Eyes-3

2.2K 303 14
                                    

Holla everybody! Sebenernya tulisan ini sudah saya tulis sejak lama. Bahkan lebih dulu dari CS dan FIRST. Tapi kisah ini stuck begitu saja. Hanya berhenti di part 1. Karena jujur saya nggak tau alurnya akan dibawa kemana.

But, someone gave me some advice. And, voila. Thank you so much for your ideas! Dan untuk para pembaca, selamat membaca kelanjutannya kembali, terimakasih atas support kalian semua. Enjoy!

Georgia's Pov

Disana, di atas panggung didalam ruangan megah ini, ditengah ratusan orang yang sedang berdiri memberikan applause. Seorang Tamara berdiri tak jauh dari pianonya, senyumannya yang mengembang menyapa seluruh penonton. One shoulder asymmetric dress yang begitu pas ditubuhnya, rambutnya yang dibuat jatuh bergelombang, menambah kesempurnaannya malam ini.

Tetapi, senyuman yang sedari tadi berada diwajahku luntur seketika saat melihat sosok laki-laki yang menjadi suksesor acara Tamara malam ini mendekat padanya dengan membawa buket bunga. Wow, mendadak dadanya menjadi sakit melihat ini. Shit. Ini bukan waktunya buat cemburu, Georgia! Ingin sekali berlari keatas panggung sana, memeluk Tamara. Memberikan ucapan selamat karena konsernya sukses besar. Hhh, aku menghembuskan nafasku berat sebelum meninggalkan ruangan ini. Ada hal yang harus aku urus terlebih dahulu.

Tamara's Pov

Sudah dua minggu sejak pertunjukan tunggal ku, dan Georgia seperti menghilang begitu saja ditelan bumi. Dia tidak pernah kesini ataupun menghubungiku seperti yang biasa dia lakukan. George bahkan tidak datang ke acaraku? Sedih, kecewa, marah. Perasaanku bercampur aduk sekarang. Hanya satu yang ingin aku tau. Where are you, George?

Lamunanku terhenti saat mendengar suara mobil berhenti didepan rumahku. Itu pasti mobil George, suara mobilnya sudah sangat aku hapal selama hampir 10 bulan ini. Kakiku melangkah ke ruangan depan, tanganku meraba pintu dan membukakannya untuk George.

"Hello, Tamara." Alisku terangkat mendengar suara George yang terdengar parau menyapaku. Setelah itu aku merasakan Georgia mendekat dan memeluk tubuhku. Kebiasaan yang selalu dia lakukan saat bertemu denganku.

Aku membalas pelukannya, seakan perasaanku beberapa menit yang lalu luntur digantikan dengan perasaan bahagia karena bisa bertemu dengannya lagi, "Kamu kemana aja? Kamu bahkan nggak dateng ke konser aku?"

George melonggarkan pelukannya dan mengusap kedua pipiku, "Maaf ya, aku dateng kok waktu itu. Dan nih ya aku jamin, kamu berhasil menghipnotis semua penonton yang ada disana. Kamu hebat, Tamara. Believe me. Dan untuk penjelasan lainnnya, ada hal mendadak yang harus aku urus. Jadi maaf ya aku nggak bisa langsung nemuin kamu."

Kepalaku menggangguk, aku harus sadar kalau George punya kehidupannya sendiri. Bukan tentang hidupku saja, "It's okay. Some things are more important than others." Kakiku melangkah ke dalam rumah setelah kalimat itu keluar dari mulutku.

Tetapi pergerakanku terhenti saat merasakan tangan George memegang pergelangan tanganku, "You are important. Okay? Sekarang kita duduk dulu, aku ada sesuatu buat kamu."

George menuntun kami untuk duduk di sofa ruang depan, setelah kami duduk aku mendengar George yang sedang terbatuk-batuk. Pertama, suaranya serak dan sekarang dia batuk. Fix, George sedang dalam kondisi yang tidak sehat.

"George, kamu sakit?" aku mendekatkan diriku padanya, tanganku mengusap wajahnya lembut.

"Ya, but no need to worry. It's just flu biasa. By the way Tam, kalau suatu saat, ada yang mau donorin mata buat kamu. Kamu mau terima nggak?"

Kembali, alisku terangkat mendengar pertanyaan itu terlontar tiba-tiba. Pertanyaan yang tidak pernah terbesit dalam pikiranku, "Bukannya aku nggak mensyukuri berkat Tuhan itu ya George, hanya saja mungkin, aku pikir masih banyak orang diluaran sana yang lebih membutuhkannya dari pada aku? Lihat aku sekarang, dibandingkan dengan orang-orang yang lebih kurang beruntung dari aku. Mereka lebih layak mendapatkan mata itu."

Kompilasi (Short Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang