Beat 1 : Chrome Dome

211 7 5
                                    

Kegelapan merayap, gemuruh awan mengerahkan kabut agar menyelubungi setiap detil luar bangunan penjara itu. Dari kejauhan suara lolongan anjing malam meneriakkan sedu yang mendalam, seolah memperingatkan manusia akan malaikat pencabut nyawa yang datang mendekat. Suasana yang lebih mencekam dari sebelumnya, ditambah hawa dingin Rawa Montserrat, menyurutkan hawa nafsu duniawi siapapun supaya dapat terlelap lebih cepat.

Termasuk mereka, para penghuni lapas.

Keseharian berjibaku dengan tontonan kekerasan, berharap bukan dirinya yang menjadi korban gilir, baik oleh sesama penghuni ,maupun petugas lapas sendiri. Dari balik jeruji besi mereka telah berhenti berharap, bahkan tidak lagi menghitung hari dengan jari. Sia - sia. Toh di sini mereka pasti mati.

Penjara Chrome Dome seharusnya paling 'mewah' pada jamannya, tetapi baru setahun selesai dibangun, pemerintah mengalami kudeta dan masalah itu berdampak sangat fatal. Para sipir tiba - tiba dirombak total, termasuk kepala penjara dan semua petingginya. Lantas berubah menjadi tempat pembantaian akhir, baik secara cepat maupun lambat.

Bagi mereka yang langsung dihukum mati, itu adalah berkah. Namun penerima hukuman seumur hidup? Mereka akan dibiarkan disiksa, dalam keadaan bernyawa. Yang lebih buruk, dibiarkan hidup, untuk disiksa lagi. Hanya ada dua jenis hukuman itu bagi para penghuni Chrome Dome, dan untuk melaluinya banyak dari mereka yang pura - pura gila. Selamanya.

Malam berpenyakit, kata orang. Tatkala suara burung gagak lantang memanggil rekan - rekannya dari jenis lain yang pemangsa, menunggu bangkai manusia dibuang sipir penjara. Biasanya itu yang dilakukan. Tak ada pemakaman. Dalam mati pun mereka tetap menderita.

Namun suara langkah sepatu seorang sipir penjara memecah keheningan, seolah tak peduli renungan mereka yang meringkuk dalam cekaman malam. Semakin lama kian dekat, menyusuri tiap lorong yang berisi ruangan gelap berjeruji. Tiba di salah satu sel paling sudut, ia membuka pintu lalu membangunkan penghuninya seraya menodongkan tongkat kejut ke sisi leher yang terbuka.

"Sekarang saatnya, Ortiz!"

Narapidana bernama Davio Ortiz itu bangkit dari pembaringannya. Dia memang tidak tidur. Tidur di kala malam seperti ini justru akan menuntun nyawa ke ujung maut. Setelah menurut pergelangannya dipasangi borgol berkode, kedua kakinya melangkah di depan sipir menuju suatu tempat, tetap ditodong senjata. Samar telinganya menangkap suara hujatan seseorang dari bilik lain, "Mampus kau!"

Ternyata ia digiring di sebuah ruangan dengan penerangan ala kadarnya. Seseorang telah menunggu di sana sambil menggenggam stempel bara. "Setelah tiga tahun, ini satu - satunya cara kau menebus dosa. Menjadi petarung di dalam ring judi, tanpa bayaran. Kau harus bertarung sampai mati. Jika ingin hidup, maka bertahanlah, menyerang dan menang. Katakan, dengan nama apa kau ingin dikenal?"

Ortiz lekat menatap orang itu, lalu mendekat dan membisikkan sebuah nama. "Pastikan kau mengejanya dengan benar. AARGGH!!" Kakinya dipukul sekuat tenaga oleh sipir di belakangnya, dipaksa berlutut.

"Sobek pakaiannya!" perintah orang itu pada sipir. "Nama yang kau pilih akan bersatu denganmu selamanya!" Tanpa ditunda lagi, usai diprogram, stempel panas itu langsung dihunjamkan ke dada kanan Davio Ortiz tak ubahnya seperti hewan ternak.

Ortiz berteriak, mengerang panjang selama lima detik bara itu membakar kulit tubuhnya. Setelah selesai, borgolnya dilepas, diseret sipir, lalu diperintahkan agar cepat berdiri. Meninggalkan ruangan itu, kembali menyusuri lorong - lorong. Sedikit pantulan sinar bulan mengenai kulit dadanya. Sebuah nama tercetak di sana.

CARLO DANTE.

Kemudian, di sinilah nasib Ortiz selanjutnya.

Ring judi Chrome Dome. Ring berbentuk persegi, dikelilingi pagar besi hingga menutupi bagian atasnya adalah arena sabung manusia sebagai sarana penebus dosa. Beginilah para narapidana dimanfaatkan ketimbang mati sia - sia. Bertarung, hingga meregang nyawa.

Mengelilingi ring, telah siap para penjudi kelas kakap, juga bandar yang siap mengantongi pundi - pundi uang dari kemenangan sang juara. Mereka bersorak tatkala napi jagoan telah masuk ke dalam kerangkeng maut itu. Bertubuh kelewat tinggi besar dengan leher hampir menyatu dengan kepala, dijuluki Igor Drago. Seperti Ortiz, nama itu juga telah dipatri di dadanya. Semua petarung mengalami hal yang sama sebagai identitas lapas di atas arena. Termasuk bila melarikan diri, maka tanda itu adalah ciri bahwa mereka pesakitan yang jelas ditolak masyarakat bumi maupun koloni.

Mikrofon gantung memperkeras suara The Host yang kini bersiap menyebut nama lawan tanding Igor Drago. "Dia mendekam selama tiga tahun dan belum membusuk juga. Pernah menjadi bulan - bulanan Si Jangkung Louis tapi Louis yang malang justru diamputasi sebelah kakinya!"

"HHHUUUUU!!" caci para penonton bersamaan.

The Host semakin bersemangat menebar aroma kebencian, "Untuk menghormati Louis, ayo kita lempar dia agar diterkam juara kita Igor Drago!"

"LEMPAR! LEMPAR!!" riuh suara penonton membahana ke seluruh sudut ruangan itu.

"Inilah dia, daging empuk calon santapan Igor ... Carlo Dante! Remuk dia, Igor!"

Ortiz tak lagi mengenakan kaosnya sesuai ketentuan ring Chrome Dome. Hanya terbalut celana penjara tanpa alas kaki, sedangkan Igor tetap memakai sepatu boot berat yang pasti dimanfaatkannya untuk mempermudah menginjak dan menghancurkan tubuh musuhnya.

Ia masuk ke dalam ring berkerangkeng besi itu dan di depannya telah berdiri monster juara yang tak sabar ingin mencabik - cabik dirinya. Igor mengepalkan tangan, senyumnya melebar mengerikan, mulai melayangkan tinju yang langsung bersarang ke rahang Ortiz hingga laki - laki itu jatuh terpuruk.

"HABISI DIAA!!" seru seorang penonton, membakar semangat Igor yang langsung menghampiri Ortiz berniat menginjak badannya.

Boot itu mengenai sasaran kosong. Ortiz menghindar dan cepat berdiri. Ujung mulutnya mengalir darah segar. Penonton terus mengelu - elukan nama monster itu berharap dia cepat menghajar lawannya hingga mati dan kembali menyandang gelar juara.

Igor bergerak cepat, kali ini sedikit jurus bela diri dia pikir cukup merobohkan laki - laki yang bobotnya setengah dari dirinya. Tinjunya menyasar ke arah jantung, namun yang terjadi justru sebaliknya. Penonton dibuat menganga ketika Ortiz mampu menghindar, melompat dan bertumpu pada kerangkeng besi, menukik dengan kecepatan tinggi, lantas menebas tulang leher Igor hanya dalam sekali pukulan tangan. Sikunya menjarah ke nadi paling vital penghubung leher ke otak hingga mengakibatkan raksasa itu tewas seketika. Efektif dan efisien.

Seorang penonton sampai menjatuhkan rokok dari mulutnya tanpa sadar akibat terperangah cukup lama. Hampir semua menarik napas dan baru tersadar menghembuskannya setelah wasit memastikan jantung Igor tak berdenyut lagi. "Juara baru ... CARLO DANTE!!!" seru wasit, tidak terbantahkan.

Ortiz turun setelah tepuk tangan penonton riuh menyambut sang juara sedangkan mereka yang sedih melepas mayat Igor diseret keluar arena.

"Kau membuat pertandingan tidak menarik," protes The Host. "Siksa lawanmu dulu, tiga atau empat ronde, lalu habisi dia. Penonton suka aksi kekerasan. Bila kau lakukan itu, mereka akan menyukaimu."

Ortiz menyeka darah dari mulutnya. Hanya sebaskom air dingin hadiahnya malam itu. Bayangan wajah di atas permukaan air mengingatkannya sudah cukup lama ia bermain di luar istana. Tapi bahkan permainan ini belum usai. Mungkin baru dimulai.

"Hei, kau dengar?! Tiga atau empat ronde, ingat itu!" The Host berlari menuju mikrofon gantung, kembali berkoar agar penonton tak menahan sayang uang mereka. Memanggil Ortiz dengan nama barunya sebagai jagoan baru arena sabung.

Kemudian lawan Ortiz yang kedua, seorang pemuda cungkring tak berdosa. Dia berdiri bergetar di sudut tanpa berani menatap Ortiz sedikitpun.

"Apa maksudmu?! Mengapa dia yang kau pilih?!" bentak Ortiz pada The Host.

"Sekarang kau adalah pemangsa. Jika bukan kau yang lakukan itu, Bos sudah siap dengan senjatanya dari atas sana." Telunjuk sang MC mengarah ke jendela berlampu putih yang berjarak cukup tinggi dari tempat mereka berdiri. "Lakukan, atau dia mati lebih cepat."

Dan sungguh, Ortiz tak punya pilihan.

***

Carlo Dante : A King's Chapter of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang