Selamat membaca
Jangan lupa klik ikon bintang yes, biar Emak semangat nulisKomen juga ditunggu deh, jangan sungkan berkomentar asal sopan
Merci
Mandala terus memperhatikan gerak-gerik Joanna yang sedari tadi tampak gelisah. Diajak ngobrol pun tidak fokus, beberapa kali jawaban yang diberikan terkesan ngambang. Apa baiknya Mandala berterus terang saja, apa yang dipendamnya tak mengenakkan penasaran.
"Jo ...," panggil Mandala.
Joanna mendongak, tangannya berhenti mengetik naskah yang belum selesai. "Iya, Di?"
Mereka bersitatap sebelum keduanya membuang muka. Joanna mengalihkan pandangan ke panggung kafe yang menampilkan live music akustik. Sedangkan Mandala menunduk sembari meminum double espresso yang dipesannya.
"Kamu mau ngomong apa?" tanya Joanna kemudian.
"Em, kamu sehat? Maksudku, kamu kelihatan nggak fokus. Kalau lagi nggak enak badan, mending kuantar pulang aja. Ini bisa diselesaiin besok," bujuk Mandala. Dia tersenyum lebar untuk menutupi rasa canggung. Pun setengah menertawakan diri sendiri karena bertingkah seperti orang bodoh di depan Joanna.
"Aku nggak apa-apa kok. Oh ya, ini bentar lagi kelar. Coba baca sebentar, udah bagus apa belum?" Joanna menggeser laptopnya agar Mandala pun bisa membaca naskah yang sedang dia garap.
Mandala membaca sekilas artikel yang ditulis Joanna. Sebenarnya, Mandala tahu Joanna tak menemui kesulitan saat mengetik artikel semacam ini. Sudah bidang pekerjaan reporter, sedang Mandala tak sepenuhnya tahu aturan yang mengikat dan bahasa yang baik, juga benar dalam menulis satu berita. Kiprah Mandala tak jauh-jauh dari aplikasi desain dan rancangan layout yang menarik di mata pembaca.
"Udah bagus," imbuh Mandala. Dia menunjuk kalimat yang dinilai tendensius. "Coba yang ini tambahi kata 'mungkin memang' biar kamu nggak kelihatan subyektif dan menghakimi pihak lain," usul Mandala.
"Ah I see. Mungkin ini yang sering terjadi, tapi aku nggak sadar. Kayaknya, aku emang kurang netral kalau nulis opini publik."
Joanna tergelak, menertawakan diri sendiri yang terlalu serius dan membawa perasaan pribadi dalam menulis opini publik. "Harusnya emang, bisa memukul rata semua orang seperti nulis esai ya," imbuh Joaanna.
"Pantesan, Pak Bayu sering minta koreksi ulang," kata Mandala.
"Hehehe, emang salahku sih. Cuma Pak Bayu nggak pernah bilang, tulisanku kurang gimana atau salah di mana. Kan aku nggak ngeh gimana sudut pandang dia. Duh, aku jadi malu." Joanna tersenyum konyol.
"Udah, ganti dulu kalimat itu. Nanti lupa," pinta Mandala.
Joanna segera menambahkan kata 'mungkin' yang disarankan Mandala. "Udah, ada lagi nggak nih?" tanya Joanna ingin tahu.
"Nggak ada. Selesaiin dulu sampai penutupan. Abis ini kita pulang."
"Oke, siap. Bentar." Joanna meneruskan pekerjaannya yang tinggal satu paragraf penutupan.
Mandala menatap lamat wanita yang tengah memainkan keyboard di depannya. Hanya dengan memandang wajah Joanna saja, layouter itu merasa bahagia. Jika boleh meminta, ingin setiap hari Mandala mengahbiskan waktu berdua dengan Joanna seperti yang terjadi saat ini. Sayangnya, itu hanyalah angan yang tak kan mungkin bisa terwujud. Adakalanya, atau malah waktu bersama dengan wanita yang dia cintai adalah momen langka yang jarang terjadi. Mandala bukan laki-laki bodoh yang tidak bisa membaca gelagat Robby. Kameramen yang selalu mendampingi Joanna itu sudah menunjukkan sikap tidak sukanya pada Mandala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diurnarii
RomanceSampai kapan seseorang bisa memegang komitmen, apabila berdiri di persimpangan antara yang benar dan yang diinginkan? Sanggupkah dia menentukan pilihan?