Beat 47 : Sebuah Kenyataan Pahit

21 0 0
                                    

Tak ada celah untuk mengalah. Baik Ardeth maupun Dante sama-sama mengejar tujuan dan untuk itu, salah satu dari mereka harus menang.

Ardeth mampu bertahan dan menyerang dengan maksimal dikarenakan pedang Zeal dalam genggaman. Ia sangat yakin bisa menang. Sedangkan Dante mengandalkan tekad dan keyakinan bahwa pedang bukan segalanya. Seperti yang ia katakan, kemampuan seseorang mampu mengubah segalanya, termasuk bagaimana mengolah gerakan pedang tempaan Ramshad yang lebih ramping daripada pedang Zeal. Berbekal rasa percaya yang kuat, ia mampu mengimbangi irama Ardeth yang sangat bernafsu mendekatkannya dengan maut.

"MATILAH KAU!!" teriak Ardeth, kala Dante dalam posisi terkunci, menebaskan pedang ke arah Dante. "A-apa?!" Ia terkejut bukan main. "Bagaimana mungkin .... "

Ia pikir pedang kecil itu tak mampu menahan bobot pedang Zeal ketika dua senjata itu saling beradu. Nyatanya, pedang sebesar itu akhirnya patah! Ardeth hanya bisa mundur, menjatuhkan senjatanya dengan tangan gemetar.

"Ini ... ini tidak nyata! Pedang Zeal adalah pedang terkuat! K-kau ... sengaja memberiku pedang palsu!" tuduh raja Hinnan itu pada lawannya.

Raut wajah Dante tak berubah. Diambilnya kembali pedang Zeal yang sudah menjadi dua bagian itu, mengembalikannya ke dalam ruas-ruas tulang punggungnya dengan bantuan roh pedang Zeal. Penderitaannya saat pedang itu memasuki dirinya, membuat Ardeth merasa ngeri. Baru kali ini ia menyaksikan dari dekat bagaimana pedang Zeal menyatu dengan tubuh Dante dengan cara yang mampu membuat bulu kuduknya berdiri. Setelah punggung Dante menerima pedang tersebut, kulit tengkuk Dante kembali menyatu, menyisakan teriakan panjang sang raja Eyn.

"KAU GILA! Tidak ada seorang pun di dunia ini yang mau mengorbankan diri dengan menerima kekuatan sebesar itu!"

Dante bangkit setelah kesadarannya pulih, menatap Ardeth, lalu tersenyum. "Bukankah kau ingin merampas semua yang kumiliki? Mengapa kau takut jika roh pedang Zeal memilih ragamu sebagai penggantiku? Kau lupa, semakin besar kekuatan yang kau miliki, besar pula tanggung jawab di pundakmu. Zeal akan menuntut itu darimu."

Ardeth melangkah menjauh, tangannya menolak tawaran Dante. "TIDAK!! Percayalah, a-aku .... "

"Bahkan pedang Zeal patah akibat egomu. Itu membuktikan siapa dirimu. Sayangnya, bukan cuma itu saja, kau juga harus menyaksikan yang lebih menyakitkan! Lihatlah ke bawah! Lihatlah bagaimana rakyatmu menderita karenamu!"

Ardeth yang sudah terjebak di pinggir tembok balkon, terpaksa menuruti perintah Dante, dan apa yang disaksikannya, membuatnya kembali dikuasai amarah. "K-KAU!! Kau membantai pasukanku! Apa yang kau lakukan, Raja Eyn?! APA YANG KAU LAKUKAN?!!"

"Bukankah menyakitkan?" Dante masih tegak berdiri, tampak mendominasi meskipun tubuh Ardeth lebih besar darinya. Bedanya, tubuh Ardeth sudah 'lumpuh' oleh mental yang jatuh. "Aku sengaja mengirim pesan palsu pada panglima perangmu agar Hinnan mengirimkan seluruh pasukan. Mereka tiba pagi ini, mengira raja mereka masih berpesta di dalam istana, padahal Al Hadiid sudah siap menyambut mereka di luar gerbang utama, menumpas mereka sampai habis ... tak tersisa!"

"KAU HARUS MATI!!"

Dante meladeni kontak fisik yang kedua dengan raja Hinnan yang menyerang dengan tangan kosong. Untuk mengimbangi lawannya yang sudah lemah fisik dan mental, ia sengaja mengurangi serangan. Membuat Ardeth tumbang karena kelelahan, itu saja yang dipikirkannya. Namun, bukan Ardeth namanya jika tak berotak licik demi menyelamatkan nyawanya.

Kala raja Hinnan itu sudah tak berdaya, sebuah kalimat yang mengejutkan terucap dari mulutnya, "Kami sudah meracuni anakmu."

Dante tertegun. Sesaat ia berpikir, kemudian memilih percaya kata-kata Ardeth sebab tak ingin mempertaruhkan risiko apapun.

Carlo Dante: A King's Chapter of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang