•00• Prolog

24K 635 110
                                    

.

.

.

My Perfect Teacher

.

.

.

Namaku Reyna Liberty. Cewek SMA biasa, umur sebentar lagi genap 18 tahun, hobi membaca dan mendengarkan musik. Pasti kalian salfok sama judul cerita ini kan? Pasti mikir yang iya-iya kan? Memang iya.

Aku dilahirkan dengan wajah yang tak terlalu buruk meski tak juga cantik, rambutku hitam panjang sepunggung. Tak terlalu buruk kan? Ya intinya pas. Aku juga punya otak yang lumayan. IQ-ku saja 130. Jenius kan? Hanya saja aku sedikit kecewa dengan tinggiku yang cuma 155 cm. Jelaslah, dengan tinggiku itu aku dinobatkan menjadi cewek terpendek dikelas.

Berhubung ini prolog dan aku tak mau digampar Author. Aku akan menceritakan sedikit rahasia kecil yang sebenarnya juga malas kuceritakan. Karena Author ngancem jadi aku ceritakan. Gak terlalu banyak sih, cuma intinya aja.

Saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama alias SMP, masa-masa terlabil. Pasti kalian punya guru favorit kan? Atau pasti ada saja guru yang kalian nobatkan sebagai guru killer? Aku pun begitu.

Namanya Pak Aldrich. Dia guru mata pelajaran matematika. Aku mengenalnya sebagai guru paling killer sesekolah, menurutku dan juga teman-temanku. Kami semua setuju menobatkan Pak Aldrich sebagai guru terkiller, mengalahkan Pak Taher yang selama bertahun-tahun menyandang gelar tersebut. Tidak seperti kebanyakan guru killer yang kalian bayangkan. Pak Aldrich jauh dari kata suka marah-marah, dia juga bukan guru yang suka main tangan. Loh? Terus apa?

Pak Aldrich mainnya nilai cuy!!

Berisik dikit, coret nilai!

Tepat di semester kedua aku benar-benar merasakan panas dinginnya belajar matematika. Pak Aldrich menggantikan Pak Aceng yang sebelumnya mengajar matematika di kelasku.

Belum sebulan saja nilai matematika ku sudah di minus 150. Alasannya yang pertama gara-gara aku kasih contek teman sekelas, yang kedua karena aku telat masuk jam pelajaran.

Kan asu_-

Tapi, saat aku duduk dikelas 9. Rasa kagumku pada Pak Aldrich berkembang, menjadi rasa suka. Dan hal yang paling aku takutkan pun terjadi.

Aku mencintai guruku sendiri.

Crazy isn't it?

Salah menurutku. Aku saja bilang itu salah apalagi orang lain. Aku tidak tau seperti apa perasaan itu. Yang jelas gejalanya sangat sesuai dengan tanda-tanda orang sedang kasmaran. Aneh.

Aku sangat tau diri dengan posisiku saat itu. Hubungan kami hanya sebatas guru dengan murid. Pak Aldrich hanya menganggap ku sebagai salah satu muridnya yang pintar. Dan juga, guruku yang berbeda 10 tahun denganku sudah berkeluarga. Aku sangat mengerti.

Karena itu, aku memilih menikmati cintaku dalam diam. Hanya aku dan Tuhan yang tau.

Hingga kini, di masa SMA-ku, aku masih belum move on dari pesona Pak Aldrich. Dia tampan, aura dewasanya terpatri jelas. Cowok dewasa itu sangat ideal menurutku. Oleh karena itu aku menjatuhkan hatiku padanya.

Kembali pada masa ku sekarang. Aku duduk dikelas XII MIPA-B sedang menunggu guru matematika hari ini. Kudengar Bu Risa –guru matematika– ku pensiun. Jadi, kali ini yang kudapat sosok guru baru akan menggantikan posisi lama Bu Risa. Aku tidak tau siapa guru baru itu. Yang jelas aku harap dia cowok. Lumayanlah jika guru itu tampan, aku bisa cuci mata gratis. Siapa tau juga aku jadi lebih semangat belajar.

Ya, semoga saja.

Aku melirik jam tangan dipergelangan tanganku, pukul 8 pagi. Reysa– teman sebangku ku sudah 10 menit belum juga balik dari panggilan alamnya. Padahal sebentar lagi kelas mulai. Kudengar suara sepasang sepatu mendekat. Reysa sudah kembali dari WC, lantas dia duduk di sampingku. Nafasnya ngos-ngosan. Entah apa yang mengejarnya tadi atau dia sedang lari marathon.

"Rey!" Panggil Reysa. Aku menoleh. Tatapannya berubah serius.

"Apa?" Tanyaku tak terlalu penasaran.

"Sebentar lagi guru baru itu datang." Katanya sambil memegang kedua bahuku erat. Sakit.

"Maksudnya?"

"Issh. Liat ini ya?"

Aku melihat apa yang sedang cewek itu lakukan. Cewek itu terlihat menghitung jarinya mundur dari angka 5. Aku masih tak mengerti.

"Lima,"

"Empat,"

"Tiga,"

"Dua,"

"Satu."

Tepat dihitungan terakhir, aku melihat seorang cowok berkemeja memasuki kelas. Berbekal tas ransel yang disampirkan dibahu, cowok itu duduk. "Selamat pagi anak-anak!" Sapanya cukup ramah.

Aku tak berkedip. Selama beberapa detik mataku bertemu dengan cowok yang kini berdiri didepan kelas. Kami saling menatap. Persetan dengan tempat dudukku yang persis didepan meja guru. Disaat itu pula aku tak tau harus berbuat apa. Sedih? Bahagia? Atau aku harus marah?

Entahlah.

"Selamat pagi Pak!" Jawab murid dikelas ini kecuali aku yang masih terbengong.

"Perkenalkan, nama saya Pak Aldrich. Guru matematika baru kalian. Mohon kerja samanya."

❄❄❄

My Perfect Teacher [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang