Vote & komen nya jangan lupa😊ྀི
Aldrich mengajak Reyna jalan-jalan. Reyna jelas tak menolak. Rezeki jangan di tolak, ya kan? Tempat yang mereka kunjungi adalah sebuah pusat perbelanjaan, tempat biasa sepasang kekasih menghabiskan waktu bersama. Bisa juga disebut kencan. Eh, memangnya ini kencan?
Reyna dibuat menangis dalam hati begitu mengikuti Aldrich ke sebuah toko brand fashion ternama dunia. Rumah mode kenamaan asal Paris.
Aldrich membeli dua kemeja dan satu dasi. Terlihat sederhana namun nominal harga tiga barang tersebut setara dengan membeli sebuah sepeda motor secara cash.
Reyna menangis di pojokan.
Reyna harus terbiasa dengan 'sisi' mewah Aldrich. Jika tidak, Reyna bisa pingsan di tempat tiap kali menemani Aldrich belanja. Tidak heran Aldrich memiliki selera khas konglomerat (karena memang Aldrich konglomerat), harusnya Reyna sadar itu. Dia saja tak pernah terpikirkan akan mengunjungi—walaupun tidak membeli—salah satu toko brand ternama yang selama ini hanya bisa ia ratapi gambarnya di ponsel.
"Kamu gak mau beli apapun? Di toko tadi gak ada yang menarik ya?" Tanya Aldrich begitu mereka keluar dari toko.
Reyna ingin sekali berteriak didepan wajah Aldrich dan mengatakan 'Ya ampun Pak inginku borong semua barang disana tapi sadar diri ini siapa:')'
Reyna menggeleng pelan lalu tersenyum. "Bukan gitu Pak..." Sebenarnya dia hanya merasa tidak enak. Meski Aldrich adalah kekasihnya, rasanya masih sungkan dan aneh. Walaupun tak dapat dia bohongi, barang-barang di sana sangat menarik perhatiannya. Sayang, matanya mendadak buram begitu melihat harganya.
"Serius? Kita ke toko lain kalo gitu."
"Eh—nggak usah Pak!"
Aldrich mengernyit bingung. Lalu setelahnya tersenyum tipis dan langsung menarik Reyna ke sisinya. Dia tertawa dalam hati melihat pipi Reyna yang memerah seperti tomat, atau semerah rambutnya yang tampak mencolok diantara keramaian orang-orang. "Gak usah canggung."
Reyna menautkan jemari, gugup langsung menyergapi. Dia menghela napas, "Aku berusaha gak awkward kok Pak..." Lirihnya. Dia melanjutkan, "Tiba-tiba ngerasa gak pantes aja buat Pak Aldrich. Level kita jauh banget~" Reyna tertawa.
Aldrich membawa mereka berjalan kembali. Kini tanpa tujuan. Pria itu tak menjawab perkataan terakhir Reyna tadi. Reyna mungkin belum terbiasa dengan kehidupannya yang 'sebenarnya'. Soal level yang dimaksud Reyna adalah 'status sosial' mereka. Aldrich paham itu. Stigma masyarakat tentang status sosial sudah menjadi momok penting sejak dulu. Aldrich membenci itu. Sedangkan dia dibesarkan dengan ketegasan sang Ayah, dan didalamnya banyak mencakup tentang kedudukan dan martabat keluarga. Tapi tetap saja, di hadapan Tuhan mereka adalah sama.
"Buang pikiran kolot kamu." Kata Aldrich akhirnya.
Keduanya berhenti didepan kedai minuman boba. Reyna menatap Aldrich dengan mata berkaca-kaca. Aldrich panik karena dia pikir Reyna akan menangis. "Rey, jangan nangis disini!"
Kedua hazel itu semakin berkaca-kaca, ditambah si pemilik rambut merah itu kini melengkungkan bibirnya ke bawah."Pak..." Ucapnya dengan suara serak.
Aldrich sedikit panik. Pria itu melihat ke sekitar dan benar saja, beberapa orang menatapnya heran. Gawat! Bisa-bisa dia di sangka om-om penculik! "Rey, orang-orang liatin kita. Saya gak mau di tuduh macem-macem."
"Pak..."
"Iya sayang?"
Reyna mempoutkan bibir dan kalimatnya selanjutnya membuat Aldrich ingin sekali membenturkan kepala. "Laper Pak..."

KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Teacher [On Going]
Teen Fiction[1] Cuma kisah; bagaimana usaha Reyna Liberty mendapatkan cinta sang guru matematika. "Saya suka sama Pak Al... Gak papa kan?" "Belajar yang bener dulu bocah baru lamar saya." ------------------------------------------- #1 in student [08/10/2021] #2...