Sudah satu minggu ini, Laura mendiamkan aku. Dia selalu menghidar saat aku chat, telpon, bahkan saat ingin bertemu dengannya. Selalu saja ada alasannya agar tidak bertemu denganku. Aku hanya bisa mengehela nafas beratku. Harus bersabar dengan perlakuannya padaku. Aku tau, tidak mudah baginya untuk melepas kepergianku. Dia butuh waktu untuk menenangkan pikirannya, menata hatinya.Beberapa hari ini aku disibukkan dengan banyak berkas dan pertemuan- pertemuan di Markas Besar TNI, untuk membahas soal keberangkatan timku ke Sudan.
Saat hari sudah mulai memasuki senja, kegiatanku hari ini baru saja selesai. Aku langsung melajukan mobil Mercedes tipe AMG A45 warna merah milikku menuju ke rumah Ibu. Ya, walaupun rumah itu sudah diwariskan atas namaku, tetap saja, aku tidak mau menyebutnya sebagai rumah milik ku. Karena aku tidak mendapatkannya dengan hasil keringatku sendiri.
Mobilku sudah memasuki halaman depan rumah, mataku memicing saat melihat Mini Cooper putih milik Laura terparkir di sana. Aku segera memarkirkan mobilku didepan garasi. Kakiku melangkah dengan cepat memasuki rumah.
Begitu masuk ruang tamu, Bi Yan datang menyambutku.
"Laura disini, Bi?" tanyaku langsung pada Bi Yan sebelum Bi Yan mengatakan sesuatu.
"Iya Non, ada di taman belakang."
"Aku kesana dulu ya, Bi."
Bi Yan hanya mengangguk padaku, "Mau disiapin makan malamnya sekalian Non?"
"Em, nanti aja Bi. Aku mau ngobrol sama Laura dulu. Makasih ya Bi Yan." Aku tersenyum pada Bi Yan dan pergi menuju taman belakang.
Setelah kakiku menginjak taman belakang, mataku bergerak cepat mencari sosok yang sudah 1 minggu ini menghindariku. Dan mataku menangkapnya sedang membungkuk mencium aroma harum dari bunga matahari. Aku menghentikan langkahku saat jarak kami hanya tersisa 5 langkah saja. Laura menegakkan badannya ketika menyadari kehadiranku. Dia menolehkan kepalanya padaku, dan tersenyum dengan sangat manis.
"Yang ini udah boleh dipetik, kan?" Laura kembali melihat pada pot bunga matahari didepannya.
"Ya." Hanya itu kata yang keluar dari bibirku. Melihatnya datang kerumah sore ini, membuat hatiku berdebar bahagia.
Laura lalu memetik bunga matahari itu dengan gunting yang berada disamping potnya. Setelah berhasil memetik bunganya, dia berjalan lebih mendekat padaku.
Laura memandang wajahku sekilas, lalu memasukkan tangkai bunga itu kedalam saku kiri seragam dinas yang aku pakai.
"Kamu mirip sama bunga matahari. Cantik, terang, bersinar." Setelah mengatakan itu, dia memelukku perlahan. Menggesekkan hidungnya dibahuku dan menghirup aroma khas tubuhku. Laura menempelkan pipi kanannya dibahuku.
"Maafin aku. Aku udah childish banget. Harusnya aku bisa manfaatin waktu aku sebaik mungkin sama kamu. Harusnya kita manfaatin waktu yang ada buat kita habisin sama-sama sebelum kamu berangkat. Harusnya aku sadar kalau profesi kamu, profesi aku, ngebuat kita nggak bisa milikin tubuh pasangan kita seutuhnya. Banyak orang ngebutuhin kita, bergantung sama kita juga. Aku udah egois, maafin aku. Harusnya..." bahunya bergetar, dia menangis.
"Ssssh, nggakpapa. Udah, jangan nangis lagi." aku langsung melepaskan pelukannya. Memandang wajahnya, tanganku bergerak menghapus setiap air matanya yang jatuh.
"Aku yang salah, karena nggak ngasih tau kamu lebih awal. Aku bakal kangen banget sama kamu, Ra. Kangen banget buat liat wajah kamu sedeket ini, meluk kamu kayak gini." Aku kembali memeluknya, menyampaikan setiap kerinduan yang akan muncul saat nanti kami saling berjauhan.
Laura membalas pelukanku dengan erat. "Aku juga bakal kangen banget sama kamu. Nanti kalau aku udah rindu berat sama kamu, aku harus gimana dong?" ada nada manja dalam suaranya.
"Teknologi udah canggih sekarang, Ra. Kita bisa video call an, telfonan juga."
"Hmh." Aku tau dia sedang cemberut sekarang, masih tidak rela harus berjauhan denganku.
"Hei, kamu inget nggak, kamu pernah cium aku disana?" aku mencoba mengalihkan pembicaraan kami.
Dia mendongak melihatku dan mengikuti arah pandangku menuju ke rumah pohon di belakangnya.
"Kok kayaknya beda sih? Kamu renov ya?"
"Iya. Naik kesana yuk?" aku menggandeng tangannya mendekat kearah pohon yang menopang rumah pohon kecilku. Dia hanya menurut saja, mengikutiku.
"Kamu naik duluan ya. Aku mau ganti baju dulu."
Laura hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian aku berlari cepat mengganti pakaianku, mengambil ukulele ku, dan memasukkan kotak kecil yang sudah aku siapkan daridulu ke dalam saku celanaku.
Beberapa bulan lalu, aku memang membongkar ulang rumah pohon kecil ini. Aku mengganti bahan kayunya, melebarkannya sedikit dari yang sebelumnya.
Aku juga menambahkan beberapa bantal, karpet, dan sofa yang tidak terlalu besar untuk merebahkan badan atau sekedar duduk-duduk saja disana. Memberikan aksesoris sana sini agar rumah kecil ini terlihat penuh. Karena aku suka menghabiskan waktu ku disini jika sedang ingin menyendiri, jadi aku harus buat menjadi senyaman mungkin untuk aku tempati.
Laura sedang duduk bersandar pada sofa dan melihat keluar, memperhatikan tanaman warna warni yang ada dibawah. Aku masuk dan meletakkan kepalaku diatas pahanya, membuatnya sebagai bantal. Laura mengulas senyum dan mengusap lembut kepalaku, membuatku sangat nyaman. Jemariku memetik beberapa kunci pada ukulele ku.
"Aku inget banget muka cengo kamu waktu itu, disini." Laura kembali mengulang memori itu. Saat-saat dimana dia mengutarakan perasaannya padaku, lewat ciumannya.
"That's was my first, okay. Lagian kamunya agresif, main cium-cium aja."
"Kalau nggak gitu, mana kamu peka! Kamu tuh cuek banget tau nggak. Sikap kamu, perhatian kamu, ambigu buat aku. Aku bingung tau, mesti gimana."
"Yaaa... gimana ya? Kamu kan mantannya banyak. I was afraid. Aku takut kamu jauhin aku, if I say 'I love you my bestfriend, will you be my girlfriend'. Gitu."
"Ya kan kalau kamu nggak coba, gimana kamu tau aku bakal jauhin kamu, Nadinee. Gemes deh."
Laura mencubit hidungku gemas. Aku hanya terkekeh mendengar celotehannya.
"Inget nggak, kamu dulu suka banget sama nama keluarga aku? Dharmawangsa." aku memandangnya dari bawah sini, dia mengerutkan keningnya.
"Ya itu karena papa nggakmau pake nama keluarganya. Aku kan mau dipakein nama keluarga, biar panjang." Laura terkekeh sendiri karena mengingat alasan konyolnya untuk memakai nama keluarga.
"Nama kamu kan udah panjang, Ra." Aku menggelengkan kepalaku mendengar perkataannya.
"Tapi aku tetep suka kok sama nama keluarga kamu." Dia mengarahkan senyuman jahilnya padaku.
"Laura Elizabeth Putri Dharmawangsa. Emang cocok banget nama keluargaku buat kamu."
Laura menaikkan kedua alisnya, matanya lalu memincing menatapku.
"Is that another way to say, will you marry me?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kompilasi (Short Story)
Cerita PendekPeringatan! Cerita ini mengandung lesbianism. Read at your own risk. Kisah tentang mereka mungkin lebih menyenangkan untuk diceritakan. Tapi kisah tentangmu, tentangku, tentang kita. Akan jauh lebih hebat. Percayalah. Cinta kita akan mengguncangka...