First-2

3.3K 335 11
                                    

Flashback
(JAMAN PERKULIAHAN)

Kate's Pov

"Kate, aku mau nanya. Tapi kamu jangan ngetawain atau nyinyirin aku ya?"

Anes tiba-tiba saja datang dan duduk disampingku. Aku yang sedang asyik bermain game di ponselku, menoleh ke arahnya.

"Apaan sih? Kok kayaknya serius banget?" setelah melihat raut wajah seriusnya, aku meletakkan ponselku diatas meja depan kami.

"Tapi janji dulu, jangan ketawa apalagi nyinyir nanti."

"Iya. Janji. Kenapa?" Aku menghadapkan badanku padanya mengikuti Anes yang juga menghadapkan badannya ke arahku.

"Kamu pernah ciuman, nggak?" Anes menundukkan kepalanya, nada suaranya juga menurun. Malu-malu menanyakan hal itu padaku.

Aku mengerutkan keningku dan mengedipkan kelopak mataku beberapa kali mendengarnya tiba-tiba bertanya hal semacam ini padaku.

"Kenapa emang? Kok tetiba tanya gituan?" wajahku menatap serius ke arahnya, tanganku bersandar pada bahu sofa.

"Ya tanya aja. Emang nggak boleh?" Anes masih menundukkan wajahnya tidak berani melihatku.

"Ya boleh sih. Tapi aneh aja gitu, kamu tetiba nanyain hal kayak gitu. Biasanya kan kamu suka malu-malu kalau bahas hal gituan. Pasti ada sebabnya nih, kenapa hayo?" aku menunduk melihat wajahnya yang memandang kearah bawah.

"Em.. gimana ya? Uh.. em.. I, haven't even been kissed." Anes menggigit bibir bawahnya mengatakan hal itu, sebelah alisku terangkat. Tidak mempercayai apa yang baru saja keluar dari mulutnya.

"Bukanya mantan kamu ada tiga ya?" seingatku, Anes sudah berpacaran tiga kali. Dan orang pacaran biasanya gitu-gitu kan? Eh. Apasih.

Kali ini, dia berani menatap kearahku, "Iya, but, kami nggak pernah sejauh itu."

"Terus, kamu sekarang mau ngelakuin itu sama Devon?" Devon adalah pacar Anes sekarang, mereka sudah mulai berpacaran sekitar 7 bulan yang lalu.

Bola mata Anes memandang ke bawah, mengangguk sambil menggigit ujung kuku ibu jarinya.

"Yaudah terus sekarang masalahnya apa?"

"Dia udah ngasih tanda-tanda mau ngelakuin itu. Aku takut. Aku takut ngerusak momennya, Kate."

Hampir saja aku tertawa mendengarnya, jeez anak ini, "Relax. It's not something hard to do, Nes."

"Aku mesti gimana, Kate? Ntar kalau jadi awkward sendiri gimana? Terus kalau Devon jadi nggak suka sama aku lagi gimana, Kate? My God." Sungguh drama sekali wajahnya saat ini. Ugh!

"Seseorang nggak akan mutusin pacarnya gitu aja, kalau dia nggak mahir ciuman kan? Please deh, Nes. Kamu berlebihan." Tanganku memegang pundaknya, berusaha menenangkannya.

Anes menghembuskan nafasnya dengan wajah sedih. Aku yang melihatnya jadi ikut menghembuskan nafasku. Bagaimana bisa dia berpikir sejauh itu? Nggak masuk akal kan? Secintanya itu Anes sama Devon? Sampai-sampai dia memikirkan tentang hal semacam itu? Argh! Kok malah aku yang jadi frustasi?

"Yaudah, aku akan ajarin kamu. Tapi jangan berharap banyak, karena aku bukan expert. Aku akan ngasih tau berdasarkan pengalaman aku aja, ya?"

Mata Anes langsung berbinar dan menganggukkan kepalanya mendengarkan perkataanku. Aku hanya memutar malas bola mataku melihatnya sebahagia itu.

"Okay. Yang pasti, kalau suasananya udah kebangun. Devon pasti akan gerak duluan. Mungkin dia akan pegang lengan kamu, leher kamu atau bahkan pipi kamu lebih dulu. Habis itu, dia akan majuin wajahnya deket kamu. Kalau kamu bingung mau naruh tanganmu dimana, kamu bisa pegang bahu, lengan atau lehernya. Terus kamu tinggal ikutin aja alurnya. Gampang kan?"

"Em, Kate. Kamu keberatan nggak, em, kalau, kalau kita praktekin?"

"Astaga, Nes. Sebegitunya kamu sama Devon?"

"Because you are my bestfriend. And I trusted you. Sama siapa lagi aku prakteknya kalau bukan sama kamu?"

"Ya sama Devon dong."

"Kate!"

Aku hanya bisa mengusap kasar wajahku dengan kedua tangan. Kenapa sih aku bisa berakhir berteman dengan orang semacam ini. MyGod!

"Fine. But first, can you please close your eyes?"

Anes tersenyum dan mulai menutup matanya. Aku menghembuskan nafasku perlahan. Tanganku bergerak menangkup kedua pipinya, badanku mulai mencari posisi paling nyaman. Aku memajukkan wajahku perlahan, dalam jarak 10 senti aku memandang matanya yang tertutup dan tanpa sadar memindai detail wajahnya.

G-god. She is pretty. What? What the fuck?! Shit! Aku nggak pernah memindai wajah seorang wanita sedekat ini. Pandanganku turun kearah bibirnya yang berwarna pink, kecil dan berisi. Shit! What happened to me?

Karena mungkin Anes tidak merasakan apa-apa, dia mulai membuka kedua matanya dan memandangku. Mataku ikut naik memandang iris cokelatnya. Pandangan kami bertemu sepersekian detik, intens.

Setelah itu pandanganku mulai turun lagi kearah bibirnya. Aku tersadar akan satu hal. Bibir itu, belum pernah dijamah oleh siapapun! Kenapa aku merasa bahagia mengetahui akulah yang pertama? Shit. Again. Shit. Damn!

Wajahku mulai mengikis jarak diantara kami, kelopak mata kami mulai saling menutup. Aku merasakan tangan Anes bergerak kaku memegangi bahuku. Bibirku tersenyum merasakan pergerakannya. Dan bibir kami mulai bersentuhan, hanya menempel. Aku tidak berani bergerak, merasakan bibir Anes pada bibirku.

Jadi seperti ini ya rasanya mencium bibir wanita? Ralat! Bibir sahabat wanitamu. Shit!

Saat merasakan bibir Anes akan menjauh, aku segera membuka bibirku. Membuat pergerakan dengan mengulum bibir bawah bergantian dengan bibir atasnya. Tanganku meraih tengkuknya memperdalam pergerakan bibir kami.

Awalnya, Anes hanya diam saja. Tapi setelah beberapa detik, bibirnya juga mulai mengikuti pergerakanku. Aku tersenyum lagi disela ciuman kami. Tapi itu tidak berlangsung lama setelah aku mendengar suara yang lolos dari bibir Anes.

Aku menjauhkan wajahku perlahan, memandang wajahnya yang memerah, dan matanya masih terpejam. Bibirku tertarik ke dalam merasakan sisa bibirnya padaku, "I'm sorry. Aku rasa itu sudah cukup."

Aku melihatnya mengulum bibirnya sendiri sebelum menganggukkan kepalanya.

Suasana awkward yang tercipta diantara kami terselamatkan oleh suara orang tuaku yang baru saja pulang dari acara resepsi pernikahan salah satu teman kerja Papa. Glory bagi Tuhan. Melihat kedatangan orangtuaku, Anes pamit pulang ke rumahnya. Kami tinggal di komplek yang sama, hanya berbeda beberapa blok saja.

Setelah Anes pulang, aku menuju ke kamarku. Melemparkan tubuhku pada kasur, menyelimuti tubuhku hingga ujung kepala dan menutup wajahku dengan bantal. Meratapi kejadian luar biasa yang baru saja aku alami. Sial!


 Sial!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kompilasi (Short Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang