Sepak terjang Carlo Dante ketika masa restorasi kapal induk Saturn Gallant II. Menghadapi komplotan penjahat membutuhkan konsentrasi tinggi dan pengorbanan fisik.
Ia harus rela berpisah dari Eyn Mayra selama bertahun - tahun, bahkan dipenjara di Ch...
Ruangan itu sekilas tampak suram. Satu-satunya bagian kompleks istana yang bergaya kuno, belum diganti lapisan emas, perak, maupun mutiara. Walau begitu, kayu-kayu yang menyusun struktur bangunan itu masih kokoh, kilatnya menandakan baiknya perawatan setelah berpuluh tahun tidak lagi dikunjungi keluarga raja. Masuk ke dalam, kaki Eyn Mayra mendadak ragu. Mengendalikan debar jantungnya yang semakin kencang.
Penyebabnya, pria yang duduk tenang di sana. Di jendela besar yang dibiarkan tertutup dengan tirai terbuka. Tangannya menopang pada kaki kiri yang ditekuk, sementara kaki lainnya bertumpu pada lantai.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pandangannya lurus ke arah luar jendela, di mana tak jauh dari bangunan itu, terlihat istana Eyn Mayra yang megah menjulang, juga hamparan kebun bunga yang pernah menjadi saksi kedekatan mereka. Melalui telepati, ia tahu pria itu berada di sana, jauh dari hiruk pikuk persiapan penobatannya sebagai raja.
Gagal meredam gejolak hatinya, Eyn Mayra memutuskan mundur teratur dari ruangan itu, sehalus mungkin agar langkahnya tak terdengar.
"Aku mendengarmu. Kemarilah."
Degup di dada Eyn Mayra semakin keras. Ingin rasanya lari seperti kanak-kanak dulu, ketika malu menghadapi para tamu. Tetapi pria itu Carlo Dante, suami sekaligus ayah dari putra-putranya. Apa yang harus ditakutkan? Maka pelan langkahnya kian dekat, meski keberaniannya kian surut. "A-aku...Eyn Huza memintaku menyiapkan busanamu." ucapnya salah tingkah, walau seharusnya Eyn Mayra sudah terbiasa menghadapinya. Dan ketika sorot mata itu menatapnya, Eyn Mayra kian gundah.
"Busanaku, atau aku?" Sekilas raut Dante tampak dingin, namun luruh ketika muncul segaris senyum di bibirnya.
"Akan kukatakan padanya bahwa sebentar lagi Anda siap, Yang Mulia." Baru saja Eyn Mayra berbalik hendak meninggalkan Dante, dengan cepat tangan pria itu menahan dirinya, menarik pinggangnya lembut hingga wajah Dante sejajar dengan rahimnya.
"Kali ini, aku akan ada untuknya," bisik Dante, mengelus bagian itu, membayangkan putranya di sana.
"Tapi...beberapa orang mungkin akan menyangsikan putra kita." keluh Eyn Mayra.
Dante mendongak, lalu berdiri, menatap istrinya dalam-dalam. "Maksudmu, mereka menyangka janin ini putra Ardeth?"
Eyn Mayra mengangguk, "Empat bulan diriku dibelenggu dalam istana bersama Raja Hinnan. Menurutmu, apa yang terpikir dalam benak rakyat? Mengapa kau tidak menuduhku dan menerima begitu saja bahwa janin ini adalah putramu?" tanyanya bercampur kesedihan. "Itulah yang membuatku tak mampu menghadapimu, Dante. Aku yang telah menghina bahkan mengusirmu dari istana seolah kau bukan siapa-siapa. Walau itu kulakukan akibat sihir Namira, dan Ardeth tidak pernah sanggup menyentuhku karena Airyn melindungiku, tetap saja...."
"Aku tahu, karena aku bisa merasakannya. Bayi dalam rahimmu ini putraku." Nada Dante mulai melunak setelah menghembuskan napas. "Jika ada orang yang tetap meragukan hal itu, akan kuundang dia ke istana, agar melihat wajah putraku, kira-kira mirip siapa, aku atau Ardeth? Kemudian kita akan tahu ketika anak ini tumbuh besar, apa yang akan dia katakan? Apakah...'lebih baik aku mati daripada melihatmu menderita', atau...'akan kurebut kerajaanmu dan keperistri semua wanita di dunia'? Hahaha!" Dante tergelak setelah bicara dengan meniru aksen raja Hinnan, membuat Eyn Mayra lebih santai dan mengelus leher suaminya penuh cinta.