria itu tak bisa ikut mengingat sedang bekerja.
"Gue masih nggak nyangka, Lis."
"Sstt..." Segera Lisa memberi kode pada Jihan untuk tak membahas tentang kepergian Rosita.
Ia tak ingin Theo semakin terpukul.
Sungguh, ini benar-benar terasa seperti sebuah mimpi buruk untuk mereka.
Tbc.