"Baru pulang, Jo?"
Joanna tak merespon pertanyaan sang ibu yang membukakan pintu untuknya. Dia nyelonong masuk ke kamar dengan wajah tertunduk, menyembunyikan mata sembab dan bulir air mata yang membasahi pipi. Belum sampai sang ibu mengejar putrinya, laki-laki yang mengajak pulang Joanna melangkahkan kaki melewati ambang pintu. Ibu Joanna menarik napas panjang kala melihat si menantu berdiri di hadapannya setelah dua bulan terakhir tak bertandang.
"Nak Rizki, bagaimana kabarmu?" tanya Ibu Joanna.
"Baik Bu. Ibu sehat?"
"Sehat Nak. Duduk Nak, ibu buatkan minum. Kamu sudah makan belum, kebetulan ibu masak sayur kesukaan kamu. Gudek jogja."
Ibu Joanna mempersilakan suami putri sulungnya duduk di kursi tamu.
"Bu, apa boleh saya menyusul Joanna?" pinta Rizki saat Ibu Joanna hendak melangkah ke arah dapur.
Wanita paruh baya itu dilema. Dia tak mungkin menghalangi menantunya masuk ke kamar Joanna, istrinya sendiri. Sedangkan Joanna pernah mengatakan ketidaksanggupannya berbaik hati pada Rizki, sang suami.
Laki-laki tiga puluh tahun itu berjalan mendekati Ibu mertuanya yang terdiam, sebab bingung harus membela siapa.
"Bu tolong bujuk Joanna untuk kembali ke rumah kami. Saya ingin memperbaiki semuanya," pinta Rizki memohon. Dia menggenggam satu tangan ibu mertuanya. Berharap wanita paruh baya itu melunak dan berpihak padanya.
Di dalam kamar, Joanna mendengar jelas percakapan antara ibu dan suaminya di ruang tamu yang hanya terpisah oleh tembok. Rumah sederhana milik orang tua Joanna tidak cukup besar untuk mampu meredam setiap obrolan yang terjadi.
Suara sepatu Rizki yang berjalan ke arah kamar pun bisa diketahui Joanna dengan mudah, "Jo, buka pintunya. Mas ingin bicara," bujuk Rizki.
Joanna urung menjawab, mulutnya tak ingin bersuara. Nanti, derai air mata tak mampu lagi dia bendung. Dalam hati dan pikiran Joanna, dia belum bisa memaafkan sikap Rizki satu bulan yang lalu,
"Kamu lebih baik di rumah. Coba kamu pikir! Aku pulang hanya berapa kali dalam satu bulan, dan kamu selalu nggak punya waktu," bentak Rizki.
Joanna beringsut mundur, antara takut dan menghindari pertikaian yang lebih besar lagi. Dengan berlinang airmata, dia menggendong Celyn, putri kecilnya yang baru berusia dua tahun. Balita mungil yang baru belajar bicara itu terus merengek, rewel. Pengasuh bilang, seharian Celyn tidak mau makan. Seolah Celyn tahu kalau papa dan mamanya sedang tak akur.
Joanna berjalan cepat keluar kamar sembari menggendong Celyn yang tangisannya kian nyaring. Langkahnya terhenti di kursi taman belakang rumah mereka. Istana kecil yang dibeli Rizki setelah menikah, pun dibantu oleh orang tuanya yang termasuk kalangan menengah.
Joanna memangku Celyn. Dia menenangkan putri kecilnya, meski dia sendiri tak mampu membendung derai air mata yang mengalir dengan mudah.
"Jo, aku ini suamimu bukan?" hardik Rizki. Laki-laki itu berdiri di belakang Joanna yang masih menitikkan air mata, diwarnai suara tangis Celyn yang menambah pilu.
"Iya aku tahu, Mas," teriak Joanna.
"Apa susahnya menurut apa kataku, Jo?" sanggah Rizki.
"Jadi, aku harus melupakan baktiku sebagai anak? Itu yang Mas mau?" bantah Joanna yang tak mau mengalah dan tunduk pada perintah suaminya.
"Kamu tetap bisa berbakti pada Ibumu. Mas bisa mencukupi kalian semua. Kenapa kamu meragukan itu, kurang adil apa aku ini?"
Joanna bangkit, berbalik badan menghadap Rizki dengan dada bergemuruh dan ego yang meluap-luap. "Mas nggak mau mengerti aku, keluargaku. Mereka masih butuh aku, Mas. Biaya kuliah adikku tidak murah, dan Mas nggak mungkin menanggung semuanya bukan? Ditambah lagi, orang tua Mas yang mengandalkan ... udahlah Mas. Kapan sih, Mas mau ngerti?"
"Jadi, kamu keberatan kalau orang tuaku menerima sebagian gaji yang kudapat? posisi mereka sama seperti Ibumu, Jo. Sama!" bentak Rizki.
"Iya Mas, sama. Aku tahu itu. Coba Mas pikir, kalau ibuku menerima separuh jumlah gajimu, bukankah Mas harus memberikan separuhnya untuk orang tuamu. Itu baru adil. Apa itu mungkin? Lalu kita sendiri bagaimana?" Joanna tak mau melunak. Dia mempertahankan keyakinan yang dia rasa benar.
Mereka bersitegang, Rizki dan Joanna memiliki argumen yang tak bisa dibantah. Dalam situasi ini, tidak ada yang bisa disalahkan atau dianggap benar.
"Jangan mendebatku, Jo. Aku hanya minta waktumu, bukan yang lain!"
"Lalu aku harus diam di rumah dan merasa bahagia, sementara keluargaku untuk makan saja kesulitan, Mas. Iya begitu?" sanggah Joanna.
"Sudah kubilang dari awal. Seharusnya adik bungsumu nggak perlu kuliah. Dia cowok, sudah bisa cari kerja dengan ijazah SMK," cecar Rizki dengan sudut pandang yang dianggapnya jalan terbaik.
"Nggak bisa gitu! adik Mas yang notabene cewek juga kuliah. Siapa yang menanggung separuh biayanya, Mas juga kan? Lagipula, aku nggak minta Mas biayain hidup keluargaku. Aku masih bisa, Mas. Aku sanggup. Jadi, jangan bersikap, seolah Mas berhak menentukan batas pendidikan adikku."
Joanna tak tahan lagi beradu argumen dengan Rizki. Dia berlalu pergi, meninggalkan Rizki di halaman belakang, mempercepat langkah naik ke lantai dua lalu masuk ke kamar. Joanna tak ingin anaknya terus menerus menjadi saksi pertengkaran orang tuanya. Dia tahu hal itu bisa mempengaruhi psikologis anak sampai dewasa nanti.
Rizki menyusul langkah Joanna. Dia masuk ke kamar yang tidak dikunci dari dalam. Matanya mengedarkan pandangan ke semua sudut. Namun, tak dia dapati Joanna ataupun putri mereka. Rizki mengecek ke kamar mandi, di sana juga tidak ada. Rizki menuruni tangga sembari menerka-nerka kemana perginya Joanna. Samar-samar dia mendengar rolling door garasi terbuka. Rizki berlari keluar dan mendapati Joanna mengeluarkan motor matik.
"Mau kemana malam-malam gini?" tanya Rizki lantang. Laki-laki yang lebih tua tiga tahun dari Joanna itu masih dikuasai emosi. Pertanyaan yang dia lontarkan terdengar seperti bentakan di telinga Joanna.
"Aku mau nenangin diri, Mas. Ke rumah Ibu. Di mana lagi aku bisa menemukan kenyamanan selain di sana," dalih Joanna, senyum sinis menghiasi bibirnya saat mengucapkan kalimat tadi. Secara tersirat dia menegaskan dirinya tak bahagia tinggal bersama Rizki.
"Pergi sana ke rumah Ibumu. Untuk apa kamu tetap di sini kalau tak menghormati aku sebagai suami."
Joanna meradang, yang dia harapkan adalah pengertian dari Rizki. Tetapi apa, Rizki malah terang-terangan mengusirnya pergi. Tangis tanpa suara Joanna makin menjadi, diusapnya pipi dengan kasar sembari menenangkan Celyn yang belum berhenti menangis.
Joanna menyalakan mesin motor dan melaju pelan meninggalkan rumah mereka. Sepanjang perjalanan dia meratapi pernikahannya yang tak berjalan mudah, seperti yang didambakan. Wanita mana yang tak ingin menjadi sosok istri juga ibu seutuhnya. Joanna pun menginginkan peran itu. Namun sebagai anak, dia tidak bisa diam saja melihat ibu dan adik-adiknya kesulitan. Setelah Bapak yang merupakan tulang punggung keluarga, meninggal dunia dua tahun lalu.
"Kamu egois, Mas. Sabar sayang, mama bakal ngerawat kamu dengan atau tanpa papamu,"
~~~~
Holllaaa selamat siang semuanyaaaa .......
Aku udah update bab lima nih,
Bukannya, sekarang baru hari KAMIS ya? iya aku tahu. Soalnya besok kayaknya emak bakal sibuk maksimal jadi updatenya sekarang. Lagi mode baik jangan ditanya-tanyain yeee.......
Tinggal baca ajeee
Regards
Yuke Neza
KAMU SEDANG MEMBACA
Diurnarii
RomanceSampai kapan seseorang bisa memegang komitmen, apabila berdiri di persimpangan antara yang benar dan yang diinginkan? Sanggupkah dia menentukan pilihan?