41. Hal yang baru disadari

433 52 15
                                    

Techi merapihkan anak rambut Neru yang berantakan setelah menangis selama berjam-jam hampir tak berhenti. Dari siang terik, hingga sore menjelang ia hanya diam membisu mendengarkan Neru menangis dan mengoceh tentang rasa bersalahnya. Bahunya bahkan basah hingga ia merasakannya sampai kaus yang dipakai, padahal ia sendiri memakai hoodie.

"Inget gak dulu lo nangis sambil jongkok diantara gedung kelas 1 sama kelas 2 abis diputusin kak Risa?" celetuk Techi di tengah keheningan jeda tangisan yang sudah tak terhitung lagi dengan jari tangannya.

Neru lalu menggeleng lemah sebagai respon, ia tidak mau berfikir dulu sekarang. Terlalu banyak hal yang sedang tidak ingin ia ingat.

"Dulu nangis kejer banget sampe air matanya ngucur ke jaket denim gue, Inget?"

Ajaibnya secara instan ingatan itu kemudian datang, membuat Neru sekilas menunjukan senyumnya yang tipis dibalik ekspresinya yang terlihat kelelahan.

"Gue kirain setan karena suaranya agak mendayu-dayu, mana sekolah juga udah sepi kan karena ujian udah selesai." Techi mulai ngoceh, nginget-nginget kejadian yang sebenernya ia juga sedikit lupa bagaimana bisa ia disana waktu itu.

"Ternyata itu lo. Gue udah baca-baca do'a eh untung manusia." Techi tersenyum bodoh mengingatnya. "Abis itu pas gue sadar jaketnya basah gue suruh cuci, padahal enggak basah-basah amat. Eh sekarang kejadian lagi, hoodie gue basah karena tangisan yang sama, orang yang sama pula."

"Terus gue suruh cuci lagi gitu? Kaya dulu?" Neru akhirnya buka suara meski serak karena abis nangis.

"Iya lah, gak liat ini basah?"

Techi nunjukin sebelah bahunya yang dirasa memang basah, walaupun tak terlihat karena warna hoodienya hitam.

"Sialan..." Neru mukul bahu Techi yang basah itu dengan tidak bertenaga. Senyumnya mengembang tipis.

Techi jadi ikut senyum, lantas tangannya membelai wajah Neru yang kembali muram. Menghapus jejak-jejak air mata yang tersisa disana. "Maaf."

"Payah."

"Gue beneran minta maaf."

"Gapapa." Neru menggenggam tangan Techi yang masih berada di pipinya. "Gapapa..."

Aliran air mata kembali menganak sungai meski lebih sedikit dari sebelumnya. Air mata itu mengalir karena sebab yang sama antara rasa sakit dan rasa bersalah yang ternyata mampu membuatnya seperti ini, tapi ada juga air mata untuk kelegaan yang membuatnya merasa bebas.

Bebas dari rasa terbebani setelah membohongi perasaan sendiri dan menyakiti Fuuchan. Dulu Neru kira jika suatu hari hubungannya dengan Fuuchan berakhir, ia tidak akan merasakan patah hati sehebat ini. Mungkin karena akal sehatnya tahu jika menyia-nyiakan orang sebaik itu adalah hal paling bodoh maka dari itu hatinya berkompromi hingga merasakan patah hati tentang kebaikannya, ketulusannya, dan bagaimana cara ia bersabar menghadapinya.

Tapi urusan hati, tidak bisa dipaksa bukan? Sekuat apapun Neru mencoba mencintai Fuuchan, tetap saja ada celah dimana hatinya masih diisi oleh sosok lain.

Neru lantas kembali memeluk Techi dengan kesedihan yang sama, dengan rasa bersalah yang sama. Tubuhnya terlalu lemah untuk melakukan sesuatu kecuali memeluk erat mantan kekasihnya ini. Setidaknya sebagian dari tenaganya masih tersisa.

Techi pun balas memeluknya, memberikan kenyamanan yang bisa ia berikan. Rambut hitam legam itu ia belai guna menghentikan isakan pelan yang mulai terdengar kembali.

"Dulu lo inget kan gue se-alay apa pas waktu pertama pacaran?" Tanya Techi lagi. Memori akan perjalanan awalnya dengan Neru berputar cepat di otaknya. Mungkin hal itu akan sedikit menghibur mereka diantara hujaman rasa bimbang mengenai perasaan keduanya sekarang.

[4] Yang terlewatkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang