part34

4.8K 278 6
                                    

"Silahkan tunggu diluar ya mbak". Ucap suster yang berjalan di belakang dokter. Dan menuntunku keluar ruangan.

Aku tak henti hentinya menangis aku sangat khawatir dan merasa bersalah.

"Gimana letnan Alif?". Tanya Kapten Bimo.

Aku hanya menggeleng gelengkan kepala dan duduk.

"Tadi, barusan saya telepon orang tua letnan Alif. Dan beliau akan datang kesini secepatnya". Ucap Kapten Bimo.

Setelah sedikit lama, dokter dan suster yang di ruangan Alif pun keluar. "Mohon maaf, pasien yang bernama Alif". Ucap Dokter itu yang maaih menggantung. Aku secara respon menutup kedua telingaku.

"Sudah tidak bisa diselamatkan lagi". Lanjut dokter, yang suara sedikit kecil kudengar.

Aku sudah tak bisa mengucap apa apa lagi. Hanya menutup mulutku, dan menggeleng geleng tak percaya.

Aku sesegera masuk ke dalam ruangan Alif. Aku masih tak menyangka ia juga pergi, setelah kak Revin. Aku merasa ini sungguh sangat tak adil.

"Semua alat alat ini sudah harus di lepas dari tubuhnya". Ucap dokter yang tiba tiba sudah berada dibelakangku.

"Tetapi saya harus dapat persetujuan dari keluarga". Lanjut dokter.

"Jangan dulu dok jangan, jangan dulu, saya yakin saya yakin dia masih bisa hidup, dia cuma butuh obat, obat dia mana dok mana, kasih dia obat, dia pasti sadar dok". Ucapku memohon pada dokter sambil menangis.

Sersan Rika datang ke arahku dan memelukku. "Letnan cilvia yang sabar ya". Ucap Sersan Rika.

"Dia dia cuma butuh obat san dia langsung sadar dia cuma butuh obat". Ucapku.

Aku memeluk Alif aku melihat wajahnya, diwajahnya terdapat tetesan Air mata. "Alif kamu bangun Lif".

Sersan Rika dan Dokter keluar dari ruangan Alif.

"Alif Kamu harus bangun, maafin aku alif. Lif plis bangun Aku sayang sama kamu". Aku masih tetap memeluk Alif.

Tiba tiba, aku merasa ada seseorang yang memegang kepalaku. Aku sangat kaget dan respon aku langsung mendongak melihat Alif.

Aku melihat Alif, ia tersenyum tipis. Aku sangat bahagia sekali.

"Alif, kamu sadar kamu sadar lip". Ucapku.

"Poor you". Ucap alif dengan suara kecil, nyaris tak terdengar sambil senyum.

"Why are you saying, poor you?". Tanyaku mengikuti ucapan Alif.

"Segitu khawatirnya sama aku, jadi senang deh". Ucapnya masih tersenyum.

"Hah? Gimana gak mau khawatir, kamu itu tadi sekarat tau". Ucapku kesal memukul perut alif dan menghapus air mataku.

"Auww, kenapa malah dipukul cil?". Keluhnya memegang perut.

"Dokternya bisa banget ya di ajak kompromi". Lanjutnya sambil senyam senyum.

"Ih emang dasar ya, mati beneran baru tau rasa. Tadi aku tuh udah merasa bersalah sama kamu, eh ternyata kamu malah bohong sama aku, dasar". Kataku.

"Kalo aku mati beneran nanti kamu nangis histeris kayak tadi itu. Oh iya, btw  aku udah maafin kamu kok". Ucapnya.

"Ah udah ah, aku mau keluar aja". Kesalku.

"Eh, ngapain keluar? Mending disini aja". Cegatnya memegang tanganku.

"Kasian yang diluar, kamu tuh bikin banyak orang khawatir". Ucapku.

"Mereka udah tau semua gimana kondisi aku". Ucap Alif.

Sahabat Hidup (Militer)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang