Bab 12

89 12 4
                                    

BUDAYAKAN VOTE SEBELUM MEMBACA!!!

Verinna Helena

Ada yang belum kuceritakan pada kalian.

Tentang kakakku.

Dia bukan kakak kandungku. Dia...ehm, apa ya? Semacam "kakak" bagiku. Bagiku, dia adalah kakak terbaik. Awalnya, aku bertemu dengannya ketika hari di mana aku telah melakukan bunuh diri gagalku yang kedua (peristiwa di kantin, kalau ada yang lupa). Aku bertemu dengannya ketika aku sedang berada di taman dengan pakaian yang masih kotor karena serangan makanan yang dilakukan oleh teman-temanku.

Ketika itu pula, aku mulai merasa aman. Dengan mudahnya, aku menceritakan semua yang kualami padanya. Venza empat tahun di atasku dan kini, dia sudah kuliah di Universitas . Dengan mudah pula, dia datang ke rumahku dan mengamati situasi yang ada di rumahku. Dan dengan mudahnya lagi, dia menebak segala sesuatu yang terjadi pada diriku yang belum pernah kuceritakan padanya. Oleh sebab itu, tidak aneh lagi kan kalau dia sudah kuanggap kakakku sendiri?

Kembali ke masa kini, sekarang aku berada di rumah dan hanya bisa menahan nafas melihat tatapan permusuhan antara Vino dengan papaku.

"Vin, masuk aja ke kamar gue yuk," kataku datar padanya.

Vino, yang mungkin tidak terbiasa masuk ke kamar orang dengan seenaknya, menatapku sebentar kemudian mengangguk. "Oke."

Ketika sampai di kamarku, Vino segera menghela nafasnya.

"Gila, bokap lo nyeremin banget. Parah!" serunya.

Aku tersenyum tipis. "Mau minum apa?" tanyaku. "Eh, omong-omong, temen-temen lo sama temen-temen gue gimana? Mereka kan masih di Paskal."

"Ga apa-apa," katanya enteng. "Paling, mereka juga double date kok."

Aku mengangguk. "Mau minum apa?" tanyaku ulang.

"Ga usah repot-repot," kata Vino sambil tersenyum padaku. "Omong-omong, lo tahan tinggal di sini?"

Apa dia tidak punya otak ya? "Eh, denger ya, kalo gue tahan, gue ga mungkin bunuh diri," kataku sinis. "Mana lagi, pake gagal segala!"

"Yah, itu artinya, lo ga diijinin mati sama Tuhan," kata Vino lembut.

"Kenapa ya, gue ga diijinin mati?" tanyaku pada diriku sendiri.

Aku melihat Vino tersenyum kecil. "Mungkin Tuhan ga mau lo mati sebelum ketemu sama gue," kata Vino.

Kurang ajar. "Eh, enak aja. Ketemu sama lo itu malah bikin gue makin pengen mati, tau?!" kataku jengkel.

"Tau kok," sahut Vino enteng. "Tapi, boleh-boleh aja dong gue ngarep kalo ga ada gue, hidup lo bakal sepi."

Kali ini, aku yang bungkam. Ya ampun, masa sih seorang Verinna Helena kalah debat dengan seorang Alvino Putra Irawan, yang kualitas debatnya payah banget?

Tapi sialnya lagi, aku tidak bisa membantahnya. Kalau seandainya dia tidak ada, mungkin aku tidak menjadi sebawel ini. Mungkin juga aku tidak akan suka berbicara pada siapapun, kecuali Tiara dan Lara (karena mereka adalah teman dekatku).

Tambahan lagi, tanpa adanya Vino, aku juga tidak mungkin sepopuler ini. Toh, yang hobi ngumbar kelebihanku dalam bermain biola adalah Vino, si anak populer di SMP Trijaya (iya deh, dia populer).

"Iya kan?" tanya Vino membuyarkan semua pikiranku. "Lo pasti lagi mikirin omongan gue."

"Emang," kataku singkat. Tidak ada gunanya berbohong pada Vino. "Eh, lo mau jalan ke taman ga..."

YOU'RE (NOT) MINE--CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang