Can't

1.9K 159 1
                                    

Paling gak kuat kalo nulis bagian dying dah........😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭

___________________________________________

Hamparan pasir putih tersapu ombak terasa menyejukkan hati. Menentramkan setiap jiwa yang meresapinya. Begitu juga dengan Raehan. Dia tersenyum melihat keagungan Tuhan dalam ciptaanNya. Dipandanginya laut yang terbentang tanpa batas. Birunya langit menjadi lukisan terindah yang pernah Raehan lihat. Ah... syahdu. Raehan bahkan tak pernah merasa sesyahdu ini.

"Kau bahagia nak?"

Raehan menoleh ke sebelah kanannya. Seorang pria gagah yang mengembarinya tersenyum begitu damai. Dan Raehan membalasnya dengan senyum yang sama damainya. Lalu dia merasakan lengan lembut yang menggamit tangannya di sebelah kiri. Tersenyum bagai bidadari yang ia rindukan sejak lama.

"Kami merindukanmu." Katanya dengan suara selembut beledu.

Raehan masih tak berkata apa-apa. Dia hanya tersenyum dalam damai. Seakan senyumnya sudah menjawab semua pertanyaan yang diberikan padanya.

"Kami merindukanmu dan bahagia jika kau bersama kami nak, tapi tidak sekarang. Tempatmu bukan di sini. Di sana ada malaikat yang menunggumu. Pengantar kebahagian Tuhan dalam wujudnya yang memikat. Tidakkah kau merindukannya nak?" Tanya si suara beledu itu.

Raehan terlihat berpikir.

'Malaikat yang menunggunya?'

'Pengantar kebahagiaan?'

Lalu sekelebat keajaiban muncul di pikiran kosongnya. Tersenyum dengan manik matanya yang menawan. Ah... bidadari itu.. Raehan merindukannya. Kelebatan keajaiban itu muncul semakin banyak, membuat nafas Raehan terasa sesak. Dia memegang dadanya yang begitu terhimpit, mencoba mengais udara yang tak terasa. Dimana kedua orang tadi? Kenapa mereka menghilang ketika Raehan membutuhkan bantuan?

'Ri.....'

'Ri.....'

Raehan setengah mati mencoba menghirup kebutuhannya. Tapi dia justru semakin sesak, jantungnya semakin terhimpit dan bulir air mata jatuh membasahi pipinya. Dia meraung-raung meminta pertolongan.

Kelebatan itu terus berputar di pikiran Raehan seraya mencekiknya. Bidadari itu... ya.... bidadari itulah yang bisa menyelamatkannya. Hanya dia.. ya hanya dia...

'Ri...'

'Ri...'

'RIANAAAAAAAAAA!!!!!!'

***

PLAK.

Tidak ada yang lebih perih dari pada tamparan seorang ayah yang begitu ia kagumi. Yang begitu ia sayangi. Ayahnya. Yang selama ini mendukungnya, meyakinkannya bahwa beliau akan selalu ada untuknya, baru saja menamparnya untuk yang pertama kalinya. Dan entah kenapa Riana merasa pantas mendapatkannya.

"Papa kecewa! Ini adalah keputusanmu. Papa tidak pernah memaksakan pernikahan ini. Tapi coba lihat ini. Di saat suamimu terbaring koma, kau malah kemana? Bersama pria ini yang jelas-jelas kekasih kakakmu sendiri. Tadinya papa tidak ingin percaya, tapi begitu melihat semua buktinya, papa benar-benar kecewa. Papa merasa sangat malu pada keluarga Adibrata. Papa merasa gagal menjadi seorang ayah."

Bulir air mata Riana langsung terjatuh, bersamaan dengan bulir air mata sang ayah. Seharusnya tidak seperti ini. Seharusnya tidak sekacau ini. Dan Raehan, Ya Tuhan! Betapa terkejutnya Riana ketika dia mendengar kabar musibah yang menimpa suaminya. Pria yang kini sudah mendiami hatinya.

"Dan kau Andra. Om benar-benar tidak percaya. Bagaimana bisa kau mempermainkan kedua putri om seperti ini? Bukankah kau bilang akan menikahi Laras? Hmm??"

"Saya bisa menjelaskannya om. Om tolong tenang dulu."

Riana melihat Kirana yang berjalan menjauhi koridor tempat mereka menunggu perkembangan Raehan yang masih berada di ICU. Berjuang antara hidup dan mati dengan segala alat medis yang menunjang kehidupannya saat ini.

"Berhenti!" Ucap Riana ketika dia berhasil mengejar dan menarik tangan Kirana di tepi jalan, kakak satu ayahnya.

"Apa perlu kakak sampai seperti ini? Apa saja yang kakak bilang pada papa sampai papa berpikir buruk tentang aku dan kak Andra?"

Kirana tersenyum sinis. Dia mengibaskan sebagian rambutnya kebelakang. Memastikan Riana bisa melihat senyum bahagianya. Bahagia, karena sudah menghancurkan hidup Riana Saraswati.

"Bagaimana? Bagaimana rasanya saat kau kehilangan segala yang kau punya? Kasih sayang ayah, cinta seorang pria. Sakit bukan? Sakit? Itulah yang aku rasakan sejak ibumu yang jalang itu datang dalam kehidupanku. Menghancurkan keluarga kecil yang aku sayangi, dan membuat ibuku mati perlahan-lahan karena kesedihannya. Sakit sekali bukan? Heh?"

PLAK.

Mata Kirana menajam tat kala dia merasakan tamparan di pipinya kirinya. Berani sekali Riana menampar Kirana ketika dia lebih pantas ditampar. Setidaknya, begitulah menurut Kirana yang selalu membenci Riana. Adiknya sendiri.

"Cukup Ras! Cukup! Akhiri semua ini!" Ucap Andra yang berhasil menahan tangan Kirana sebelum lima jarinya tergambar di wajah Riana.

"Kalian menjijikan. Bisa-bisanya kalian menusukku dari belakang. Kalian berdua memang pasangan yang serasi."

"CUKUP LARAS!!! Apa kau pikir kami tidak tahu. Kau yang mengirim orang untuk memata-matai kami. Kamu juga bekerja sama dengan wanita gila itu untuk menjebak Raehan. Iya kan? Apa kau pikir kami selingkuh? Tidak Ras. Kami hanya bersandiwara. Aku menyuruh Riana mengikuti permainanmu. Agar Raehan bisa membuktikan cintanya, dan kau. Agar kau tahu, apapun yang kau lakukan, kau tidak akan bisa memisahkan mereka."

Kirana terbelalak. Apa maksudnya dengan mengikuti permainannya? Apa mereka hanya diam saja ketika Kirana mengirim foto-foto yang bisa menjatuhkan mereka? Apa mereka gila? Mereka bahkan tidak mencoba menghentikan kegilaannya?

"Kau tahu betapa sakitnya aku ketika melihat wanita yang aku cintai menggunakanku untuk membalaskan dendamnya? Betapa hancurnya aku ketika kau memfitnah sedemikian rupa dan tertawa atas hasilnya? Kau bahkan bekerja sama dengan wanita gila itu untuk menghancurkan mereka. Apa kau masih tidak puas? Kau ingin lebih seperti apa?"

Kirana masih terdiam. Ya. Pria itu memang mencintainya. Dia selalu ada untuk Kirana dan Kirana sangat tahu akan hal itu. Hanya saja, dendam membuatnya jadi buta. Apapun akan ia lakukan untuk menghancurkan keluarga Wiyoto. Keluarganya sendiri.

"Kak. Aku mencintai Raehan, tak bisakah kakak biarkan aku bahagia? Hmm? Pulanglah kak, papa selalu menangisimu. Akupun menyayangimu kak. Kau kakakku satu-satunya."

Pikiran Kirana mulai tak karuan. Ini di luar perkiraannya. Bagaimana bisa Riana menyayanginya setelah semua yang ia lakukan padanya? Dan ayahnya. Ayahnya menangisinya? Bukankah dia tidak peduli pada kesedihan Kirana?

"Lepas!" Kirana melepaskan tangannya dari genggaman Riana yang tengah menangis. Dia mundur begitu saja dan tak sengaja oleng karena heel yang dipakainya. Di saat itulah, dia merasakan tubuhnya ditarik Riana ketika sebuah kontainer terlihat melaju diambang batas kecepatan.

Kirana terbelalak. Andra yang terkejut berlari ke arah Riana. Tanpa Andra sadari, Kirana juga berlari kembali ke tempatnya semula. Tentu saja Kirana lebih cepat sampai karena dia hanya berjarak dua meter dari Riana. Riana terdiam seperti orang bodoh di lajur kontainer itu dan sepertinya tidak berniat untuk menghindar. Seakan dia merelakan jiwanya untuk menghapus kebencian di hati Kirana.

'I love you.' Kirana yakin Riana mengatakan itu tanpa suara. Membuat Kirana mengutuk dirinya sendiri.

Dan semuanya berakhir. Kelam masa lalu terbayar sudah dengan penebusan sebuah jiwa. Jiwa yang kini lemah tak berdaya. Jiwa yang mendamba akan dicinta.

"RIANAAAAAAAAA!!!!!"

'Rae.... tahukah kau? Betapa sulitnya aku bernafas tanpamu. Apa aku pernah mengatakan padamu? Rae... aku mencintaimu. Teramat sangat mencintaimu.'

WITH LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang