Maya menghembuskan nafas untuk kesekian kalinya setelah Revan masuk ke dalam rumah dengan menenteng beberapa belanjaannya. Untuk menutupi masalahnya maka ia harus melakukan permintaan Revan.
Dengan langkah pasti, ia memasuki rumah dan langsung melihat Wira yang sedang berbaring di ranjang ruang tamu. Di waktu yang sama Wira juga menatapnya dalam diam hingga perasaan ragu semakin menjadi dalam dirinya.
Revan melihat interaksi kedua manusia itu dengan curiga. Kecurigannya semakin tinggi ketika Maya mendekati Wira untuk sejenak kemudian mencium pipi pria itu hanya sedetik lalu pergi ke kamar dan menutup pintu bahkan menguncinya.
Wira memegang pipinya kemudian menatap pintu kamar yang tertutup kemudian beralih menatap Revan, hingga pria berusia menjelang dua puluh tahun itu duduk dekat Wira.
"Abang berantem sama kak Maya kan? Tadi aku tanya sama kak Maya, tapi katanya enggak, makanya aku tantang kak Maya buat cium pipi abang setelah kita pulang untuk membuktikan kalo kalian nggak berantem." jelas Revan menyesal, "Tapi setelah liat interaksi kalian, aku jadi makin yakin kalo kalian ada masalah."
Wira menghela nafas kasar begitu mengetahui bahwa Maya menciumnya karena permintaan adiknya. Ia dengan segera mendekati pintu kamar dan dapat ia dengar isak tangis dalam ruang itu.
Maya merasakan sakit yang amat menyesakkan dadanya begitu ia menatap Wira dan lebih sakit lagi setelah ia mencium pipi pria itu. Tidak sampai 24 jam dirinya mendiamkan Wira, namun ia sudah merasakan rindu pada pria itu.
Bodoh sekali rasanya bahwa hatinya menyimpan perasaan kecewa dan rindu secara bersamaan.
Ia semakin menelusupkan wajahnya ke bantal dan menutupi dirinya dengan selimut supaya tangisnya tidak terdengar namun sialnya usahanya sia-sia. Wira dan Revan tetap saja mendengar tangis itu.
"Bang, bujuk kak Maya gih."
"Biarin dulu, dari semalam kakakmu belum nangis gini. Abang justru lebih takut lihat dia yang nggak nangis."
Revan berdecak kemudian mengambil kunci motor Wira, "Aku keluar dulu deh kalo gitu, kayaknya agak nggak enak kalo kalian mau ngomong tapi ada aku."
"Mau ke mana?"
"Nyari kenalan."
***
Sudah hampir satu jam Maya menangis dan Wira mulai tidak sabar hanya mendengarnya. Ia ingin menjadi pelampiasan wanita itu akan kecewanya. Ia mengetuk pintu setelah cukup lama menahan diri.
"Sayang, buka pintunya."
Tok tok tok
"Sayang."
Tok tok tok
"May, buka pintunya."
Wira segera membuka pintu begitu suara kunci diputar dari dalam. Melihat penampilan Maya yang cukup berantakan setelah menangis cukup lama membuat Wira menarik wanita itu ke dalam pelukannya.
Maya dengan kekuatan yang tersisa berusaha melepaskan diri dari pria itu. Namun kekuatan dan tekad Wira jauh lebih kuat kali ini, hingga ia tetap memaksakan kehendaknya meski Maya menolak.
"Awas ihhh."
"Jadiin aku pelampiasan kemarahan kamu."
Maya berusaha mengatur nafasnya yang menggebu karena pelukan Wira yang membuatnya kesal, "Oke, kalo kamu mau aku jadiin pelampiasan seperti kamu jadiin aku pelampiasan." ujarnya sinis.
"Lepas."
Wira melepaskan Maya dari pelukannya meski rasanya ia seperti kehilangan wanita itu. Belum lagi saat ini Maya menatapnya dengan tatapan penuh luka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't be Trusted (END) [Revisi]
RomanceNikah sama adiknya mantan adalah hal yang paling nggak pernah terbayangkan dalam hidup Maya, apalagi usia Wira yang terpaut empat tahun lebih muda, tentu saja sebagai wanita, itu menjadi pertimbangan besar untuknya. Malu dong nikah sama berondong. C...