20.00
Motorku sampai diparkiran rumah Gisele tepat pukul 8 malam. Dari selesai makan hingga dalam perjalanan, Gisele tidak mengeluarkan suara sama sekali. Selama perjalanan pulang, aku mengajaknya mengobrol tapi hanya ditanggapi dengan gumaman atau kata-kata singkat lainnya.
Setelah turun dari motor dan memberikan helm padaku, Gisele langsung berjalan menuju pintu rumahnya tanpa menghiraukan aku. Aku yang melihatnya berlalu begitu saja, langsung ikut turun dari motor dan mengejarnya.
“Hei, tunggu.” Tanganku berhasil menggapai lengannya, membuat langkah Gisele berhenti tepat saat akan membuka pintu, tanpa membalikkan badannya padaku.
“Kenapa kamu langsung pergi begitu aja? Apa aku melakukan kesalahan? Ada apa, Gisele?”
Gisele menggelengkan kepalanya, dengan punggungnya yang masih menghadapku.
“Kita tadi baik-baik saja. Kenapa? Apa ini ada hubungannya dengan Sinta? Kamu cemburu?”
Mendengar kata ‘cemburu’, Gisele langsung membalikkan badannya menghadapku.
“Cemburu? Kamu pikir kamu siapa, ha? Kamu pikir kamu siapa, sampai-sampai membuat aku cemburu sama kamu? Buat apa aku cemburu sama mantan kamu? Kenapa aku bisa cemburu sama mantan kamu? Kenapa?” Gisele menghempaskan tanganku dari lengannya.
Aku terkejut melihat mata Gisele yang berkaca-kaca, air matanya siap tumpah kapan saja.
Dia langsung masuk ke dalam rumahnya, tapi sebelum pintunya tertutup, aku menahannya dengan setengah badanku. “Wait. Gisele.”
Aku berhasil masuk kedalam karena Gisele sudah tidak lagi menahan pintunya. Aku langsung mendekap tubuh Gisele yang menangis dibalik pintu itu. Tanganku mengusap lembut belakang kepala Gisele, menenangkannya.
“Hey, I like you. You already know that, right? Just one question. Do you like me? Gisele, do you like me? Because, I don’t want call you as my friend. I wanna call you as my girlfriend. Gisele, I love you,” aku mengucapkan kalimat itu tepat ditelinganya dan Gisele hanya menggelengkan kepalanya, masih terisak.
“No, it’s wrong. Ini salah, Dom. A-aku nggak bisa. K-kita nggak bisa.” Gisele masih memberontak didalam pelukanku, tangannya mencoba untuk mendorong bahuku menjauh darinya.
Setelah Gisele sedikit lebih tenang, aku melepaskan pelukanku. Tanganku menangkup kedua sisi wajahnya, ibu jariku menghapus sisa air mata yang menetes dipipinya.
“Okay, your hands are free now. Why not try to push me away?” Gisele hanya terdiam, matanya tidak berani menatapku.
“Hei, liat aku. Gisele, lihat mataku. It’s not a matter of gender. I want be with you, because I like you. Because I love you. Aku tidak bisa menghindar saat hatiku jatuh untuk kamu. That’s just human nature.” aku mengarahkan wajahnya untuk menatapku. Kedua tanganku bergerak menyisipkan helaian rambut Gisele ke balik daun telinganya. Memperlihatkan wajah Gisele yang terlihat sendu karena air matanya.
Kedua tanganku turun kearah leher Gisele. Kedua ibu jariku mengusap tulang rahangnya. Mataku menatap kedalam kedua bola mata Gisele. Air matanya sudah tidak lagi membasahi wajah cantiknya.
“Your hands still free, yet you still don’t push me away. Aku mencintai kamu tanpa sebab, Gisele. Aku jatuh cinta dengan kamu, saat aku melihat kamu pertama kalinya ditempat kerja kamu. Aku tidak punya alasan kuat kenapa aku bisa jatuh cinta dengan kamu secepat itu. Hanya satu hal yang aku tahu saat itu. Hatiku memilih kamu. That’s why. We’re not doing anything wrong. Okay?”
Air mata Gisele kembali menggenangi pelupuk matanya, dia menubrukkan tubuhnya kedepan tubuhku. “Don’t leave me. Please don’t go anywhere and be my side.” Kini kedua tangannya melingkari punggungku, memelukku dengan sangat erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kompilasi (Short Story)
Short StoryPeringatan! Cerita ini mengandung lesbianism. Read at your own risk. Kisah tentang mereka mungkin lebih menyenangkan untuk diceritakan. Tapi kisah tentangmu, tentangku, tentang kita. Akan jauh lebih hebat. Percayalah. Cinta kita akan mengguncangka...