Beat 34 : Curang

14 1 0
                                    

Taja mengetuk-ngetuk lantai halaman istana dengan sepatu berlapis besinya. Hari masih pagi dan angin dingin bertiup perlahan tetapi hatinya membara. Seharusnya tidak begitu.

"Kami seperti digiring ke kandang singa dengan suka rela tanpa perlawanan! Aku merasa terhina! Terlebih lagi, raja kita dipaksa melakukannya atas nama perdamaian dan nama baik kerajaan." Kini tangannya mengepal erat, sementara Ramshad mengawasi cukup dekat.

"Walau membenci keadaan ini, jangan sampai lengah! Bila raja mempercayaimu, maka hanya kau yang sanggup menuntaskan tugas ini." kata Ramshad bijak.

"Kita lihat saja. Pastikan istana aman." pesan Taja sambil berlalu, menuju ke kereta kuda yang akan membawa permaisuri.

Ramshad memandang kepergian rombongan tanpa beban berarti. Hal itu disebabkan perhatiannya lebih tertuju pada rencana raja yang masih terselubung. Apa sebenarnya isi otak Carlo Dante? Mengapa dia ... ah, sudahlah! Semakin dipikirkan, semakin buntu jalinan benang merah yang ingin ia kaitkan. Hanya yang ia pahami, bila memang persiapan Dante secermat ini, mungkinkah perang yang akan terjadi jauh lebih besar dari sebelumnya?

***

"Ada apa, Ramshad? Kau tampak murung. Malam ini aku harus pergi, jadi kau cukup memantau situasi istana, kemudian laporkan pada Panglima Perang Al Hadiid. Waspada bila terjadi sesuatu. Tidak ada kami berdua belum tentu aman dari gangguan." Dante duduk santai di atas singgasananya di tengah balairung yang sunyi. Penampilannya biasa saja, round neck t-shirt putih dipadu celana jeans dan ikat pinggang hitam dari kulit. Sepatu non formal, nyaris belel saking sangat dipercaya untuk membawanya ke mana saja. Kaki kiri menopang pada kaki lainnya sebab pahanya sedang digunakan menulis sesuatu di atas selembar kertas.

Ramshad masih tak percaya bahwa orang yang duduk di seberang adalah rajanya. "Singgasana adalah lambang tahta. Tahta adalah kekuasaan. Berpenampilan seperti itu tidak mencerminkan wibawa, Yang Mulia. Maaf lancang, tapi hanya itu yang terlintas di benak saya sekarang." Memberanikan diri bicara, Ramshad tetap menunduk untuk menghormati rajanya.

"Hm, ada lagi? Ada lagi yang hendak kau katakan? Mumpung aku masih di sini."

Kalimat tersebut seolah tak memedulikan kritikannya, memaksanya menghembuskan napas panjang dengan wajah menyerah, lagi pula memang bukan itu yang ingin ia katakan. Lanjutnya, "Yang Mulia, tidakkah lebih baik Anda tinggal di istana? Ardeth mencium kekosongan singgasana sehingga leluasa mengganggu ratu, bahkan terang-terangan menghina Anda. Tidakkah Anda tersinggung karenanya?" Sedikit memancing, namun rupanya Dante hanya menatapnya kosong. "Yang Mulia?!"

"Menurutmu, lebih bagus efek kaca, berlian, emas, atau perak?" tanya Dante makin membuat Ramshad naik pitam. Kekecewaan abdinya yang setia itu jelas terbaca, sehingga Dante pun menanggapi serius pertanyaannya. "Kau sungguh ingin tahu?"

"Saya tidak bisa bekerja jika masih bingung dengan keadaan sekitar. Tidak bisa memercayai seorang pun, itu sulit. Dalam hati menuduh Taja menyembunyikan sesuatu, apakah itu yang Anda inginkan? Perpecahan?"

Dante bangkit, menghampiri Ramshad lalu menepuk bahunya. "Datang malam nanti di istana Eyn Huza. Jangan terlambat!"

***

Setelah sampai di Hinnan, Eyn Mayra dimanjakan dengan sambutan yang luar biasa meriah. Rakyat Hinnan menganggap tak ada yang salah dengan perilaku raja mereka, termasuk ketika sepanjang hari menyibukkannya dengan perjalanan melawat ke beberapa tempat. Danau pelangi, melihat singa bersayap, hingga sumur air mata.

"Sumur itu penuh oleh air mata para dayang yang menangisi perang. Mereka menangis bertahun-tahun sampai menemui ajal. Air mata mereka-lah yang menciptakan negeri ini. Legenda yang menyedihkan, tapi ... aku belajar satu hal : kisah yang sama tidak akan pernah terulang lagi."

Carlo Dante: A King's Chapter of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang