Bab 37 part (a)

53 5 1
                                    

BUDAYAKAN VOTE SEBELUM ATAU SESUDAH MEMBACA

Alvino Putra Irawan POV

            "Ketemu!" seru RinRin senang di tengah malam yang sunyi ini.

Aku, Venza, Lara, Cherina, Daffa, dan Andra segera berkumpul di tengah kamar RinRin. Kami berenam segera memandang kotak itu dengan perasaan tingkat dewa.

RinRin membuka kotak itu dengan perlahan.

"Surat," dengus RinRin sinis. "Paling juga ngelarang gue buat bunuh diri waktu itu."

"Kan mereka ga tau kalo lo mau bunuh diri," kata Lara tandas.

"Tapi mereka pasti tau kalo gue depresi di rumah," kata RinRin singkat kemudian mulai membuka surat itu dan membacanya dengan lantang.

"Kepada Verinna Helena Wijaya. Melalui surat ini, mama hanya ingin ngasih tau kalau kamu bukan sama sekali anak yang kami benci, terutama mama. Mama sama sekali tidak pernah membenci kamu. Di saat kamu berteriak dalam kamar, mama selalu mendengar hal itu. Di saat kamu menangis sendirian, mama juga mendengar hal itu. Di saat kamu merasa kesepian, mama tau itu. Mama minta maaf jika selama ini mama tidak pernah menjadi ibu yang baik untukmu. Tapi kamu, adalah anak yang pintar. Anak yang cerdas. Cepat tanggap dan pandai bermain alat musik. Kamu pintar dan mulai terlihat ketika kamu berumur tiga tahun yang sudah bisa baca, tulis, hitung dengan cepat. Mama juga tau kamu suka musik karena mama sering memutar lagu musik klasik ketika kamu masih dalam kandungan. Mama tau itu semua.

Tapi, Nak, soal kamu lahir di luar nikah secara hukum itu memang benar adanya. Kamu memang lahir di luar nikah secara hukum tapi sungguh, mama tidak pernah membenci kamu. Mama hanya ingin, kamu tidak bertindak seenaknya pada mama ketika kamu mengetahui kenyataan itu. Oleh sebab itu, mama selalu bersikap dan bertindak keras terhadap kamu.

Harapan mama sederhana. Banggakan mama dan pulang. Itu saja. Mungkin bukan cuma harapan mama. Harapan papa juga begitu. Tolong, Verinna Helena Wijaya. Pulanglah."

Selesai membaca surat itu, aku melihat raut wajah RinRin tetap datar. Dia tidak merubah raut wajahnya menjadi sedih, menangis, atau marah.

"Bakar aja suratnya. Omongannya cuma bohongan," ketus RinRin. "Gue ga mau hari ini rusak gara-gara surat goblok ginian."

"Rin," kata Venza dengan nada menegur. "Ga boleh ngomong gitu."

RinRin mendecak sebal tanpa berkata apapun. "Ya udah, terus gue harus gimana?" tanya RinRin akhirnya.

Venza menatapku sambil mengangkat alisnya padaku. Aku tersenyum penuh arti pada RinRin dan bertanya, "Mau gue anterin lo pulang ke rumah lo?"

###

Verinna Helena

Esok harinya, aku mengajak Vino untuk mengantarkanku ke rumahku.

"Yakin kamu masuk sendirian, Rin?" tanya Vino lembut sambil melepaskan seatbelt yang menahan tubuhku dari tadi.

Aku berpikir sebentar. "Hm, iya deh, Vin. Gue masuk sendirian aja."

"Oke, aku tunggu di sini," kata Vino sambil tersenyum.

Aku membuka pintu mobil Vino dengan perlahan dan mulai membuka pintu gerbang rumahku dengan tangan yang gemetar.

Sudah lama aku tidak datang ke rumah ini. Lebih dari sebulan aku tidak pulang. Pulang ke rumah yang sesungguhnya.

Aku tersenyum pahit mengingat semua kenangan di rumah ini. Kenangan yang buruk. Tidak pernah kutemukan kenangan yang baik dalam keluarga ini. Mereka semua tidak pernah menerima diriku. Mereka semua.

Aku mengetuk pintu rumahku dengan perlahan sebanyak tiga kali dan tidak mengharapkan ada jawaban dari dalam. Jantungku nyaris berhenti berdetak ketika mendengar suara kunci yang terbuka dari pintu itu.

"V-Verinna? Kamu pulang, Nak?"

Aku menatap mamaku datar ketika mamaku menyambutku dengan air mata haru yang segera dihapus olehnya, tapi keluar lagi.

Belum sempat aku berbicara apapun, mamaku segera tersungkur dan mencium kakiku sambil menangis. "Maafin mama. Maafin," kata mamaku tersendat-sendat.

Sial. Mataku mulai panas. "Buat apa maafin mama? Mama juga ga pernah ngerasa bersalah kalo mama udah jahat sama aku," kataku datar.

Mamaku terus menangis sambil mencium kakiku. "M-Mama ngerasa salah," kata mamaku lagi.

"Baru sekarang kan ngerasa salahnya?" tanyaku sinis sambil menahan air mataku yang mulai terbit dari mataku sendiri. "Dulu? Ga punya rasa salah kan? Yang ada rasa puas kan? Puas kan bisa bangga-banggain aku, tapi nyiksa aku di rumah? Puas kan punya anak pinter hasil siksaan? Puas kan?!"

Aku tidak mampu menahan diriku lagi dan membentak mamaku secara tidak sadar. Hatiku terasa nyeri saat ini. Semua yang kuingin lontarkan pada mamaku akhirnya keluar juga dengan nada yang tinggi. Akhirnya aku puas membentak mamaku.

Tapi...kenapa aku hanya bisa menangis tanpa menyiksanya balik? Kenapa aku tidak punya tenaga untuk menamparnya atau menjambaknya? Kenapa aku tidak punya kemampuan untuk membalas perbuatannya padaku selama ini?

Mamaku terus menangis hingga akhirnya mengambil sebuah botol minyak dari kantongnya (kok bisa ada botol minyak ya?!). Botol minyak yang biasa dipakai untuk mendoakan orang tanda menyucikan orang tersebut.

Dia menuangkan botol minyak itu ke kakiku hingga botol minyak itu habis dan membasahi lantai di sekitar kakiku. Setelah itu, mamaku menggosok kakiku dengan minyak itu hingga kakiku mulai mengering. Setelah itu, mamaku berdiri dan memelukku.

Tentu saja aku berontak. Siapa yang sudi dipeluk sama cewek yang udah berani nyiksa aku?!

"Ga usah peluk-peluk segala!" bentakku marah. "Apa tangan lo ga ngerasa suci pas meluk gue?!"

Mamaku tetap berusaha memelukku hingga akhirnya, aku kehabisan tenagaku dan menangis dalam pelukannya.

Biar bagaimanapun, aku ini anaknya. Entah resmi atau tidak. Dan kurasa, aku harus menerima kenyataan ini.

###


837 words

hai smuanyaaaa

ini bab 37 part a

hm, btw gua ga tau alurnya harus ke mana lagi :(

jangan lupa vote dan follow insta ANGELICA.RIVELA yaaa

sekian dari bab 37 part a


bab 37 part (b) is coming soon...

YOU'RE (NOT) MINE--CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang