Beat 38 : Galau Hati Sang Permaisuri

15 0 0
                                    

Benar.

Tiada sesiapapun yang paham rasa sakit itu. Sesuatu yang mati-matian ia lawan dan sembunyikan di balik setiap senyuman. Dante SEDANG BERJUANG!

Inti zord mengandung kekuatan kegelapan, berada dalam sel-sel tubuhnya akibat campur tangan si alien Roughart, sedangkan roh pedang Zeal yang penuh kebajikan Eyn bersemayam dalam tulang punggungnya, menjadi 'rumah' bagi sebilah pedang yang tak sabar keluar dari tengkuk Dante, tiap kali ia dalam bahaya. Dua kekuatan itu kuat tertanam dalam tubuh Dante, tidak pernah bersinggungan satu sama lain, namun kali ini ....

"Aaarrgghhh!!!" Ia menahan kesakitannya untuk kesekian kali supaya tak terdengar siapapun. Masih di tempat sepi, di sebuah lorong istana ketika sedang menuju kamar utama. Siksaan itu memaksanya berlutut, kedua tangan memegang kepala yang terus-menerus mendengar suara bising berfrekuensi tinggi. Darah dalam tubuh bagai mendidih, ia sudah TAK KUAT!

Kala segenap pertahanannya luluh, Dante pun roboh seraya berteriak, "ZEAL, AKU TAK KUAT LAGI, PERGIII!!!"

Detik itu pula, cahaya perak keluar dari tubuhnya. Itulah Zeal. Makhluk tinggi besar yang selalu mendampingi Dante tersebut akhirnya mengalah daripada 'perang'-nya melawan inti Zord membuat Dante terbunuh. Melihat raja Eyn itu tergeletak tak berdaya, ia hanya bisa berpesan walau tahu Dante tak bisa mendengarnya, "Pedangku tetap bersamamu, Yang Mulia. Semoga kau mampu bertahan."

Kemudian, ia menghilang.

Sayang, peristiwa kelam malam itu tidak diketahui siapapun. Inti zord menguasai Dante hingga mampu menutup kemampuan telepati.

Di atas pembaringan, Eyn Mayra tertidur pulas, tanpa mengetahui pintu kamar dibuka. Bayangan seseorang membelah temaram cahaya lampu dalam ruangan, meninggalkan kesan sosok seorang raja yang tidak sanggup digoyahkan oleh angin yang bertiup cukup kencang, tanda hadirnya badai malam itu.

Dante telah kembali sadar tanpa tahu kepergian Zeal. Ia melangkah menuju ruang mandi untuk membersihkan diri. Entah mengapa terdapat beberapa goresan di wajahnya. Goresan tanpa darah dan hanya ia sendiri yang mampu melihatnya melalui cermin. Perih, namun tak cukup membuatnya ingin tahu apa yang baru saja terjadi padanya sebab ia benar-benar lupa. Yang jelas, ia hanya ingin melepas lelah.

Kucuran air terasa nyaman melewati pori-pori kulitnya. Kedua tangan lurus bertumpu pada dinding, membiarkan diri basah seluruhnya. Kepalanya menunduk, benaknya kosong sesaat. Satu demi satu wajah orang-orang terdekat membayang, disusul rakyat tak bersalah yang menuntut tanggung jawabnya. Jika ia sampai gagal tanpa menyeret nyawa Ardeth bersamanya, mereka semua akan hidup sengsara! Bagaimanapun Ardeth pasti berencana memperbudak rakyat Eyn, jika Dante berhasil dihabisi.

Menang?

Mungkin, tapi peluangnya tipis. Meleset sedikit saja, semua jadi sia-sia. Menghadapi Ardeth tanpa perlu mengorbankan terlalu banyak pasukan membuatnya harus menguasai satu persen peluang pasti ketimbang sisanya yang masih mengambang.

Cemas, namun bukankah hidupnya memang untuk itu? Semua hal gila yang tidak lumrah terpikirkan oleh orang lain?

"Sayang, kau di sana?"

Suara wanita itu menggelitik nalurinya yang semula gelisah, kini berganti insting bergairah. Kalut pun lenyap, malam ini ia ingin menuntaskan tugasnya sebagai seorang suami. Kenikmatan yang membuatnya bersyukur karena dicemburui seorang Zaghas Ardeth karena Eyn Mayra selalu terlena dalam pelukannya.

Ya, malam ini saja.

Eyn Mayra duduk di tengah lembut peraduan mereka, bagai bidadari yang tersesat, jatuh dari langit. Kecantikannya tak pernah pudar, justru semakin bersinar seiring waktu yang terus berjalan. Sepasang matanya mengamati Dante sambil setengah mengantuk, lantas pertahanannya muncul ketika lelaki itu naik ke ranjang setelah melepas handuk yang semula terlilit di pinggang. Kali ini, ia ingin berontak, namun dominasi perlakuan Dante benar-benar membuatnya takluk hingga mengerang, mengejang, melayang entah ke mana.

Sensasi demi sensasi bergulir demikian indah, membentuknya menjadi seorang wanita seutuhnya. Bahkan setelah kesadaran berangsur pulih, Dante terus menghadiahinya kecupan dan sentuhan yang membahagiakan.

"Ini bukan kau yang biasanya," ucap Eyn Mayra mendesah, sebelah tangannya melingkari leher kokoh suaminya yang memeluk dari belakang. Bibir Dante masih menempel di sekitar leher, menghujaninya dengan sentuhan-sentuhan kecil berbahaya.

"Hmm ... mungkin, karena sebentar lagi kita akan berperang."

Kalimat yang terucap dari mulut Dante langsung menghentikan aliran sensasi yang sejak tadi belum berhenti. Eyn Mayra membalikkan badan dan kini keduanya berhadapan.

"Memangnya kenapa bila kita berperang? Jangan berkata seolah-olah kau akan tiada esok hari. Kita pasti menang, seperti biasanya." protesnya, berubah galak sesudah cukup lama mereka bercinta. "Aku takut kehilanganmu, Dante. Jangan lagi menakut-nakutiku seolah kau takkan kembali lagi! Aku sudah berusaha tegar sekarang, bagaimana denganmu?"

Bibir Dante mendekat, mengecup istrinya penuh kasih. Getir terasa, bila mengingat perang kali ini akan berbeda. "Aku pasti melakukan tugasku, tapi tidak menjamin apapun. Jika ketakutanku terjadi, maka tidak ada jalan lain, kau ... harus kembali menjadi ratu, penguasa tunggal semua kerajaan .... "

"Tidak, tidak .... " Rona Eyn Mayra tiba-tiba diselimuti kepahitan, air mata pun tak terbendung lagi.

"Lakukan itu, Eyn Mayra. Demi rakyatmu." Dipegangnya wajah yang telah basah, berharap wanita itu tetap kuat.

"Tidak, Dante! Aku tidak mau kehilanganmu ... kita sudah berkali-kali terpisah, kumohon .... "

Deras air mata Eyn Mayra mengalir demikian cepat, Dante tak kuasa menahan perasaannya. Seketika diraihnya tubuh Eyn ke dalam pelukannya, hingga tangis itu mereda.

"Dante ... sayang .... " Perlahan, isak pun menandai betapa dalam perih yang kini menyayat hati sang permaisuri. Ia pun berbisik di telinga suaminya tanpa sekejap melepas dekapannya, "Bila kematian menjemputmu, maka, aku ... ," diremasnya lembut rambut hitam dalam genggamannya, seraya kembali berkata dengan bibir bergetar, "akan menyusulmu."

Dante terkejut mendengar pernyataan itu. Sebuah ancaman manis namun mengiris. Ungkapan keputusasaan yang telah melupakan akal sehat, janji seorang Eyn yang bakal ditepati bila rajanya memilih menjadi bom bunuh diri.

Tak lama, badai menerpa, gemuruh angin dan suara petir bersahutan, berlomba saling menyambar dan menakuti manusia, kecuali mereka berdua.

Dante dan Eyn Mayra. Keduanya saling tatap setelah Dante melepaskan pelukannya.

"Lakukan saja kewajibanmu sebagai ratu. Itu pesanku."

Hampa hati Eyn Mayra sepeninggal suaminya. Pada malam yang dingin, ia hanya bisa terisak seorang diri, hingga lelah dan kantuk mengambil alih beban pikirannya. Hanya beberapa saat, hingga fajar menjelang menggantikan badai semalam. Menyadari bahwa tubuh lelakinya tak jua hadir di sisinya.

Inikah pertanda ....

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Carlo Dante : A King's Chapter of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang