Mengulang Masa Lalu

1.3K 89 5
                                    

Selamat Membaca
Jangan lupa klik ikon bintang ya,
Terima kasih

Rizki menghela napas berat seusai menutup sambungan telpon dengan Joanna. Pandangan mata laki-laki itu menerawang jauh. Dia dilanda kebimbangan menyikapi keras kepala Joanna dan lingkungan kerja istrinya. Bukan karena Rizki tak percaya, tapi sulit baginya meletakkan segenap percaya di tangan Joanna. Semua tentang Joanna tidak ada yang meyakinkan untuk dipercayai. Dari pergaulannya, rekan sekantornya, bahkan Joanna tak sungkan diantar pulang oleh rekan kerja laki-laki, meskipun ada Rizki di rumah.

"Ki ...," panggil seseorang dari belakang Rizki.

Rizki menoleh ke sumber suara, pundaknya disentuh oleh orang itu. Dia berkerut kening mendapati siapa yang berdiri di belakangnya saat ini.

"Boleh aku duduk?" tanyanya.

"Silakan."

Seseorang yang baru datang tadi duduk di samping Rizki. kehadirannya membuat suami Joanna merasa tidak nyaman.

"Mau apa kamu ke sini?" cerca Rizki.

"Kamu nggak suka? Padahal aku nyempetin waktu untuk bisa melihatmu terbang ke Kalimantan," dalihnya. Sebab, dia telah berencana ingin menemui Rizki.

"Berapa kali harus kubilang padamu! Kita nggak perlu ketemu lagi" tegas Rizki memberi peringatan. Laki-laki itu tengah menunggu istrinya datang, berharap sekedar mendapat ucapan selamat jalan. Tapi apa, yang datang malah orang lain.

"Apa aku salah? Cuma pengen ketemu, Ki. Aku nggak minta apa-apa dari kamu," kilahnya seraya menatap lekat suami Joanna.

"Bukan begitu, aku nggak mau kamu salah paham dengan sikapku," ujar Rizki.

"Aku nggak bisa lupain kamu, Ki. Susah. Udah berapa kali aku coba, tapi tetep nggak bisa," keluhnya sedikit berharap.

"Sil, kita udah nggak ada hubungan apa-apa. Jadi tolong, jangan bersikap seolah aku menyakitimu," elak Rizki. Dia menyipitkan mata kala menatap Silvi. Laki-laki itu tak mau ada interaksi sekecil apapun dengan mantan pacarnya selama kuliah, Silvia Margaret.

Dulu, Silvi dan Rizki pernah menjalin hubungan selama tiga tahun. Terhitung sejak Silvi berusia delapan belas tahun, duduk di bangku kelas dua belas. Sedangkan Rizki, kala itu sudah masuk semester enam, kuliah jurusan agrobisnis.

Adik perempuan Rizki adalah teman sekelas Silvi. Oleh sebab itu, Silvi kenal dengan Rizki yang sering mengantar-jemput adiknya pulang sekolah. Silvi juga kerap mengerjakan tugas di rumah orang tua Rizki.

Singkat cerita mereka menjadi dekat dan saling menyukai satu sama lain. Tiga tahun menjalin kisah, namun tak kunjung melangkah ke jenjang yang lebih serius.

"Kamu minta putus tanpa alasan yang jelas, Ki. Setelah itu kamu pergi entah kemana. Lalu kamu balik, ngasih undangan sama aku, pernikahanmu dan Joanna. Kenapa Joanna, reporter yang bekerja satu ruangan denganku? Setiap aku minta penjelasan, kamu selalu bilang nggak ada yang perlu dijelaskan. Semuanya udah berakhir. Berakhir kapan dan kenapa? Aku nggak pernah tahu hal itu." Silvi tak kuasa menahan air matanya. Sudah lama dia ingin meluapkan emosi yang dipendam bertahun-tahun. Wanita yang belum menikah itu, sungguh terluka atas sikap Rizki di masa lalu.

Rizki bangkit dari duduknya, berniat meninggalkan Silvi yang menitikkan air mata. Bukan dia tak peduli pada wanita itu, tapi Rizki berusaha menjaga sikap.

"Kamu pengecut, Ki!" ledek Silvi saat Rizki mau melangkah.

Laki-laki itu berhenti, memutar badan ke samping lalu berjalan mendekati Silvi. Wanita itu menangis pilu, badannya bergetar dengan kedua tangan menutupi wajah. Rizki merasa iba, dia menunduk lalu menyentuh pundak Silvi seraya berucap, "Kamu tahu Sil, apa alasanku pergi. Dan kamu juga tahu kenapa aku berhenti memperjuangkan kita."

Silvi tak bisa menampik kebenaran yang ada, kalau berpisah adalah jalan terakhir yang Rizki pilih. Segala upaya telah mereka lakukan untuk meyakinkan orang tua Rizki. Sebagai anak laki-laki tertua, pun menjadi panutan untuk kedua adik perempuannya, Rizki tak bisa egois untuk mementingkan Silvi. Meskipun, kandasnya hubungan mereka meninggalkan rasa sakit yang sama di hatinya.

"Aku tahu, Ki. Tapi kamu juga harus tahu, aku nggak bisa lupain kamu gitu aja." Silvi bangkit dari duduk, berhambur memeluk Rizki yang berdiri di hadapannya. Silvi meraung, membenamkan wajah di dada mantan pacar yang kini sudah berganti status menjadi suami Joanna.

Rizki kembali terlempar ke masa lalu, di mana dia dan Silvi menjadi pasangan kekasih. Mereka sering pergi berdua, menghabiskan akhir pekan untuk jalan-jalan. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat untuk dilupakan begitu saja.

Rizki yang kala itu berniat melanjutkan hubungannya dengan Silvi ditentang oleh orang tua. Dengan alasan perbedaan keyakinan. Setelah mendapat gelar sarjana di usia 25 tahun, Rizki terpaksa terbang ke Kalimantan untuk mengurus perkebunan milik keluarga besar. Yang artinya meninggalkan semua tentang Silvi.

Semua kenangan itu membuat napas Rizki tercekat di tenggorokan. Tanpa dia sadari, sudut matanya berair. Rizki menyeka bulir bening yang tak bisa dibendung. Dia pun belum bisa menutup rapat kisah cintanya bersama Silvi.

Silvi mengeratkan lilitan tangannya yang melingkar di tubuh Rizki. Wanita itu terbuai oleh memori akan sentuhan yang pernah ia rasakan dulu.

"Ki, aku masih sayang sama kamu. Tolong kamu jangan diemin aku, plis. Biarin aku jadi temenmu, kumohon," ucap Silvi lirih.

Rizki tak sampai hati menolak permintaan Silvi di sela tangisnya. Secara sadar, laki-laki membalas pelukan Silvi. Rizki tak tahu, di mana dia meletakkan perasaanya untuk Silvi, sebagai teman atau mantan pacar yang masih berharap.

"Maafkan aku, Sil," ucap Rizki sembari mengusap punggung Silvi. Dia menghirup dalam-dalam aroma masa lalu yang menguar saat merengkuh tubuh Silvi. Harum yang dulu selalu Rizki rindukan.

"Aku boleh bilang sesuatu, Ki?" tanya Silvi seraya mengurai pelukan. Wanita itu mendongak, menatap mata Rizki yang memerah. Dia tak segan mengusap pipi Rizki.

"Apa, Mel?" Rizki menahan tawa ketika menyebut Silvi dengan panggilan sayangnya dulu. Mereka berdua tersenyum bahagia, mengenang kisah lama yang pernah ada.

"Jangan panggil aku comel. Yang ada aku tambah nyesek," protes Silvi. Dia merapatkan bibir, pura-pura tak mau, padahal sebenarnya dia menyukai panggilan itu.

Rizki mengusap perlahan pipi Silvi, "Kamu mau bilang apa?" tanya Rizki kemudian.

"Aku kangen, sungguh. Aku kangen sama kamu." Silvi mengutarakan suara hatinya lirih sembari menundukkan wajah. Dia malu, tapi ingin meluapkan rasa rindu yang menyesakkan dada.

Rizki menyentuh dagu Silvi, menengadahkan wajah sendu wanita yang dulu sangat dia cintai. Dalam benaknya, Rizki ingin mengatakan hal yang sama, rindu. Rindu semua yang pernah mereka lewati bersama. Namun Rizki hanya membenak dalam diamnya, "Rindu saat aku dan kamu menjadi kita."

"Kangen dalam artian?" selidik Rizki.

"Cuma kangen. Apa kangen juga nggak boleh?" keluh Silvi semakin cemberut.

"Boleh, tapi untuk apa dulu. Kamu tahu semua tak lagi sama saat ini," terang Rizki. Dia tersenyum pada Silvi, dengan harapan wanita yang berdiri tepat di depannya itu akan mengerti dengan kondisi mereka berdua.

"Aku tahu, cuma sebatas kangen. Itupun kalau kamu nggak keberatan. Apa boleh aku ingin menjadi teman. Jika memungkinkan?" Pertanyaan Silvi sebagai bentuk penegasan atas status yang ingin di milikinya sekarang, sebagai teman.

"Untuk kata 'teman' tentu boleh."

"Makasih Ki," pekik Silvi. Sontak dia memeluk Rizki lagi.

Lagi-lagi, perasaan aneh menyelusup relung hati Rizki. Dia tak ingin mengurai pelukan itu, ada bintik warna yang pernah hilang dari hidupnya. Apakah Rizki masih ....

~~~~~

Nggak ada yang mau ngomel sama Emak kan ya?

Hahahaha part ini, nulisnya susah. Makin susah lagi part-part selanjutnya.

Siap-siap bakal diurai satu-satu apa yang kusut dan jadi tanda tanya.

Emak mau rehat dulu, pening kepala Emak.

Salam

Yuke Neza

DiurnariiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang