Sunflowers-3

6.9K 508 3
                                    

Setelah makan malam bersama, aku dan Laura duduk di ruang keluarga sambil menonton acara TV series Amerika. Laura menyandarkan kepalanya dibahuku.

"Om Edwin apa kabar, Ra?"

"Papa udah meninggal satu tahun yang lalu, Dine."

Aku langsung menoleh padanya. "I'm sorry. Maaf aku nggaktau, Ra."

Om Edwin sudah meninggal dan aku nggaktau itu. Pasti berat buat Laura ditinggal Om Edwin. Mama Laura sudah meninggal saat Laura menjalani koas nya. Laura sangat terpukul waktu itu. Dia sangat dekat dengan mamanya. Aku mengenal dekat kedua orang tua Laura. Mama Laura adalah seorang yang lembut, sedangkan Om Edwin memiliki sifat yang keras tapi juga sangat penyayang pada keluarganya.

"It's okay. Setelah papa meninggal, rumah sakit dipegang sama Tante Rani. Harusnya tanggung jawab itu jatuh ke aku, tapi aku nggakmau. Jadi, aku minta tolong Tante Rani sebagai adik papa untuk mengurus rumah sakit. Aku mau kerja di luar aja, soalnya disini nggak ada kamu."

Aku menaikan sebelah alisku mendengar kalimat terakhirnya. "Hm?"

Laura melihat wajahku sekilas dan tersenyum jail padaku.

"Tapi pada akhirnya kamu kerja disini?"

"Itu karena Tante Rani yang minta. Aku harus belajar ngurus rumah sakit juga katanya. Gimanapun juga itu masih jadi tanggung jawab aku kan." aku hanya mengangguk-anggukan kepalaku dan berpaling pada acara TV didepan kami.

"Emm, Dine." Laura menegakkan tubuhnya dan menghadapku. Aku menunggu dia melanjutkan perkataannya.

"Aku mau nginep, boleh nggak? Besok day off aku." matanya berbinar menatapku penuh pengharapan.

Dahiku berkerut, berfikir. "Kangen banget emang sama aku ya?" aku menaik-naikkan alisku menggodanya.

Mukanya langsung berubah cemberut, dia memutar tubuhnya menghadap TV lagi, tangannya bersedekap didepan dada, dan mencebikkan bibirnya. Lucunyaa.

Aku tersenyum melihatnya, "Kamu tuh udah nggak muda lagi, nggak cocok ah manyum-manyun gitu." Tanganku terulur mencubit pipi kirinya.

Laura langsung berbalik dan menyubiti perutku, "Kamu ya! Sadar nggak kamu tuh lebih tua dari aku! Ihh nyebelin banget sih!"

Laura semakin gencar melayangkan cubitannya padaku, aku hanya tertawa. Bukannya menyakitkan, cubitannya malah membuat aku geli.

"Kita tuh cuma beda satu tahun doang ya. Okay, udah dong, stop." Aku memegang kedua tangan yang masih mencubitku, mecoba menghentikan serangannya.

Mata kami saling bertemu, suasananya mendadak menjadi hening. Aku tersenyum melihat wajahnya yang memerah. Masih saja tersipu saat mataku memandanginya seperti ini. Wajahku mendekat, bibirku mencium keningnya lama. Meresapi setiap kerinduan yang mendesak didalam dada.

Aku melepaskan ciumanku, melihat wajahnya. Matanya masih terpejam, seakan ikut meresapi rasa yang aku salurkan padanya.

Laura membuka matanya perlahan, dia tersenyum. Aku juga ikut tersenyum melihatnya.

"Yuk."

Tanganku mengajaknya berdiri dan menggandeng tangannya menuju kamarku.

+++++

Sesampainya didalam kamar, aku membuka lemariku dan memilihkan kaos bewarna merah maron untuk Laura gunakan. Dia tadi kesini hanya menggunakan kemeja untuk dinasnya.

"Nih."

Dia langsung masuk ke dalam kamar mandi, aku merebahkan tubuhku diatas kasur dan mengecek ponselku.

Setelah 15 menit, Laura keluar dari kamar mandi. Kaosku sungguh kebesaran ditubuhnya sampai menutupi setengah pahanya.

Aku tertawa melihatnya. Seperti anak kecil yang tenggelam dalam kaosku. Dia mencebikkan bibirnya.

"Ini sih namanya daster, kamu yah jangkung banget."

Laura ikut merebahkan tubuhnya disampingku. "Loh, kamu sendiri kan yang mau minjem kaos aku, ya aku pinjemin kan. Malah ngatain."

Aku menaruh ponselku ke atas nakas disamping kiriku, dan membuka lenganku untuk menjadi sandaran Laura.

Laura tersenyum dengan senang hati menurut saja menaruh kepalanya di bahuku. Tangannya melingkar memeluk tubuhku, matanya terpejam menghirup dalam aroma tubuhku.

"So, tell me. Gimana ceritanya kamu bisa ngerawat Ibu aku?"

"Waktu itu aku nggak tau kalau Ibu kamu yang bakalan jadi pasien aku. Ibu kamu juga kaget liat aku waktu itu. Kita banyak ngobrol. Ibu kamu tanya kenapa aku udah jarang main ke rumah. Ibu juga bilang supaya aku nggak ngasih tau siapapun tentang penyakitnya. Ibu kamu diem-diem ke rumah sakitnya.

Ibu kamu kuat banget, Dine. Ibu sering cerita tentang kamu. Makanya aku bisa tau kamu Lebanon waktu itu. Ibu bangga banget sama kamu. Kamu mirip banget sama Ayah kamu katanya, makanya beliau bisa lepas kamu jadi tentara."

Aku mendengarkan cerita Laura dengan seksama, mataku mulai memanas. Ibu bisa menyembunyikan semuanya selama ini. Kami sering video call waktu aku di Lebanon, dan nggak ada tanda apa-apa kalau Ibu ternyata sakit. Atau aku saja yang tidak peka. Astaga Tuhan. Aku merindukan Ibu sekarang.

Air mataku sudah tidak bisa aku tahan, mengalir begitu saja.

Laura menatap kearahku. Tangannya bergerak menghapus air mataku.

"Dan kamu tau, Dine?" dia masih menatapku. Mengambil tangan kananku dan menyatukan jemari kami.

"Ibu kamu tau tentang hubungan kita selama ini." aku terkejut mendengar fakta itu. Badanku langsung berubah menjadi posisi duduk, bersandar pada sandaran ranjang.

"Kamu serius? Ibu tau kita pacaran? Gimana bisa?" kami tidak pernah secara terang-terangan memperlihatkan hubungan kami, apalagi didepan keluarga kami. Bagaimana bisa Ibu tau hubungan ku dan Laura.

Laura ikut duduk menghadapku. Dia menganggukan kepalanya.

"Intuisi seorang ibu katanya. Dan ibu bilang akan dukung apapun yang membuat kamu bahagia, Nadine. Aku menangis didepannya waktu itu. Ibu kamu peluk aku dan bilang kita harus saling menjaga. Kamu harus bangga sama Ibu kamu. Demi Tuhan, Ibu kamu baik banget, Dine."

Mata Laura juga ikut berkaca menceritakan kejadian itu.

Aku mengenggam kedua tangan Laura, mencium punggung tangannya.

"Aku nggak akan lepasin kamu lagi, Laura. Nggak akan."

Laura tersenyum disela air mata yang mengalir di pipinya.

"Kamu cengeng ah." Aku mengusap pipinya, mengahapus air matanya yang turun.

"Ck, liat deh siapa yang ngomong." Tangannya juga bergerak menghapus sisa air mataku. Kami tertawa menertawakan kegiatan tangan kami yang saling mengusap pipi.

Aku kembali meraih tangan Laura dan menggenggamnya. Kami terdiam. Pandangan mata kami saling bertabrakan, memandang dengan intens.

Satu tanganku terulur memegang pipi kirinya. Tanganku yang lain masih menggenggam jemarinya dalam pangkuanku. Mataku turun memandang bibir tipisnya dan kembali melihat matanya.

"You know what?  I'm so deeply falling for you, Laura Elizabeth Putri."

Aku mendekatkan wajahku padanya, matanya mulai terpejam. Hidung kami saling bersentuhan. Aku mulai memiringkan wajahku dan mencium bibirnya. Bibir kami hanya saling menepel. Mataku masih terbuka memandanginya sedekat ini.

Aku mulai ikut memejamkan mata seiring dengan gerakan bibir kami yang saling bertaut. Melepaskan segala emosi yang seakan membuncah. Bibirku masih bergerak menyesapi bibir manisnya. Desahan kecil keluar dari bibirnya. Laura mulai mengalungkan lengannya di leherku, menekan tengkukku, dan memperdalam ciuman kami.

Setelah sekian lama, malam itu kami saling melepaskan kerinduan dengan penyatuan dinginnya malam ini dan hangatnya suhu tubuh kami.

Kompilasi (Short Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang