"Kamu lari keliling lapangan 10 putaran sekarang juga!"
"Tapi Bu—"
"Nggak ada tapi-tapi! Kamu Reyna, lari sekarang atau hukumannya Ibu tambahin!"
"I-iya Bu." Reyna meletakkan tas ranselnya ke pinggir lapangan. Kesialan seakan tak ada habis buatnya. Cewek itu dihukum lari keliling lapangan karena dia telat masuk kelas. Bu Rere yang kebetulan berada didepan kelas XII MIPA-B langsung menyeret Reyna ke lapangan karena kedapatan jalan ngendap-ngendap.
Dan disinilah Reyna berada. Dilapangan yang luasnya Naudzubillah. Diputaran ketiga, cewek itu sudah tidak melihat tanda-tanda keberadaan Bu Rere. Setelah memastikan benar-benar Bu gendut itu tidak ada, Reyna menghentikan larinya. Dia butuh istirahat sebentar sebelum melanjutkan 7 putaran lagi.
"Hei kamu!"
"Eh?"
"Reyna! Kenapa kamu berhenti! Lanjutin lagi larinya!"
Dari pinggir lapangan Reyna melihat si guru matematika mengintrupsinya untuk segera menyelesaikan hukuman yang diberikan oleh Bu Rere. Reyna tersenyum semanis mungkin agar sang guru merasa terenyuh dan mengizinkannya kembali ke kelas. Namun, sepertinya hati Aldrich terbuat dari baja nan kokoh. Kini pria itu sudah berjalan kearahnya. Reyna yang melihat itu sontak senang karena dia pikir Aldrich akan menyudahi hukumannya.
"Udah aja ya Pak larinya. Saya capek. Saya kan cewek mana kuat lari 10 putaran. Biasanya juga anak cewek yang telat cuma dikasih lari 5 putaran, kok saya dapet 10 putaran sih Pak? Kan gak adil. Dimana sih hak asasi manusia saya Pak? Kalo saya pingsan emang Bapak mau gendong? Saya berat loh."
Tak tahan mendengar ocehan panjang kali lebar sang anak murid. Aldrich membekap mulut cewek itu. "Pak mmpphh—"
"Berisik kamu! Mending lanjutin lagi hukumannya!"
"Pak kasih saya keringanan dong. Please..."
Merasa tak tega dengan Reyna yang tetlihat kelelahan. Aldrich memutar bola matanya malas. Berhubung hukuman Reyna ditanggung jawabkan padanya, tak apalah dia kasih keringanan. Toh, Bu Rere mana mau capek-capek berurusan. "Ya udah. Tapi lima putaran aja ya?"
"Serius Pak?!" Tanya Reyna tak percaya. Setelah mendapat anggukan dari sang guru sebagai jawaban. Reyna kembali melanjutkan larinya yang kini cuma tinggal 2 putaran. Cewek itu sengaja dengan cepat menyelesaikan hukumannya.
"Makasih ya Pak udah baik sama saya." Ucapnya ketika sudah menyelasikan lari 5 putarannya. Reyna berjalan beriringan dengan Aldrich menuju pinggir lapangan.
"Itu gak gratis loh. Harus ada imbalannya."
Sontak Reyna yang mengambil tasnya, kembali menjatuhkan tas berwarna biru tersebut. "Loh? Kok gitu sih Pak? Ini namanya gak adil. Bapak tadi gak bilang kalo harus ada imbalannya."
"Tadi saya mau bilang, tapi kamu keburu lari. Didunia ini gak ada yang gratis loh."
Reyna mencebik. "Pak Aldrich matre ih!"
"Bapak gak minta imbalannya sekarang. Nanti-nanti aja kalo udah kepikiran. Cepet kamu ke kelas! Bentar lagi pergantian pelajaran." Aldrich mengacak rambut Reyna. Membuat pipi cewek itu merah padam. Persis tomat busuk.
"Jangan bikin baper dong Pak. Kalo gini terus, kapan saya mau move on nya?" Reyna menatap punggung Aldrich yang perlahan menjauh.
Reyna memakai tasnya kembali. Kemudian berjalan menaiki tangga menuju lantai dua kelas XII MIPA-B. Sebelumnya dia pergi ke kantin membeli es teh botol.
Sampai dikelas, Reyna sudah disuguhkan pemandangan acak-acakkan dari seluruh penghuni kelasnya. Reyna yang menjabat sebagai ketua kelas XII MIPA-B menarik nafas, kemudian. "APA-APAAN INI?! KENAPA JADI BERANTAKAN KAYAK GINI?! CEPET BERESIN MEJA KALIAN!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Teacher [On Going]
Tienerfictie[1] Cuma kisah; bagaimana usaha Reyna Liberty mendapatkan cinta sang guru matematika. "Saya suka sama Pak Al... Gak papa kan?" "Belajar yang bener dulu bocah baru lamar saya." ------------------------------------------- #1 in student [08/10/2021] #2...