•17• Pingsan

5.8K 287 1
                                    

Sudah setengah jam Reyna tak sadarkan diri atau pingsan lebih tepatnya. Denis yang merasa bertanggung jawab memilih menunggui Reyna siuman. Begitupun Aldrich yang juga menunggu muridnya itu.

Aldrich dan Denis duduk berdampingan dikursi yang memang disediakan. Seorang anak PMR mengatakan Reyna tidak apa-apa. Mungkin sebentar lagk Reyna akan sadar.

"Kamu– punya nomor keluarganya Reyna?" Tanya Aldrich pada murid disampingnya itu. Denis menoleh lantas menggeleng pelan. Dia tidak punya nomor keluarga Reyna, baik Kakak ataupun Ibunya.

"Kenapa gak periksa aja hp nya si Reyna Pak?" Denis memberi usul yang membuat Aldrich merasa bodoh. Tentu saja, kenapa dia sampai tidak kepikiran soal itu?

Aldrich berdiri menghampiri anak PMR yang tadi memeriksa Reyna. Untungnya anak cewek anggota PMR itu menyimpan ponsel Reyna di atas nakas. Kemudian cewek itu memberikannya pada Aldrich.

Aldrich menghidupkan ponsel Reyna yang untungnya tidak memakai kata sandi. Anak ini benar-benar ceroboh!

"Kamu tau siapa nama kakaknya Reyna?" Tanya Aldrich pada Denis.

Denis mengangguk. "Reyhan."

Aldrich mencari kontak nomor kakak Reyna. Setelah berhasil ketemu lantas menelepon untuk mengabari keadaan Reyna.

Sudah lebih dari 10 kali Aldrich menelepon. Namun Kakak laki-laki Reyna tak kunjung mengangkat telepon.

"Gimana Pak? Di angkat gak?" Tanya Denis. Tanpa bertanya pun bisa ditebak jawabannya adalah 'tidak', karena sejak tadi guru matematika itu berulangkali menatap kemudian menempelkan benda pipih milik Reyna tersebut ke telinganya.

"Gak di angkat." Aldrich akhirnya menyerah. Hari semakin sore. Jadi pilihannya adalah menunggu sampai Reyna sadar. "Tunggu Reyna bangun aja."

Denis mengangguk. Dia kembali memandang Reyna yang masih tak sadarkan diri diatas ranjang UKS. Ini semua salahnya. Tentu, meskipun dia tidak sengaja. Tetap saja dia juga yang harus bertanggung jawab.

"Belum pulang?"

Denis mendongak lantas menggeleng pelan. "Belum. Saya mau nungguin Reyna siuman. Ini juga 'kan salah saya Pak."

Aldrich mengernyit heran.

Semua orang tau jika mendengar nama Denis Mahendra yang langsung terpikir di otak mereka adalah cowok tampan, playboy, brengsek, over confidence (kenyataannya Denis memang tampan. Jadi seharusnya tidak ada yang dipermasalahkan), menyebalkan, dan hal buruk lainnya lagi.

Tapi untuk kali ini Denis benar-benar menunjukkan sisi lainnya yang betul berbeda dari yang biasa dilihat orang-orang, termasuk Aldrich yang sudah terlalu sering melihat bagaimana sifat dominan muridnya itu.

"Kamu boleh pulang. Kamu keliatan lelah, mungkin?"

Denis menggeleng, lagi. Tetap keukeuh. "Kalo Reyna udah siuman saya mau errr..." Lidah Denis terasa kelu. Sebenarnya aneh juga dia berkata demikian. Ini jelas-jelas bertolak belakang dengan apa yang biasanya dia lakukan jika berbuat salah dan membuat seseorang merasa dirugikan– seperti Reyna. "Saya mau minta maaf."

Aldrich hanya mengangguk. Kemudian memgambil kursi untuk duduk. "Niat bagus." Responnya. "Setidaknya itu mengurangi nilai minus kamu."

Denis tertawa kecil sambil menggaruk tengkuknya.

Bermenit-menit sepasang guru-murid itu mengobrol. Namun, seseorang yang mereka tunggui belum juga sadarkan diri.

Denis mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang mengirim pesan.

My Perfect Teacher [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang