Maya hanya melirik Wira beberapa kali selama mereka perjalanan menuju rumah. Entah apa yang membuat Wira marah, tapi ekspresinya saat ini masih sama dinginnya dengan ekspresinya saat mereka menuju ke restoran tadi.
Maya bahkan bingung ketika ia berusaha menggelayut manja di lengan Wira ketika mereka keluar restoran tadi, Wira malah dengan jelas menjauhkan tangannya. Dan lebih lagi ketika Maya bertanya, "kamu kenapa?" Wira justru tak menjawabnya.
Hingga jadilah saat ini suasana di dalam mobil tetap saja seperti sebelumnya. Padahal perasaan Maya sudah sedikit lebih lega karena penjelasan dari Erika, meski tetap saja ada hal yang sedikit ia ragukan.
Bahkan setelah sampai di rumah pun, Wira tetap bungkam yang membuat Maya benar-benar bingung. Dengan ragu, Maya mendekati pria itu dan menyentuh tangan Wira, "Aku ada salah?" tanyanya.
Wira menepis tangan Maya, "Aku mau istirahat." ujarnya.
"Kamu kenapa? Kalo aku ada salah bilang, jangan diem aja."
"Aku cuma mau istirahat." ujar Wira terdengar menghela nafas.
"Kamu marah kan sama aku? Kamu lagi ngindarin aku kan? Emangnya aku salah apa sampe kamu kayak gini? Perasaan tadi pas ngomong sama Erika, kamu lembut banget. Kenapa setelah sampe rumah kamu jadi kayak gini?"
Wira lagi-lagi menghembuskan nafasnya kasar dan berusaha mengatur nafasnya seteratur mungkin "Aku cape. Aku cuma mau istirahat bentar."
"Emang kamu cape apa? Hari ini kita cuma nemuin Erika----"
"AKU CAPE DENGER SEMUA CELOTEHAN KAMU." desis Wira membuat Maya mengerjap tak percaya bahwa Wira baru saja membentaknya.
"Pernah nggak sih sekali aja kamu coba jaga perasaan aku? Sekali aja kamu percaya sama aku? Apa pernikahan ini kamu anggap sebagai kesalahan sampe kamu selalu aja bilang perceraian dengan mudah? Apa perlakuan aku selama ini masih kurang membuktikan kalo aku cinta sama kamu sampe kamu selalu ngeraguin perasaan aku?"
Maya membeku mendengar semua pertanyaan Wira dan lidahnya terasa kelu bahkan untuk berkelit membela diri. Setiap kalimat Wira rasanya menusuk ke dalam hatinya hingga ia bahkan tak dapat mengoreksi diri. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya karena merasa sesak.
"Kenapa kamu diem? Jawab aku." ujar Wira lemah.
"Maaf. Aku udah bilang sama kamu kalau aku orang yang sulit percaya."
"AKU TAU. AKU BAHKAN UDAH COBA NGERTIIN, TAPI KAMU BAHKAN NGGAK ADA NIAT SAMA SEKALI MENARUH KEPERCAYAAN SAMA AKU."
"A..a.ku...aku cuma takut dikhianati lagi." lirih Maya.
"May," Wira memegang kedua bahu Maya dan menatap wanita itu, "Nggak semua orang sama kayak mantan atau sahabat kamu."
Maya menepis tangan Wira, "KAMU NGGAK NGERTI KARENA KAMU NGGAK PERNAH MENGALAMI."
"AKU NGGAK HARUS MENGALAMI SUPAYA BISA MENGERTI."
"KAMU NGGAK TAU. KAMU NGGAK NGERTI." tegas Maya.
Wira menarik Maya kemudian menatap wanita itu tajam, "Lalu, apa kamu ngerti apa yang aku rasain saat perasaan aku kamu raguin? Apa kamu ngerti gimana perasaan aku denger kamu bilang cerai seenaknya? Apa kamu ngerti?"
Maya melemah, matanya yang semula sama tajamnya dengan Wira perlahan melembut dengan air mata yang secara perlahan menetes, "Maaf." lirihnya.
Wira menghela nafas pelan kemudian menarik Maya ke dalam pelukannya, tangannya mengusap-usap punggung Maya yang bergetar karena setelah berada di pelukan Wira, tangis Maya makin pecah.
Sekuat apapun Maya mencoba menghentikan tangisnya, ia tetap tak bisa. Malah tangisnya kian mengencang kala Wira semakin mengeratkan pelukannya.
"A..a.ku mintaaa..maafff." isak Maya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't be Trusted (END) [Revisi]
RomanceNikah sama adiknya mantan adalah hal yang paling nggak pernah terbayangkan dalam hidup Maya, apalagi usia Wira yang terpaut empat tahun lebih muda, tentu saja sebagai wanita, itu menjadi pertimbangan besar untuknya. Malu dong nikah sama berondong. C...