Eyes-1

3.5K 321 16
                                    

Kakiku melangkah ringan memasuki sebuah rumah berdesain minimalis. Dengan sangat amat perlahan, tanganku membuka knop pintu bercat hitam didepanku. Tangan kananku menggenggam kantong plastik berisi sekotak martabak manis kesukaan Tamara.

Aku mengenal Tamara sekitar 10 bulan yang lalu. Kami bertemu di pernikahan sepupuku saat dia diminta untuk memainkan piano disana. Mempelai wanitanya adalah teman Tamara, Anita, sedangkan mempelai prianya adalah sepupuku, Aldo namanya.

Tamara adalah seorang pianist yang sudah dikenal dengan kemampuannya yang luar biasa saat memainkan tuts-tuts piano. Selain kemampuannya, Tamara juga dikenal sebagai sosok yang hangat dan ramah. Awalnya, Anita yang memperkenalkan kami. Setelah banyak mengobrol sana-sini, kami menemukan kecocokan satu sama lain dan begitulah sampai hari ini kami menjadi teman.

Setelah membuka pintu, aku berjinjit untuk mencari keberadaan Tamara. Tamara memang sengaja memilih rumah yang tidak terlalu besar karena dia hanya tinggal sendirian. Orangtua dan adiknya meninggal saat kecelakan mobil belasan tahun yang lalu. Hanya Tamara satu-satunya yang selamat saat kejadian mengerikan itu terjadi.

Mataku masih sibuk mengitari sekeliling rumah dan mendekati meja mekan untuk menaruh kotak martabak yang tadi aku beli. Kakiku masih berjinjit menuju ruang kerja Tamara, saat telingaku mengangkap suara dentingan piano. Ruang kerja Tamara tidak memiliki pintu, hanya sebuah ruangan kosong yang disulap menjadi tempatnya mencurahkan ide bermusiknya.

Tamara sekarang sedang duduk membelakangiku, jarinya masih dengan lihai menekan tuts piano, menghasilkan suara yang menyenangkan telinga siapa saja yang mendengarnya. Saat aku sudah setengah jalan menuju kearahnya, jarinya berhenti bermain dan kepalanya menoleh menghadap belakang. Menghadapku.

"George?"

Aku berdecak dan berjalan kearahnya, rencanaku mengagetkannya gagal.

"Kok kamu bisa tau sih? Padahal aku udah ngendap-ngendap lho jalannya." Kataku sambil berjalan kearahnya.

Tamara tertawa mendengar nada kesalku, dia lalu berdiri dan berjalan kearahku. Kedua tangannya terulur ke depan meraba pundakku lalu beralih pada wajahku.

"Aku bisa cium aroma kamu tau. Parfum kamu itu wanginya beda."

"Ck! Segitu ketaranya ya bau aku? Kalau besok aku ganti parfum gimana?" seingetku, terakhir kali aku menyemprotkan parfum itu waktu pagi tadi, dan Tamara masih bisa mencium bau parfumku dari jauh? Wow!

"Aku nggak bisa lihat, bukan berarti aku nggak bisa denger langkah kaki kamu juga, kan?" Tamara menyunggingkan senyumannya, ibu jarinya mengusap pipi sebelah kiriku.

Aku menghembuskan nafasku, tanganku bergerak untuk memeluknya, "Peka banget sih. By the way, selamat ya untuk pertunjukan tunggal kamu minggu depan. I'm so proud of you, and aku bawain martabak manis kesukaan kamu. Makan yuk?" aku melepaskan pelukannku dan menatap wajahnya.

Tamara hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum padaku.

Aku menaruh tangannya dilenganku dan kami berjalan bersama menuju ruang makan.

Fyi, Tamara kehilangan penglihatannya saat dia berumur sembilan tahun. Bertepatan dengan kejadian yang telah menewaskan kedua orangtua dan adiknya. Kecelakaan itu menyebabkan benturan keras dan melukai mata Tamara. Tamara adalah sosok yang sangat kuat, dia berhasil bangkit dari traumanya dan melanjutkan impiannya sebagai seorang pianist.

Selama ini Tamara dirawat oleh tantenya, setelah dia bisa meraih impiannya, Tamara memutuskan untuk mandiri dan meninggalkan rumah tante yang selama ini menjaganya. Walaupun matanya tidak bisa melihat, tapi dia memiliki rasa kepekaan tersendiri yang tidak dimiliki oleh orang lain.

"Disaat kita kehilangan satu indera kita, indera kita yang lain akan menjadi lebih sensitif, George." Kata Tamara saat sudah selesai menelan potongan martabak kedua ditangannya.

Aku menganggukkan kepalaku dan meneguk jus jeruk yang aku ambil dari kulkasnya tadi, "Kenapa sih kamu nggak manggil aku Gia aja, Tam?" memang sejak awal perkenalan kami, dia selalu memanggil aku dengan nama George. Seperti manggil nama laki-laki saja. Huft.

Tamara tersenyum mendengar perkataannku, "Kan waktu dulu kenalan, kamu memperkenalkan dirimu pake nama Georgia, bukan Gia. Jadi suka-suka aku dong ya." Tangannya bergerak mencari gelas yang ada di depannya. Hebatnya, dia bisa mengetahui dengan sangat baik letak gelas itu. Aku jadi semakin mengagumi sosoknya. She is really something.

Setelah meletakkan gelasnya kembali, dia berkata, "Kenapa juga kamu manggil aku Tam? Kan kedengerannya kayak hitam. Emang aku hitam apa."

Aku tertawa mendengarnya. Iya juga ya? Kok aku nggak sadar ya, wkwk.

"Kan waktu dulu kenalan kamu memperkenalkan dirimu pake nama Tamara. Jadi suka-suka aku dong ya mau manggilnya apa." Aku tertawa sekilas membalikkan perkatannya tadi.

"Ish." Tamara membuat wajahnya menjadi cemberut, dan lagi aku tertawa melihat ekpresinya.

"Makasih ya udah mau jadi temen aku, Tamara." Sebelah tangannku menggenggam tangan kanannya yang memegang gelas dimeja.

Tamara mengangkat sebelah alisnya, "Harusnya aku yang bilang gitu, George. Kamu udah mau temenan sama aku yang banyak kurangnya ini."

Kini kedua tanganku memegang tangannya, "No! You are amazing woman, Tamara. You are beautiful, you are talented, you are smart, y-you are..."Aku menghentikan kata-kataku seketika saat melihat dia tertawa.

"Kok ketawa sih?" aku mengerutkan keningku, bingung dengan suara tawanya yang tiba-tiba.

"What happened to you? Kamu terlalu muji aku deh George?"

"Aku serius tau, Tam. You are precious." To me. Tentu saja kata-kata itu hanya kuucapkan didalam hati.

Tamara langsung menghentikan tawanya. Wajahnya berubah serius.

"Sini deh." Gesture tangannya menyuruhku untuk lebih mendekat padanya.

Saat wajahku sudah tepat berada di depan wajahnya, tangannya terangkat meraba wajahku. Dari alis, hidung, garis pipi, bibir, rahang lalu kembali naik ke atas kepalaku.

"I don't know how you are, secara fisik ya. Aku cuma bisa ngerasain kalau kamu punya alis yang tebel, hidung mancung, wajah kamu tirus, bibir kamu penuh. Kamu punya rambut panjang, bergelombang, and soft. Dan aku tau kamu lebih tinggi beberapa senti diatasku. Kamu cantik dalam bayangan aku, George. And don't forget about your glasses. Kamu wanita yang pintar, kreatif, punya pekerjaan yang mapan. You are perfect. Jadi stop muji aku terus George. Aku nggak mau terlalu kamu puji, I'm not that perfect, you know. Dibandingkan dengan kamu, of course." Tangannya berakhir mencubit gemas hidungku.

"Kamu aneh ya? Banyak manusia diluaran sana yang seneng banget kalau dipuji, lho. Okay kalau kamu maunya gitu, aku nggak akan terlalu muji kamu lagi. But, about my words. I meant it, really."

"Udah ah, aku mau mandi aja." Tamara hendak berdiri menuju ke kamarnya. Tapi aku menahannya dengan memegang pergelangan tangannya.

"Wait, Tam. Kita jalan-jalan yuk? Naik motor. Mumpung aku tadi kesini bawa motor."

Ekspresi wajahnya berubah menjadi khawatir sekarang. "Tapi George, kamu tau kan aku belum pernah sekali pun naik motor?"

Aku tersenyum sebelum mengusap lembut pergelangan tangannya dengan ibu jariku, "Maka dari itu, malam ini kesempatan buat kamu ngerasain gimana itu rasanya naik motor. Sama aku. Ya?"

Tamara mengerutkan keningnya, tampak berfikir lalu menghembuskan nafasnya, "Okedeh, aku mandi dulu."

Dan aku memperhatikan Tamara menghilang menuju ke kamarnya sambil meraba dinding.

Kompilasi (Short Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang