Teman tanpa Perasaan

1.5K 127 21
                                    

Terima kasih sudah memberikan dukungan dengan menekan bintang

Jangan sungkan untuk berkomentar

Selamat membaca

Mandala tersenyum simpul seraya mengetik sesuatu di laptopnya yang sedari tadi dibiarkan tidur. Dia memutar laptop itu supaya Joanna bisa melihat apa yang dia ketik.

Joanna terhenyak. "Yang benar saja, Di?"

Wanita itu termangu dengan mata membulat sempurna ....

"Jo, gue balik duluan ya?" kata Robby saat berjalan melewati Joanna.

Joanna tersadar dari keterkejutannya, lantas menjawab ucapan Robby dengan seulas senyum. Laki-laki itu keluar dari coffeeshop seraya menggandeng tangan karyawati yang diincarnya tadi. Joanna ragu-ragu melambaikan tangan, sikap untuk mengalihkan gugup yang dialami setelah membaca kalimat yang diketik oleh Mandala.

"Udah sore nih. Aku mau balik juga," dalih Joanna untuk menghindari obrolan lebih jauh lagi.

"Kamu naik apa? Gimana kalau kuantar sampai rumah?" usul Mandala.

"Nggak perlu, Di. Aku bisa pulang sendiri," tolak Joanna.

Mandala tertawa kecil melihat Joanna yang mendadak berubah sikap. Wanita yang duduk di sampingnya itu jelas nampak menghindar.

"Apa yang lucu, Di?" sergah Joanna tidak suka.

"Sekarang malah kamu yang canggung. Iya kan?" ejek Mandala. Dia tak memberi Joanna kesempatan membela diri. Apa yang dikatakannya adalah kebenaran nyata, Joanna memang dibuat salah tingkah dengan kalimat yang dia ketik barusan.

"Tolong jangan bercanda denganku!" Joanna menyilangkan tas serbaguna yang tadi disampirkan pada sandaran kursi tunggal.

"Tunggu Jo, jangan marah," cegah Mandala seraya mencekal pergelangan tangan Joanna.

Joanna menepis tangan Mandala dengan kasar. Ditatapnya dengan sorot mata tajam, laki-laki yang berani menyentuh tangannya di tempat umum. Bagi Joanna hal itu adalah pelecehan yang tidak bisa ditolerir.

"Oke sorry, itu tadi reflek. Aku nggak punya maksud," kilah Mandala sembari mengangkat kedua tangannya ke udara.

"Sekarang gini, apa maksudnya tadi? Kenapa kamu menulis kalimat, Apa masih ada tempat seperti Robby? Orangnya udah cabut. Jelasin! Lima menit dari sekarang, nggak lebih dari itu!" Joanna mulai defensif saat bicara dengan Mandala. Menurutnya kalimat yang ditulis Mandala sangat ambigu, punya banyak makna. Lagi, semua kemungkinan merujuk ke arah perasaan lebih dari teman.

"Nggak ada yang perlu dijelasin, Jo. Aku cuma pengen jadi temanmu, seperti Robby. Apa kamu keberatan?" sangkal Mandala.

Dia berbohong pada Joanna, laki-laki lulusan fakultas teknik informatika itu, menutupi perasaan 'suka' yang dia pendam. Debaran tak menentu saat bersitatap dengan wanita yang duduk di sebelahnya saat ini, adalah pertanda yang tidak bisa dipungkiri. Kalau rasa itu sudah ada, entah sejak kapan dia pun tak tahu pasti.

Seringkali ucapan lisan tak seirama dengan suara hati. Itulah yang terjadi pada Mandala, kekagumannya pada sosok wanita dengan loyalitas tinggi melekat pada diri Joanna. Kagum itu yang diam-diam mengendap lalu berubah makna menjadi rasa yang lain, suka.

"Nggak masalah. Masih banyak, tempat yang kusediakan buat temen-temenku," tegas Joanna.

Pernyataan yang dia katakan adalah penegasan dari kalimat "Cuma sebatas teman." Karena, tanpa dijelaskan secara eksplisit pun, Joanna bisa menerka makna lain predikat "Teman" yang diminta Mandala.

DiurnariiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang