Wira menghampiri Maya yang sedang duduk sambil memijat kakinya di atas ranjang mereka. Ia ikut duduk di ranjang kemudian mengambil alih tugas Maya setelah meletakkan kaki Maya di atas pahanya.
"Capek?"
Maya menatap tak percaya mendengar pertanyaan konyol Wira, "Menurut kamu, aku mijitin kaki aku karena nggak capek? Setelah berdiri nyalamin kolega kamu yang nggak habis-habis, terus sampe di hotel masih harus dengerin segala ocehan keluarga terus baru jam 2 bisa pulang."
Wira terkekeh mendengar gerutuan Maya yang memang jelas kesal, apalagi tadi mereka diundang ke hotel tempat di mana keluarga besar menginap hanya untuk ditanyai mengenai teman-teman atau rekan kerja Wira yang dijadikan target calon pacarlah, calon menantulah, calon kakak iparlah.
"Kamu nggak capek?" tanya Maya merasa tak enak karena Wira memijat kakinya padahal mereka sama-sama lelah setelah prosesi pedang pora tadi.
"Lumayan sih."
"Yaudah, awas, nggak usah dipijetin." Ujar Maya tak enak hati.
"Nggak apa-apa. Kamu pasti nggak biasa berdiri lama."
"Hm," angguk Maya menyetujui, "Eh, tapi kayaknya aku mencium bau-bau cinta lokasi."
"Maksudnya?"
"Iya, kamu sama polwan yang tadi digodain pas nyalam kita."
"Oh, Anisa." Ujar Wira begitu mengingat-ingat siapa yang Maya maksud.
"Nggak tau lah siapa namanya, yang pasti aku melihat dia melihat kamu dengan mata terpana."
"Apaan sih Yang bahasanya."
"Heeh, bilang aja bener."
"Ya, kata temen-temen sih dia memang suka sama aku."
"Tuh kan, anak tk aja bisa lihat dia suka sama kamu."
"Ya tapi kan aku nggak suka sama dia. Aku sukanya cuma sama kamu."
"Heleh."
"Ya ampun Yang, nggak percaya banget deh. Beneran."
"Percaya sih, kamu kan bucinnya aku." ujar Maya sambil menoel hidung Wira dengan senyum kemenangannya.
Wira mengernyit, "Bucin?"
"Iya, budak cinta."
"Astaga, yang bener aja deh Yang."
"Bener kok."
"Ah yaudahlah terserah kamu mau anggap aku bucin lah, bucen lah. Terserah, yang penting kamu seneng."
Maya mengalungkan tangannya ke leher Wira, "Alasan cewek suka kamu itu, wajar sih."
"Kenapa gitu?" tanya Wira sambil menatap Maya. Tangannya yang memijat kaki Maya terhenti karena menanti jawaban wanita itu.
"Soalnya kamu itu pengertian dan penyayang."
Wira terkekeh sambil kembali melanjutkan tangannya memijat, "Kalau kamu lihat aku nodongin pistol ke penjahat, kamu pasti tarik kata-kata kamu itu."
Maya mengerucutkan bibirnya dengan menggelengkan kepala tak setuju, "Itu tugas kamu bukan sifat kamu."
Wira tersenyum kecil, ia mengangkat kepalanya untuk menatap Maya dengan intens. Ia mengecup bibir Maya sekilas, "Ini mulut pinter banget sih nyenengin hati aku."
Maya tersenyum penuh makna kemudian menjilat bibir bawahnya, "Mulut aku juga pinter kok nyenengin yang itu." godanya sambil melirik sesuatu (taulah ya (nggak usah pura-pura polozzz)) , yang membuat Wira langsung membelalak tak percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't be Trusted (END) [Revisi]
RomanceNikah sama adiknya mantan adalah hal yang paling nggak pernah terbayangkan dalam hidup Maya, apalagi usia Wira yang terpaut empat tahun lebih muda, tentu saja sebagai wanita, itu menjadi pertimbangan besar untuknya. Malu dong nikah sama berondong. C...