•12• Cowok Brengsek

6.5K 311 16
                                    

Cewek itu berjalan melewati koridor menuju kelas XII MIPA-B. Langkahnya berhenti begitu seseorang memanggil namanya. Reyna berbalik, mendapati sang sahabat berlari ke arahnya dengan dua botol minuman ditangannya. "Lama banget sih?" Reyna mengambil satu botol minuman yang disodorkan Reysa.

Reysa mendengus. Jelas lama. Setelah upacara selesai, hampir semua anak-anak langsung berhampuran ke kantin. Rata-rata mereka mengeluh dengan amanat pembina upacara yang selalu itu-itu lagi. Atau bagaimana mereka mengomentari petugas upacara hari ini yang menurutnya lucu. "Masih untung gue bayarin."

"Iya iya makasih." Kedua cewek itu berjalan bersama menuju kelas.

Reyna dan Reysa sudah sampai dikelas. Namun, keadaan kelas cukup sepi. Hanya ada beberapa anak. Viona, Atha, Tania, dan Tere. Reysa berjalan menuju tempat duduk Viona yang berada dibelakang tempat duduknya, diikuti Reysa yang langsung duduk disamping cewek berbando itu. "Yang lain pada kemana Vi?"

"Gak tau, pada ke kantin kali." Kata Viona. Cewek itu kemudian melanjutkan kalimatnya. "Sisanya mereka pada ke ruang ekskul seni."

Reysa mengernyit. Tumben anak kelas XII MIPA-B mau ke ruang ekskul seni yang jaraknya jauh. Biasanya mereka ogah-ogahan. Jangankan ke ruang seni, ke laboratorium saja yang dekat mereka pakai acara sumpah serapah. "Ngapain mereka ke sana? Tumben banget."

"Soalnya anak cewek kelas tetangga kita ada latihan nari. Rata-rata yang liat tuh cowok. Si Denis, Dafa, Bagas, Heru, anak cewek paling si Nasya ama and the genknya."

Reyna menganggukkan kepalanya. Dia baru ingat siswi kelas XII MIPA-A rata-rata mengikuti ekstrakuler seni, termasuk Evri dan teman-temannya. Mengingat nama Evri membuatnya menjadi sensi. Apalagi sejak kemarin setelah dia pulang dari rumah Aldrich pikirannya tak henti menerka arti tatapan Evri padanya. Seolah ada rasa tidak suka. "Dia benci gue, gue juga bisa benci dia." Gumam Reyna.

"Lo ngomong apaan Rey?"

Refleks Reyna menggeleng. "Gak pa-pa kok. Kalian salah denger kali."

Tak lama kemudian bel berbunyi. Reyna dan Reysa kembali ke tempat duduknya. Tak lama semua anak kelas XII MIPA-B yang pulang dari rantauan berhambur masuk dan duduk ditempat masing-masing. Disusul kedatangan guru mata pelajaran hari ini. Matematika. Mendengarnya saja sudah membuat tubuhnya mati rasa. Bukan karena dia takut pada pelajarannya, matematika adalah salah satu bidang study kesukaannya. Melainkan sang guru yang membuatnya harus menunduk setiap menjelaskan materi.

Reyna sempat melirik Aldrich yang sedang memainkan ponselnya. Reyna menghembuskan napas lega. Reyna tersenyum miris. Bodohnya dia berharap Aldrich memperhatikannya. "Gue terlalu ngarep."

"Siapa yang piket hari ini?" Tanya Aldrich. Suara bariton itu membuat Reyna menepuk dahi. Reyna lupa kalau hari adalah piketnya. Dan sialnya dia belum melaksanakan piket apapun, baik itu menyapu, mengangkat kursi atau menghapus papan tulis. "Bersihin papan tulisnya!"

Reyna berdiri. Sebelumnya teman sebangkunya itu merecok memarahi Reyna karena belum piket. Reya mengambil penghapus papan tulis yang berada tepat diatas meja guru. Matanya sempat mendapati sang guru yang menatapnya dingin. Reyna mengalihkan pandangannya lagi. Kemudian cepat-cepat mengerjakan tugas piketnya. Setelah selesai buru-buru dia kembali duduk ditempatnya.

"Kamu mau bersihin apa lagi Nona Liberty?"

Seisi kelas tertawa. Reyna merutuki dirinya yang bersikap bodoh lagi. Dengan menahan malu Reyna menaruh kembali penghapus papan tulis yang tadi dia bawa. "Mikirin apa?" Tanya Aldrich membuat langkah cewek itu berhenti.

Reyna menggeleng kemudian duduk kembali. Pelajaran pun dimulai. Aldrich mulai menulis materi hari ini. Tubuh tingginya dengan mudah menjangkau bagian teratas papan tulis, berbeda sekali dengan Reyna yang sampai-sampai harus melompat demi menjangkau papan tulis putih tersebut.

My Perfect Teacher [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang