•05• Hari Pertama (Pt.1)

7.6K 352 25
                                    

"Rey! Kamu inget kan tugas kamu?"

Reyna cuma mengangguk mengerti. Lantas tangan cewek itu mengambil alih tas ransel Aldrich. Reyna mengekor mengikuti Aldrich yang akan ke ruang guru. Reyna menghela nafas.

Berasa jadi babu gue_-
Pak Al jahat banget pake ngaduin ke Bu gendut. Gue disuruh jadi pembokatnya Pak Aldrich. Untung guru, kalo enggak udah gue tabok tuh muka biar jelek!

"Reyna! Ngapain berdiri disitu?"

Reyna yang merasa dipanggil melihat ke depan. Tak terasa cewek itu sudah sampai didepan ruang guru. Yang dilakukannya malah berdiri tak jelas seperti orang bodoh. Setelah mendapat teguran dari si empunya tas yang dia pegang. Sepasang kakinya berjalan menuju sebuah meja yang berdekatan dengan jendela, disana Aldrich sudah duduk sambil menyilang sebelah kakinya.

"Terus, saya harus ngapain lagi Pak?" Reyna berkata setelah dia menaruh tas milik Aldrich yang terasa— ringan?

"Saya boleh ke kelas kan?" Tanya Reyna. "Saya pasti dicariin Reysa daritadi."

"Silahkan."

"Beneran?" Sialnya, bukannya langsung pergi begitu mendapat kesempatan emas, cewek itu malah membalikkan badannya. Bertanya apakah segampang itu dia boleh pergi. Kemarin saja Reyna tidak boleh balik ke kelas, well, itu karena Bu Dewi tidak masuk. Mungkin, daripada dia nganggur dikelas, dia bisa membantu Aldrich. Kali ini beda Rey!

Netra milik Aldrich beralih pada sang murid yang masih tak beranjak. "Beneran. Kamu gak mau masuk kelas? Katanya dicariin Reysa. Well, bukannya kelas kamu itu ada pelajaran kimia?"

"Oh--ya udah." Reyna mengulurkan tangan. Aldrich menerima salam dari Reyna. Cewek itu sudah akan pergi, namun Aldrich segera bersuara.

"Kamu masih ingetkan ada janji bantuin saya?"

Reyna membalikkan badan. Mengangguk, dia masih ingat. Dia harus membantu guru matematikanya itu mengoreksi ulangan.

❄❄❄

"Lo darimana aja Rey baru keliatan dari tadi pagi? Muka lo kusut banget sih?" Cerocos Denis. Reyna memilih tak menjawab, cewek itu mendorong bahu Denis agar dirinya bisa lewat.

"Cewek kalo lagi pms, lebih nyeremin dibanding tante-tante girang yang kemaren gue liat." Gumam cowok itu. Langsung dihadiahi tawa dari Dafa.

Reyna melempar tasnya. Duduk tak bersuara menunggu Bu Siska– guru kimia datang. "Rey, lo kenapa?" Tanya teman sebangkunya itu. Reyna bergeming, semakin menenggelamkan kepalanya diatas meja. "Ih! Lo kenapa sih pagi-pagi udah bikin gue kepo?!"

Cewek itu mengangkat kepalanya. Menempelkan jari telunjuk dibibir. "Sstt! Lo gak liat ada Bu Siska didepan?" Well, dia tidak bohong. Saat ini sudah berdiri didepan kelas Bu Siska– guru kimia yang masih melajang, cantik, baik, dan cara komunikasinya dengan murid selalu menggunakan bahasa yang non baku– intinya tidak membuat bingung dan membosankan.

"Selamat pagi anak-anak!" Sapa Bu Siska. Kali ini guru berusia 25 tahun itu memakai atasan batik berwarna biru dengan rok warna senada. Dengan senyum yang khas disertai lesung pipi, Bu Siska mengabsen satu persatu anak kelas XII MIPA-B. Kalau begini, mereka semua merasa masih ditaman kanak-kanak. Ingat Bu! Mereka ini sudah hampir 12 tahun mengecap pahit manis dunia pendidikan. Jangan memanjakan mereka semua!

Bahkan sejak kedatangan Bu Siska, Denis –sebagai salah satu penggemar berat Bu Siska– dia sendiri yang bilang, cowok itu sudah berapa kali melayangkan kata-kata pujian untuk guru kimia tersebut.

"Ibu hari ini cantik banget deh. Kemarin-kemarin udah cantik, sekarang makin cantik aja."

"Bu, mau gak jadi ibu angkat saya?"

My Perfect Teacher [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang