02

8K 634 10
                                    

Malam ini, bapak minta di pijetin sama aku, katanya kangen pijetanku. Jadi sambil bapak geletakan di tiker dengan ku pijet, Ibu sama Ero sesekali mengajakku dan bapak bercakap-cakap.

"Udah ketemu sama Wira, kak?" tanya ibu.

"Udah" jawabku.

"Gimana?"

"Apanya yang gimana?" kataku bingung.

"Ganteng kan?" tanya adekku itu dengan wajah menyombongkan sahabatnya itu.

Aku mengernyit, "B aja tuh, lagian aku kan tiap tahun juga liat dia kalo pulang."

"Eleh, bilang aja mata kamu seger bisa terawang yang kotak-kotak di balik kemejanya." ledeknya.

Aku hanya mencebikkan bibir sebagai balasan tanpa berbicara. Toh yang dia bilang bener. Tadi sore aja pas dia nganter aku pake motornya, rasanya tanganku gatel pengen peluk dia.

Apalagi harumnya..uhhhh...ngga nahan, menusuk-nusuk indera penciumanku. Meronta-ronta sampe ke hati.

"Hehe, ngebayangin Wira kan kamu." duganya.

"Iyalah, masa ngebayangin situ." judesku.

"Kamu tuh kak, bibirnya udah bisa di kasih rem yang kenceng, biar nggak lancar banget ngomongnya. Malu, udah tua masih kolokan." tegur Ibu.

"Tau tuh, itu tuh yang buat nggak laku." lagi dan lagi Ero cari gara-gara.

"Diem kamu." sentakku.

"Bener tuh yang dibilang adek, kamu pasti nggak laku karena bibirmu yang asal jeplak." dukung Ibu.

"Nggak kan Pak?" tanyaku pada bapak berusaha mencari dukungan. Kalo bukan pada bapak, pada siapa lagi aku mengadu? Oh, pada Tuhan.

"Bener kata Ibumu."

Ingin ku mengumpat, tapi takut dosa.

"Yaelah Pak, Bu, kalo pun Maya belum ketemu jodoh, itu bukan karena bibir Maya yang asal ceplos, tapi karena jodoh Maya masih punya orang." ujarku akhirnya memberi pencerahan untuk membela diri.

"Sebahagiamu aja lah kak bikin alasan." kata adekku.

"Oh ya Ro, kok Wira di sini?" tanyaku.
Wira itu memang kerja di pekan baru, tapi di kotanya bukan di pedesaan tempat kami tinggal. Dari desa kami ke pekanbaru kota itu biasanya dua jam-an lah.

"Iyalah, dia kan kadang sabtu minggu pulang ke sini."

"Oh, pantes." anggukku.

"Jadi gimana kak, udah kamu pikir-pikir yang kemaren ibu bilang?" tanya ibu.

"Yg mana?" tanyaku. Aku kan pelupa, mangkanya bisa cepet move on dari mantan. Hehehe.

"Yg ibu bilang mau jodohin kamu sama Wira."

"Nggak lah bu, Maya kan nggak deket sama Wira." tolak ku cepat.

Aku bisa aja menerima Wira yang dari luar kelihatan ganteng, baik, rapi, bersih, harum, dan sifat lainnya yang mungkin baik dan buruk. Dia juga bisa aja menerima ku dari apa yang bisa ia nilai dari luar, tapi belum tentu kami cocok hingga ke dalam-dalamnya.

Ya nggak tau juga sih, bisa aja ternyata dia malah nggak bisa menerima aku sama sekali baik itu luar maupun dalam. Ya secara, dia itu polisi dengan pangkat perwira. Cewek mana yang nggak mau sama dia di kampung ini. Yang beda agama juga, kalo Wira yang ngajak, kayaknya bakalan hayuk aja.

Aku mah apa atuh? Cuma guru.

Kalo aku beneran jadi sama Wira, orang-orang bakalan bergosip ke yang punya mulut sampe rumput bergoyang. Yang ada dipikiran orang-orang tuh, pasangan polisi, kalo nggak dokter ya bidan. Udah gitu doang.

Can't be Trusted (END) [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang