Beat 20 : Penyelidikan di Zufras

22 1 0
                                    

Lelaki berserban hitam itu duduk santai di sebuah kedai kecil di tengah pasar di jantung kota Zufras, wilayah Eyn sebelah tenggara. Zufras yang panas, memendam bara yang sewaktu-waktu mampu menyulut api pemberontakan. Tampak tenang tapi menghanyutkan. Memesan air fican hitam kental, sejenis ramuan daun yang luar biasa pahit ditambah efek panas di tenggorokan, justru menimbulkan rasa curiga si pemilik kedai. Apalagi raut muka lelaki asing itu minum tanpa ekspresi, seolah minuman itu tak bereaksi apa-apa baginya.

"Singgah sebentar, eh?" tanya pemilik kedai berperut tambun itu. "Panas-panas begini kau justru memesan fican."

"Oh," komentar lelaki berbusana serba hitam itu pendek, paham maksud pemilik kedai yang merasa aneh pada dirinya, lalu lanjutnya, "Cuma minuman ini yang mampu membuatku berpikir jernih. Itu saja."

Pemilik kedai mengangkat bahu sembari mengelap gelas keramik, "Terserahlah." ucapnya mulai tak peduli.

Tak berapa lama, kedai itu kedatangan tiga tamu. Tampaknya pelanggan, sebab si pemilik kedai langsung menyambut akrab dan menyediakan minuman yang sudah biasa mereka pesan. "Jangan lupa janji kalian minggu lalu, aku ingin segera menimang hadiahku," tagih pemilik kedai.

Tiba-tiba seorang dari tiga tamu tadi menepuk bahu pria tambun itu cukup keras, memperingatkannya dalam bahasa lain. Bahasa rakyat Hinnan.

"Kau bukan satu-satunya orang yang akan mendapat upah, jadi diam dan kerjakan tugasmu! Tidak perlu mengingatkan kami, dasar tak tahu diri!" hardik pria bertubuh tegap dengan mata nanar dan wajah marah. Orang yang diancamnya gemetar ketakutan, memohon maaf, kemudian melanjutkan pekerjaannya melayani pelanggan lain yang tak peduli pada adegan yang sudah dianggap biasa.

"Menyimak percakapan kami? Orang Eyn Bodoh?" Pria Hinnan berikut dua temannya mulai mengejek orang berserban yang duduk sendirian tak jauh dari mereka, masih menggunakan bahasanya. Ketiganya tergelak karena yakin pria berserban itu takkan paham dan pasti akan diam, tidak bisa membalas ucapan mereka. Namun tawa itu langsung bungkam ketika pria berserban justru mampu menjawab lancar.

"Tahu sesuatu tentang rencana terselubung komplotan macam kalian? Kebetulan, kita bertemu di sini jadi aku tak perlu susah payah."

Mendengar itu ketiga orang Hinnan saling pandang, tanpa basa-basi langsung menyerang pria berserban dengan pedang. Semua orang yang berada di sekitar tempat itu kaget, tanpa berani melakukan apapun. Cuma bisa menonton, berharap nasib baik berpihak pada pria berserban sebab jelas sekali ia kalah jumlah.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Pria itu menguasai keadaan. Dua lawannya dibuat tak berdaya, sementara seorang lainnya berhasil memanfaatkan situasi dengan melarikan diri. Kemampuan adu otot mereka ternyata bukan tandingan pria misterius yang jauh lebih hebat.

"Bersenang-senang sendirian rupanya?" Nada datar itu terdengar.

Taja, wanita yang sudah dikenalnya, berdiri bersedekap, lengkap dengan segaris senyum sinis. Dikawal beberapa prajurit istana yang ditugaskan membantunya.

"Bawa mereka, Lady Taja! Aku ada urusan sebentar."

Memandang punggung lelaki berbusana serba hitam itu, mulutnya bergumam penasaran, "Urusan, Ramshad?" Mustahil menahan sepasang kakinya untuk tinggal diam.

Meninggalkan kedai, Ramshad melepas kain penutup wajah, membetulkan sedikit letak serbannya lalu mempercepat langkah, mulai berlari mengejar seorang lawan yang sangat mudah terendus jejaknya. Menyusuri jalanan yang semakin sempit dan jauh dari keramaian membuatnya harus selalu waspada. Hari masih terang namun semakin gelap di sudut kota itu. Setelah pengejaran yang cukup lama, manusia buruannya terhenti setelah dinding tinggi menghambat pelariannya. Jalan buntu.

Carlo Dante : A King's Chapter of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang