"Rey!"
"Pulang bareng gue kan?"
Reyna mengangguk. "Yoi!"
Reysa mengeluarkan motor maticnya dari parkiran. Sedangkan Reyna menunggu diluar gerbang. Tangannya memegang helm bergambar kuda pony tale milik Reysa. Reyna bergidik. Dia jadi malu sendiri harus memakai helm bergambar kartun unyu-unyu.
Motor matic merah yang di kendarai Reysa berhenti di depannya. Tanpa aba-aba lagi Reyna bergegas naik. Helm bergambar pony tale milik sahabatnya itu sengaja tidak dia pakai. Jelaslah! Dia kan malu. Ya kali dia yang notabene dikenal sebagai ketua kelas killer memakai helm macam itu pula. Mau taruh dimana mukanya nanti?
Tak banyak obrolan sepanjang perjalanan. Tumben, biasanya mereka banyak bercerita. Tapi kali ini, entah hanya perasaannya saja atau dia yang terlalu berlebihan. Reysa jadi lebih banyak diam. Waktu presentasi tadi pagi dia masih bawel-bawel saja. Dan juga Reyna masih sempat melihat Reysa memarahi Denis dan Bagas.
Saat dia kembali dari perpustakaan, Reysa tak banyak bicara. Biasanya Reysa akan memborong pertanyaan padanya. Sebenarnya, apa yang terjadi selama dia diperpustakaan bersama Aldrich?Ralat, bersama Evri dan Bagas juga.
Reyna yang akan memulai obrolan langsung mengatupkan mulutnya, tidak jadi. Reysa kenapa ya?
Tak terasa kendaraan yang mereka tumpangi berhenti. Reyna segera turun. "Makasih ya Reys." Kemudian Reyna mengembalikan helm pony tale pada si pemilik yang lagi-lagi masih menampilkan wajah masam.
Sebelum Reysa pergi dengan motornya, Reyna segera menahan tangan sahabatnya itu. Dia butuh kejelasan kenapa sepanjang perjalanan tadi Reysa diam. Apa dia berbuat sesuatu yang membuat Reysa marah? Jika memang begitu, dia harus segera minta maaf agar semua kembali seperti awal. Dia paling benci situasi seperti ini. Dia tak mau kehilangan sahabatnya. "Reys, lo kenapa sih diem mulu?"
Reyna menatap sayu Reysa. Reysa terkekeh. Membuat Reyna menatapnya bingung. Kemudian Reysa turun dari motornya. Kebetulan baru jam 3 sore, jadi Reysa masih ada waktu untuk bercerita. "Gue gak pa-pa kok."
Reyna menaikkan satu alisnya. "Masa? Kalo baik-baik aja kenapa lo diem dari tadi? Gue kan jadi ngerasa punya salah sama lo."
"Lo emang salah Rey!" Seru Reysa. Nada intonasinya meninggi. Membuat Reyna terkejut.
"Gue? Gue punya salah apa sama lo?" Tanya Reyna. Nada bicaranya terdengar bergetar. Kedua tangan Reyna bahkan kini sudah memegang erat bahu Reysa. "Maafin gue ya Reys. Gue sebenernya gak tau gue salah apa sama lo. Tapi, maafin gue ya Reys."
Reysa tertawa kencang. Membuat Reyna yang masih memegang kedua bahu Reysa menatapnya bingung. "Gue becanda Rey." Reysa menurunkan kedua tangan Reyna dari bahunya. Sebenarnya dia cuma bercanda. Mana mungkin dia marah pada sahabatnya itu tanpa alasan yang jelas. "Gue gak marah kok sama lo."
"Loh? Terus kenapa?" Tanya Reyna dengan raut wajahnya yang masih bingung.
"Gak papa kok." Reysa menepuk bahu Reyna. "Becanda. Gue lagi gak mood aja. Habisnya lo akhir-akhir ini jadi sering gak masuk pas jam pelajaran. Gue kan jadi sendirian terus duduknya. Tadi aja lo diperpustakaan."
Mulut Reyna membulat. Syukurlah, dia pikir Reysa marah padanya. Setidaknya Reysa hanya marah karena dia yang belakangan sering keluar saat jam pelajaran. Tau kan sekarang dia adalah asisten Aldrich? Setelah istirahat tadi pun lagi-lagi dia disuruh membantu Aldrich. Itu pun kebetulan guru pelajaran kimia sedang tidak masuk. "Lo tau kan nasib gue kek gimana semenjak jadi asistennya Pak Aldrich?"
Reysa mengangguk. Dalam hati dia tertawa meratapi nasib sahabatnya itu. Sungguh malang nasib Reyna.
"Oh ya!" Seru Reyna. "Bagas tadi ada diperpustakaan pas gue lagi bantu-bantu Pak Aldrich."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Teacher [On Going]
Novela Juvenil[1] Cuma kisah; bagaimana usaha Reyna Liberty mendapatkan cinta sang guru matematika. "Saya suka sama Pak Al... Gak papa kan?" "Belajar yang bener dulu bocah baru lamar saya." ------------------------------------------- #1 in student [08/10/2021] #2...