11.00
“Kamu masih tidak mau makan siang sama aku?” aku memandang Gisele dengan raut wajahnya yang datar.
“Ini sudah ke tujuh kalinya, dan jawaban aku tetap sama. Lagian udah 2 minggu ini ya aku tenang tanpa kehadiran kamu.”
“I know you missed me. Maaf ya, minggu-minggu kemarin kantor aku sibuk banget. Kerjaan aku menumpuk, jadi aku tidak bisa kesini liat kamu.”
“Hish, siapa juga yang mau tau kamu ngapain aja menghilang 2 minggu ini. Terus kalau kerjaan kamu menumpuk, kenapa kamu masih sempet-sempetnya kesini? Nggak penting tau nggak. Mending kamu urusin aja kerjaan kamu sekarang.”
“Kamu itu penting juga buat aku, Gisele. So, come on have lunch with me. Please?” Aku memasang wajah memelasku, berharap dia bisa luluh kali ini.
“I said no, Dom.”
Mataku terbelalak, daguku hampir saja jatuh kebawah seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar.
Gisele menyebutkan namaku! Sepele memang, tapi ini Gisele yang menyebutkannya. Karena yang pasti, dia tidak pernah menyebutkan namaku. Selalu aku yang menyebutkan namanya.
Aku tidak percaya ini. Detak jantungku berpacu dengan lebih cepat. Wow! Sepertinya bukan aku saja yang terkejut mendengar namaku tersebut. Gisele juga langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya tidak berani menatapku.
“Wow. Aku nggak salah denger kan? Kamu baru aja nyebutin nama aku.”
Gisele hanya berdiam, matanya melihat kemana saja selain mataku.
“Yah, sepertinya kita belum berkenalan secara resmi. Hai, nama aku Dominique. Kamu Gisele ya? Makan siang sama aku yuk?”
*****
17.00
Sudah satu bulan ini aku tidak mengunjungi Gisele. Ya, karena pekerjaan yang sedang minta untuk sangat diperhatikan, sehingga aku tidak bisa bolos saat jam-jam krusial menuju waktu makan siang. Aku bahkan harus makan siang didalam kantor!
Hmm, mungkin saat ini dia sedang bahagia karena aku tidak merecokinya selama sebulan. Atau bahkan dia sudah melupakanku? Aku selalu mendapatkan respon negatif darinya, yang berarti tidak ada perkembangan untuk bisa mengenalnya lebih jauh.
Apa aku menyerah saja ya? Gimana kalau memang ternyata dia tidak suka dengan perempuan? Aku meringis, menyadari kemungkinan yang berputar diotakku. Tanganku langsung memegangi dadaku yang seketika nyeri, merasakan cubitan kecil didalam hati. Aish, drama sekali kau!
Kakiku tidak terasa sudah menginjak lantai parkiran kantor, tepatnya di depan Honda PCX 150 ku. Tanganku mengambil helm yang ada di jok motor dan memasangnya dikepala, tidak lupa dengan suara ‘klik’ nya. Biar aman.
Sebelum melangkahi jok motor, mataku teralihkan pada helm lain yang ada di bagian belakang motorku. Helm siapakah ini? Keningku berkerut, mencoba mengingat pemilik helm berwarna pink itu. Perasaanku, aku tidak memberi boncengan pada siap--.
Ohhh astaga, tadi pagi saat akan berangkat ke kantor, aku melihat Dinar, salah satu teman di divisiku. Dia sedang duduk dipinggir jalan. Ban motornya pecah dan aku menawarkan untuk memberi tumpangan, toh kita juga searah kan. Dasar otak ini, begitu saja tidak ingat!
Tapi pertanyaannya adalah, kenapa helm nya masih ada dimotorku? Bukankah dia membutuhkan helmnya untuk berkendara? Atau dia pulang naik mobil? Ah sudahlah, nanti aku chat saja dia.
Setelah menyalakan mesin motor, aku membelokkan motorku keluar area kantor. Biasanya aku pulang pukul 16.00, tapi karena aku malas membawa pulang kerjaan kantor, aku memutuskan untuk menyelesaikannya dikantor. Sekalian menunggu traffic agar lebih lengang.
Kebetulan juga arah kosanku melewati Bank Nasional, tempat Gisele bekerja. Aku menghembuskan nafasku, mungkin melihat kantornya bisa melepas rindu? Wkwk, ngaco!
Tapi sepertinya pikiranku tadi ada benarnya juga. Tepat 100 meter didepanku, aku melihat Gisele sedang berdiri dipinggir jalan seperti sedang menunggu seseorang.
Berhenti. Tidak. Berhenti. Tidak. Berhenti. Tidak. Argh!
Setelah pergumulan yang terjadi dikepala, aku memutuskan untuk menghentikan motorku tepat didepannya. Dahinya berkerut melihat motor asing yang berhenti didepannya. Aku membuka kaca helmku dan memberikan senyuman terbaikku untuk menyapanya.
“Hai, Gisele. Baru pulang kerja?”
“Menurut kamu? Kamu ngapain disini?”
Mataku memindainya dari atas ke bawah. Gisele masih mengenakan seragam kerjanya, hanya saja bagian atasnya tertutup oleh jaket bomber warna cokelat.
“Mau pulang? Lagi nunggu jemputan?” aku menurunkan standar motorku, mengarahkan badanku padanya.
Dia terlihat menghembuskan nafasnya, sepertinya dia tidak ingin menanggapiku. Huft.
Aku mulai turun dari jok motorku, melepas helm, dan berdiri disampingnya.
“Mau aku antar?” aku melihat wajahnya dari samping yang terkena pantulan cahaya sore. Walaupun sudah sore, wajahnya tetap cerah. Menakjubkan.
Dia hanya menggelengkan kepalanya tanpa mengucapkan sepatah katapun padaku.
“Ini udah sore lho. Aku janji nggak akan macem-macem. Kamu bisa bawa KTP atau ponsel aku buat jaminan. Aku cuma ingin nganterin kamu pulang, nggak ada maksud lain. Beneran deh.” Aku menaikkan jari telunjuk dan jari tengahku padanya.
Dia melihatku sekilas sebelum beralih pada ponselnya yang bergetar. Setelah melihat ponselnya, Gisele kembali memandangku.
“Jadi?” dia hanya menganggukkan kepalanya.
Aku tidak bisa menahan senyuman bahagia diwajahku, “B-beneran, kamu mau aku anter pulang?”
Dan dia hanya mengangguk lagi padaku, sebelum mengulurkan tangan kananya didepanku.
Dahiku berkerut bingung melihat tangannya yang terulur didepanku. Melihat wajah kebingunganku, dia mengatakan hal yang menciptakan senyuman lain diwajahku, “Ponsel sama KTP kamu?”
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sambil memberikan ponsel dan KTPku padanya. Dia sepertinya sungguhan ingin menyita ponsel dan KTPku selama perjalanan. Apa wajahku ini, wajah-wajah penjahat yang tidak bisa dipercayai ya?
“Kamu mau duduk nyamping atau ngangk—“ aku menghentikan kata-kataku saat melihat rok span yang dipakainya.
Setelah selesai melihatnya menggunakan helm dengan aman, aku menaiki motorku. Sebelum dia ikut naik, aku menurunkan pijakan kaki motorku terlebih dulu untuknya.
Dia hanya diam memperhatikanku dan duduk menyamping diatas jok motorku. Ya Tuhan, aku tidak bisa mengontrol detakan jantungku yang berpacu karena bisa sedekat ini dengannya.
“Udah, ayok jalan.” Gisele akhirnya membuka suaranya karena motorku masih belum beranjak dari tadi.
Aku tersenyum melihatnya, “Pegangan dong. Nanti jatuh, lecet, sakit lho.”
“Ish.” Tanganya terulur memegangi sisi samping jaketku.
Sepanjang perjalanan aku menggumamkan rasa syukurku pada Tuhan Yang Maha Esa karena sore yang indah ini. Juga untuk Dinar, karena sudah meninggalkan helm nya dimotorku dan memberikan kesempatan untukku satu motor dengan Gisele. Thankyou banyak, Dinar!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kompilasi (Short Story)
Short StoryPeringatan! Cerita ini mengandung lesbianism. Read at your own risk. Kisah tentang mereka mungkin lebih menyenangkan untuk diceritakan. Tapi kisah tentangmu, tentangku, tentang kita. Akan jauh lebih hebat. Percayalah. Cinta kita akan mengguncangka...