"Kamu kan cewek nih May, menurut kamu ini bagus nggak?" Jodi nanya ke aku sambil nunjukin sebuah kemeja. Jujur saja, pilihannya agak sedikit aneh. Aku bingung dengan selera para pria.
"Nggak, lebih bagus ini." tunjukku pada kemeja lain yang ada di dekatnya.
"Serius?" tanyanya meyakinkan.
Aku memandang Wira, "Iya kan Wir?" Wira mengangguk singkat.
"Jangan tanya ceweknya, nanti cowoknya marah." sindir Daniel melirik Wira.
Setelah Daniel mengucapkan itu, aku kembali melihat Wira dan sepertinya memang Wira menunjukkan kekesanannya secara terang-terangan. Aku tersenyum geli dibuatnya.
"Yaudah-yaudah, sebagai temen yang pengertian, aku nggak nanya lagi. Udah sana kalian keliling berduaan aja." usir Jodi pengertian sekaligus sarkastis.
Wira segera menarik tanganku keluar dari toko pakaian pria itu. Aku tersenyum ketika ia memelankan langkahnya untuk menyamai langkahku. Untung saja, sebelum aku sempat protes tentang langkah kakinya, ia sudah melambat sedikit, kalau tidak, hilang sudah moodku untuk melihat-lihat.
"Kamu mau beli apa?" tanyanya, mengeratkan tautan jemari kami.
"Nggak ada." jawabku singkat.
"Kalau mau beli sesuatu bilang aja." ujarnya.
Aku menaikan sebelah alisku sambil memandangnya, juga mengulurkan telunjukku tepat di depan wajahnya, "Aku nggak mau nerima apapun dari kamu secara cuma-cuma. Kecuali itu hari spesial." tegas ku.
Dia tersenyum kecil "Iya-iya, aku ngerti." ujarnya singkat.
Aku menggelayut manja di lengannya yang berotot sambil sesekali melirik ke arahnya, "Oh iya, nanti aku tidur gimana dong?"
"Di asrama." jawabnya singkat.
"Loh, kamu sepemikiran sama aku untuk buat kita ketangkep kumpul kebo terus aku sama kamu di nikahin cepet cepet gitu?"
Wira menatapku heran sambil menggelengkan kepalanya. Ia menunjuk keningku dengan jari telunjuknya sambil menghela nafas kasar, "Aku mau tau isi pikiran kamu apa aja sih May?" desisnya.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali, "Selain uang sih, yang ada di pikiran aku itu liat roti sobeknya kamu."
Wira mengusap wajahnya kasar, "Aku bingung kenapa dulu bang Yael mau sama kamu?"
Aku mengernyit sejenak kemudian berdecih sinis, "Aku lebih bingung kenapa kamu mau sama mantannya abang kamu." Ia tertawa singkat menanggapi ucapan ku.
***
Pagi ini ketika Wira mengetuk pintu asrama, aku tidak berulah seperti semalam yang repot repot berdandan dan berparfum biar tampak tetep cantik di depan Wira.
Karena perkataan Wira semalam
"Kamu nggak perlu lakuin itu tau nggak. Toh, nanti juga kalau kita nikah aku bakal tau baik buruknya kamu.", aku jadi lebih percaya diri untuk tampil apa adanya didepan dia."Nih makan dulu, nanti dilanjutin lagi ibadahnya."
Aku terkekeh kecil mendengar Wira mengucapkan nanti di lanjutin lagi ibadahnya, "Apaan sih?" desisku malu.
"Ya itu, kamu kan senyum-senyum. Kata orang kan senyum itu ibadah." ujarnya membela diri.
Aku hanya menggelengkan kepala singkat kemudian membuka bungkus nasi yang berisi nasi goreng yang menggugah selera. Namun, saat ingin menyantapnya sesegera mungkin, ada tangan yang nahan aku.
Tangan siapa lagi kalau bukan Wira. Aku menatapnya bingung sembari mengangkat sebelah alisku seolah bertanya 'apaan'. Kenapa ia menghalangi ku untuk makan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't be Trusted (END) [Revisi]
RomanceNikah sama adiknya mantan adalah hal yang paling nggak pernah terbayangkan dalam hidup Maya, apalagi usia Wira yang terpaut empat tahun lebih muda, tentu saja sebagai wanita, itu menjadi pertimbangan besar untuknya. Malu dong nikah sama berondong. C...