21

5.4K 538 30
                                    

Aku sedang berduaan di kamarku dengan Wira. Aku duduk dan bersandar di ranjang, sementara Wira berbaring dengan meletakkan kepalanya di pahaku. Aku mengusap-usap rambutnya dengan lembut.

"Pernikahan kita kan masih sebulan lewat lagi, rencana kamu apa?" tanya Wira.

"Enggak tau sih, mungkin aja bantu siapin pernikahan sama belajar masak." jawabku seadanya. Tidak berpikir terlalu panjang karena memang tak tau apa yang akan kulakukan selain membantu menyiapkan acara pernikahan.

Wira tersenyum geli membuatku mengernyit bingung, "Kenapa kamu? Mikir jorok ya?"

"Ya Tuhan, yang...kamu bisa nggak pikirannya nggak negatif mulu. Aku tuh cuma mikirin kata Ero." ujarnya langsung protes karena tak terima dengan tuduhanku.

"Apa katanya?" tanyaku.

"Kakaknya ini tiap disuruh masak, susah banget."

"Oh itu, iya emang, masak itu susah tau" dengusku. Agak sedikit malu menanggapinya.

Wira terkekeh, "Kamu nggak mau kan nanti gaji aku habis cuma buat order makanan aja?" tanyanya.

"Iya nggaklah. Kamu tenang aja, walaupun nggak pinter masak, aku masih bisa dikit-dikit kok." ujarku membela diri.

"Contohnya goreng telur sama masak air?" tanyanya sambil tersenyum menyepelekan ku. Ah, dia ini bener-bener menyebalkan.

"Enak aja. Aku masih bisa nyambel sama numis, gule juga bisa tapi masih dikit-dikit." kataku sewot tak terima disepelekan begitu.

Ia mengulurkan tangannya ke wajahku kemudian mencubit pipiku gemas, "Kamu nih kalo ngomong kok sewot banget sih, udah gitu asal ceplos lagi. Kebiasaan buruk. Kemarin aja Daniel sampe gak sanggup berkata-kata ngadepin kamu, katanya kamu itu kalo ngomong bikin orang tersinggung."

"Oh jadi dia ngadu ke kamu?" tanyaku malah makin sewot.

"Dia bilang gitu ke aku supaya aku bilang ke kamu."

"Terus sekarang kamu mau bilang apa?" tanyaku sewot karena ia seperti tak menerima sifatku yang seperti itu. Lagipula itu kan untuk aksi jaga-jaga karena Daniel itu orang asing.

"Aku tau itu memang sifat kamu tapi aku mau bilang sama kamu kalau orang lain bisa tersinggung sama kata-kata kamu. Mereka bisa aja dendam lalu melakukan hal jahat ke kamu." jelas Wira terdengar hati-hati.

"Iya, nanti juga kalau ada waktu aku bakal berubah."

"Sayang," panggilnya lembut, menegurku.

"Hm."

Dengan mata yang terus menatapku lekat, Wira menggenggam tanganku kemudian membawanya ke depan bibir lalu mengecupnya, membuatku meneguk ludah kasar karena jantungku yang berontak di dalam sana. Jujur saja, itu terlalu manis sampai aku kehilangan kata-kata.

"Aku nggak permasalahin sikap kamu untuk aku sendiri. Aku cuma nggak mau kamu kenapa-napa karena bikin orang tersinggung terus jadi dendam sama kamu." ujarnya berusaha memberi pengertian.

Aku berdecak dan menggerutu "sial" dalam hati karena Wira berhasil membuatku mati kutu dan terlena dengan tindakan dan ucapannya. Ia mempunyai cara tersendiri untuk bisa membuatku patuh mendengar nasehatnya. Dengan lemah aku mengangguk.

"Wir,"

Wira bergumam menjawab panggilanku sambil mengecek ponsel kerjanya. Kulihat dia beberapa kali mengetik sesuatu seperti membalas chat dari beberapa orang.

"Kenapa sayang?" tanyanya kini sambil menatapku. Aku mencibirnya karena terlalu fokus pada tugas bahkan saat ia libur seperti hari ini.

"Aku ragu, takut kamu tersinggung." ungkapku jujur.

"Bilang aja."

"Kamu jangan marah ya. Kalo nggak setuju langsung bilang ya?" ujarku mewanti-wanti.

Ia terkekeh kemudian mengangguk. Meski masih ragu, aku dengan beberapa detik untuk memantapkan hati akhirnya memilih mengungkapkan isi hatiku.

"Kalau nanti abis kita nikah, kamu kan masih ada jadwal sebulan kerja di pekan baru?"

Wira mengangguk.

"Sedangkan kita mau nikah, jadi pasti kamu dapet jadwal cuti kan? Ya, walaupun sebentar."

Wira kembali mengangguk.

"Ini aku cuma mau nanya loh, kalo kamu nggak setuju, nggak apa-apa kok."

Wira kembali terkekeh kemudian mengusap tanganku lembut, "Kamu sebenarnya mau bilang apa, Sayang?" tanyanya.

Aku menggigit bibir bawahku dengan perasaan gelisah dan khawatir, "Boleh nggak kalau kita cuma nginep di rumah orang tua kamu dua hari aja, abis itu kita ke asrama??"

"Memangnya kalau lebih lama kenapa sayang?"

Aku tersenyum kikuk, "Aku cuma agak takut sama tante Talita kalau nanti tinggal bareng, apalagi aku nggak bisa masak." jelasku ragu.

"Yaudah, gimana nyamannya kamu aja." ujarnya santai membuatku membelalak tak percaya, semudah itu ia mengangguki kemauanku.

"Kamu nggak marah?" tanyaku.

"Nggak lah, lagipula aku ngerti gimana perasaan kamu. Aku juga nggak mau mama ikut campur rumah tangga kita."

Aku mengusap kepala Wira dengan lembut berulang-ulang. Ia memejamkan matanya setelah memperbaiki posisi kepalanya di pahaku.

"Nanti kalau kita udah nikah, kamu masih mau kerja?" tanyanya.

"Tergantung."

"Maksudnya?"

Dengan ragu aku menjawabnya meskipun rasanya gengsiku menghalangi, aku malu mengungkapkan alasan ini pada Wira, takut kalau ia mengira aku menggodanya, "Kalau seandainya kamu nanti pengen cepet punya anak, aku nggak akan kerja tapi kalau engak, baru deh aku kerja"

Ia membuka matanya sambil menatapku dengan senyum yang tak ku mengerti artinya sambil menggigit bibirnya gemas sebelum akhirnya ia bangun sebentar untuk mengecup bibirku. Lalu kembali berbaring di pahaku.

"Aku pengen cepet punya anak." jawabnya cepat membuat wajahku yang sudah memanas semakin memerah.

"Aku sayang kamu." ujarnya santai membuatku semakin malu dan dengan tak sadar malah memeluk kepalanya hingga menempel di dadaku.

Aku segera menjauhkannya begitu sadar tindakanku begitu membahayakan. Ia duduk dan menatapku gemas, "Kamu bikin aku bangun." ujarnya dengan suara serak.

Aku menggeleng, "Aku nggak bermaksud, salah kamu sendiri godain aku." kataku membela diri.

Tanpa ku duga, Wira menangkup pipiku lantas melumat bibirku dengan sedikit kasar. Aku yang awalnya hanya diam karena terkejut, kini melingkarkan tangan di lehernya membalas lumatannya. Wira menggigit bibirku hingga aku mendesis dan membuka mulut hingga ia mengakses setiap inci dalam mulutku yang bisa di jangkau lidahnya.

"Emh." desahku pelan.

Wira melingkarkan tangannya erat di punggungku, terus berusaha merapatkan tubuh kami. Aku secara perlahan menangkup wajah wira dan mendorongnya agar melepas ciuman kami begitu sadar kalau akal sehat ku hampir hilang.

Kami secara bersama mengatur pernapasan kami yang telah habis tersita karena ciuman. Wira mengusap bibirku dengan ibu jari tangan kanannya kemudian mengecup ku sekali lagi tanpa melumat.

"Makasih. Aku mau mandi air dingin dulu." pamitnya kemudian berlalu ke kamar mandi ku.

Aku tersenyum kecil melihat gelagatnya persis seperti orang yang menahan nafsu. Maafkan aku sayang. Meski ingin lebih jauh, tapi aku berusaha menahan diri sampai semuanya menjadi lebih berharga. Akan lebih menyenangkan bila pengalaman bercinta kami terjadi setelah menikah.

***

Revisi : 21/3/23

Can't be Trusted (END) [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang