Beat 2 : Rahasia Kecil Black Dean

43 6 15
                                    

Travis menangis saat lengan Ortiz mencengkeram lehernya bagai elang yang mendapatkan tikusnya. Jelas tanpa perlawanan. Di benak Ortiz, Bos Chrome Dome, entah siapapun dia, berniat mengujinya. Ia harus lulus.

"Maafkan aku," bisik Ortiz setengah memelintir urat leher pemuda itu. Travis yang semula menggelepar tak berdaya kini diam seketika.

Wasit memeriksa nadi, setelah yakin, ia mengumumkan tubuh Travis tidak lagi bernyawa. Penonton bersorak, dan seperti sebelumnya, dua orang suruhan menyeret mayat Travis menuju pembuangan akhir di mana telah menanti burung pemakan bangkai yang jumlahnya semakin banyak.

"Hus! Hus! Pergi! Dasar sial!" Keduanya cepat - cepat melempar mayat Travis dan tepat ketika melambung di udara, tiba - tiba mata pemuda itu terbuka. Ia menggeliat sakit tanpa diketahui anak buah Bos Chrome Dome. Yakin dirinya aman, ia berdiri menyingkirkan gangguan seekor burung pemakan bangkai yang tertarik pada dirinya. Kemudian secepat mungkin berlari menuju hutan sambil meringis ketakutan. Namun di balik itu ia bersyukur. Mengenang petarung tadi yang sengaja menghentikan denyutnya sementara dan pura - pura mematahkan lehernya. Kini, ia bebas. Impian mustahil pada saat ia mengira maut telah merenggut nyawanya.

***

"Gila! Berapa orang yang kau bunuh semalam?" John Decker mencecar Ortiz dengan pertanyaan yang sama sampai kawan satu selnya itu mau membalikkan badan.

"Jangan menggangguku, John. Aku butuh tidur." kilah Ortiz malas.

"Tidak, kau tidak butuh tidur, orang buangan! Kau itu monster! Monster yang mengerikan! Di balik sikapmu yang dingin dan wajah tanpa ekspresi, sesungguhnya kau bukan manusia biasa 'kan? Andai mereka tahu kau adalah mutan atau semacamnya, mereka akan membunuhmu lebih cepat!" John tidak berhenti menanyai Ortiz walau nada suaranya setengah berbisik. Hari masih terlalu pagi bagi mereka untuk mati jika terdengar sipir penjara.

Ortiz kembali berbaring menghadap dinding. John semakin kesal. Laki - laki yang berumur sedikit lebih muda daripada Ortiz itu kadang bertingkah aneh. Saat ini ia lumayan waras, cara bicaranya mirip detektif kelas teri sedang menginterogasi.

"Tahukah kau apa yang dilakukan monster sepertiku terhadap orang bermulut besar sepertimu?"

"Aku tahu, kau akan membunuhku. Ancaman klise. Tapi kau orang baik, Ortiz, kau tidak pernah menyakitiku meski kau mampu. Sekarang aku ingin tahu pengakuanmu ... siapa dirimu yang sesungguhnya?"

"Apa untungnya bagimu?" tanya Ortiz tanpa bergerak dari posisinya berbaring.

John menghitung untung rugi dengan jari - jari, "Untung? Eh, aku ... kupikir aku bisa ikut denganmu. Jika kau benar - benar mutan atau alien, kita bisa pergi ke koloni atau planet tempat tinggalmu. Aku janji, aku akan jadi orang baik. Kau bisa percaya padaku."

Menunggu tanggapan Ortiz sungguh mengesalkan. John menoleh dan memeriksa pria itu yang ternyata sudah tertidur!

"Aku pasti ikut denganmu, Ortiz! Lihat saja!" tekad John dalam gumamnya, lalu meringkuk di dipan besi yang dipasang lekat dengan tembok penjara.

Ketika matahari meninggi, suara seorang sipir membangunkan Ortiz dari balik jeruji. "Bangun, Ortiz! Seseorang ingin bertemu. Tampaknya nasibmu membaik. Hargamu akan naik nanti malam."

Davio Ortiz yang memang sudah lama terjaga, langsung bangkit dan mengikuti kemauan sipir yang menjemputnya. Sebelum meninggalkan bilik sempit itu, Ortiz menoleh ke arah John yang masih duduk memeluk kedua lututnya. "Berdoalah, semoga malam ini bukan kau yang kubunuh." ancamnya setengah tertawa, membuat pria bertubuh kurus itu menggigil ketakutan.

Masuk lift barang, telah menunggu dua sipir lainnya. Masing - masing bersenjata api dan tongkat sengat listrik. Ortiz berdiri di depan mereka, namun pergerakan udara yang mampu dirasakannya walau sehalus apapun, membuat Ortiz bergerak refleks menghindari pukulan menuju lehernya. Diremuknya semua tulang jari sipir itu dalam sekali genggaman hingga berteriak histeris. Dua lainnya lebih parah. Mereka menemui ajal setelah Ortiz menghancurkan paru - paru dalam sekali hantaman kepalan tangan.

Lift terbuka. Kaki Ortiz menapak di lantai itu, di mana enam meter jaraknya puluhan sipir bersiaga di sana, melindungi seseorang berjas serba putih. Orang itu bertepuk tangan, seolah sudah tahu apa yang baru saja dilakukan Ortiz.

"Bravo! Sei ancora grande come prima, Carlo Dante! Kau bisa menipu mereka semua, tapi tidak padaku."

"Jadi kaulah Bos Chrome Dome? Ternyata cuma Black Dean Si Penjilat. Aku heran, mengapa orang sepertimu selalu beruntung dan tetap hidup."

Black Dean, nama yang aneh untuk seseorang penyuka warna putih, mengeluarkan dua buah anggur merah dari saku jasnya, kemudian menyantap keduanya sekaligus.

"Kelemahanmu adalah masa lalumu, Dante. Banyak pihak masih memburumu dan memanfaatkan namamu yang sempat menghilang. Tetapi Black Dean? Aku tidak bodoh. Satu - satunya tempat paling aman dan nyaman untukmu justru yang paling ditakuti semua orang di dunia. Penjara Chrome Dome. Tentu saja, agar bisa menguasaimu aku harus membeli tempat terkutuk ini terlebih dahulu. Ya! Aku membelinya, Dante! Demi menaklukkan singa yang sengaja bersembunyi di dalamnya. Kau! Hahahaha!"

"Ya benar," kata Dante, nama sejati Davio Ortiz, sambil menarik kedua ujung bibirnya. "Kau berhasil menipuku kali ini. Kau membuatku bertarung untukmu. Membunuh untukmu."

"Ya ya .... ," Black Dean ikut tertawa.

"Sekarang, katakan. Apa maumu?"

Black Dean berhenti tertawa. Wajahnya berubah serius. Jika ini peristiwa empat tahun lalu, seharusnya dia takut. Bahkan tak pernah terbayang dia akan berjalan mendekati Dante, lalu berdiri di depan sosok lelaki tangguh yang pernah mematahkan kakinya dan memberinya kesempatan hidup. Berusaha mengumpulkan keberaniannya, dia berkata, "Dengar, aku tahu bicara denganmu akan membunuhku. Tapi tahukah kau? Apa yang kau lakukan selama bertahun - tahun di bumi selama Saturn Gallant direstorasi, semuanya tidak berarti?"

"Apa maksudmu?"

"Komplotan Clementine! Mereka dalang di balik ini semua! Jika aku memberitahu sedikit rahasia kecil tentang mereka, maukah kau berjanji untuk membebaskanku dari daftar buruanmu?"

Tatapan Dante beralih pada puluhan sipir penjara dalam posisi siap menodongkan senjata. "Bicara empat mata di tengah pesta? Kupikir kau lebih pintar dari ini."

Black Dean memencet sebuah remote mini, melenyapkan semua sipir yang ternyata cuma gambar hologram. "Aku banyak belajar, Dante. Untuk bertahan hidup, apapun akan kulakukan."

"Bicaramu terlalu tegang. Apa yang membuatmu berpikir bahwa Clementine jauh lebih berbahaya daripada aku?"

Pria pendek itu menyeka keringatnya. Gugup, seperti sedang berpacu dengan waktu. "Setidaknya, kau membunuh apabila musuhmu menolak bertobat, tapi Clementine ... dia membunuh untuk kesenangan. Kau harus menghentikannya!"

"Lagi - lagi memanfaatkanku, ha? Jika dia masalahmu, maka gunakan uangmu untuk menyingkirkannya."

"Sudah kubilang, selama Clementine masih bernapas, usahamu di bumi sia - sia belaka, Dante! Dia terus menebar bibit kekacauan dan sekarang ... dia menahan putriku. Kudengar, dia tengah mengandung. Putri kecilku yang malang. Kau harus membebaskannya, Dante! Hanya kau yang bisa! Kumohon .... "

Seorang pria yang menangis berarti meluruhkan segenap kekuatannya yang tersisa. Black Dean memang penipu, namun tangisannya tulus. Tangisan seorang ayah.

Sama seperti dirinya. Sikap Black Dean mengemis padanya mengingatkan kewajibannya pada seorang anak. Hafiz Saif. Putra kandungnya. Bagaimana kabar anak itu sekarang? Batin Dante, memendam secercah asa untuk bersua.

***

Carlo Dante : A King's Chapter of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang