Sesampainya dirumah, aku mandi. Mengganti pakaianku dengan kaos warna biru dongker bergambar mickey mouse ditengahnya. Ngobrol sebentar dengan Bi Yan, menenangkannya agar tidak terlalu khawatir. Aku menyempatkan diriku pergi ke taman belakang. Melihat mahakarya Ibu yang selama ini dirawatnya.
Banyak sekali bunga mawar, anggrek, matahari, lily disebelah kiri. Ada beberapa pohon mangga yang mulai berbuah dipojokan, pohon tomat dan cabai di sebelah kanan. Ada kolam ikan juga didekat pintu. Bunga-bunga lebih mendominasi kebun ini, menjadi lebih berwarna dan tampak segar. Ibu benar-benar merawat taman belakang dengan baik.
Pandanganku tertuju pada rumah pohon yang ada disebelah pohon mangga. Rumah pohon itu sudah ada sejak aku kecil, hadiah ulang tahun ke 10 ku dari Ayah. Aku jadi merindukan Ayah. Banyak sekali kenangan yang tercipta disana. Aku juga mendapatkan ciuman pertamaku disana, dengan seseorang yang harusnya aku hindari sekarang. Ck, jadi keinget kan hhhh.
Aku kembali masuk kedalam menuju dapur, mendadak haus rasanya. Aku mengambil kotak jus jeruk dan menuangkannya ke dalam gelas. Meneguknya hingga tandas dan ponselku berbunyi.
"Iya?"
"Apa?"
"Saya segera kesana."
Tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Nggak. Jangan. Nggak.
Aku diam selama beberapa detik mencerna apa yang baru saja pihak rumah sakit kabarkan. Aku menggelengkan kepala, langsung berbalik menuju garasi dan menuju rumah sakit secepat yang aku bisa. Air mataku mengalir deras begitu saja, mengaburkan sedikit pandanganku. Aku langsung menghapus kasar air mataku.
Tiba di rumah sakit, aku menuju ruangan Ibu dirawat. Sudah banyak perawat disana mengelilingi tempat tidur Ibu. Aku melihat dari luar Laura menggunakan alat pacu jantung ke dada Ibu. Aku melihat dengan kepala ku sendiri alat pendeteksi jantung Ibu menampilkan satu garis panjang. Aku langsung berbalik, menutup wajahku dengan tangan kiriku, menahan air mata yang menerobos keluar.
Laura keluar dengan ekspresi wajah yang tidak ingin aku lihat. Laura langsung memelukku, menenangkan aku.
"Aku minta maaf, kamu harus kuat." Suaranya bergetar, dia juga ikut terisak.
Aku membalas pelukannya dengan sangat erat. Aku membutuhkan kekuatan sekarang ini, aku menangis dipelukannya.
Hari ini, aku kehilangan wanita yang paling cantik dan aku cintai. Wanita yang telah mengorbankan hidupnya demi melahirkanku. Wanita yang selalu aku datangi jika aku butuh teman cerita. Wanita yang selalu memberikan pundaknya untuk aku beristirahat sejenak dari jahatnya dunia ini. Wanita yang sangat kuat, bahkan ibu tidak menangis saat Ayah meninggal demi menenangkan dan menguatkan aku. Tapi aku tahu, Ibu tersedu didalam kamarnya dimalam itu.
Sungguh. Aku akan selalu mengikuti apapun perkataan Ibu, karna aku tau, Ibu tau yang terbaik untukku. Aku tau hari ini akan terjadi, tapi aku belum siap. Aku menangis sejadi-jadinya.
+++++
Para pelayat sudah mulai pergi, hanya tinggal aku dan Laura disini. Aku masih betah mengusap papan nisan Ibu, Laura yang daritadi berdiri disampingku kini ikut menyamai tubuhnya denganku. Dia mengusap-usap bahuku.
"Maaf ya, aku nggak pernah cerita. Aku udah rawat Ibu kamu selama hampir 3 tahun ini. Ibu kamu nggakmau siapapun tau tentang penyakitnya, terutama kamu. Ibu nggakmau jadi beban buat kamu. Ibu kamu juga selalu cerita gimana bangganya beliau sama kamu. Gimana bangganya Ibu sama putrinya yang jadi seorang tentara tangguh. Ibu sayang banget sama kamu, Dine."
Aku berdiri, tanpa membersihkan tanah yang menempel di celana hitamku. Ada perasaan aneh saat dia bercerita tentang Ibu. Tanpa melihatnya, aku berjalan meniggalkannya. Aku terlalu lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kompilasi (Short Story)
Short StoryPeringatan! Cerita ini mengandung lesbianism. Read at your own risk. Kisah tentang mereka mungkin lebih menyenangkan untuk diceritakan. Tapi kisah tentangmu, tentangku, tentang kita. Akan jauh lebih hebat. Percayalah. Cinta kita akan mengguncangka...