Bukan Deadline

5K 348 16
                                    

"Yang ini, Jo?" tanya Robby sambil menunjukkan botol kecil berisi obat yang ditemukannya. Namun tidak ada jawaban. Betapa paniknya Robby ketika menoleh ke belakang. Dia mendapati Joanna yang terpejam, tangannya lunglai menyentuh karpet.

"Jo, lo kenapa? Pak, tolong berhenti Pak. Joanna!" pekik Robby.

Dia bergegas keluar saat mobil berhenti di tepi jalan. Pak Sopir pun tak kalah panik, dua laki-laki beda generasi itu sama-sama bingung. Mereka tidak tahu, apa yang terjadi pada Joanna.

"Kita bawa ke klinik terdekat, Mas?" usul pak sopir sembari mengelap bulir keringat di dahinya. Dia pun khawatir melihat Joanna terkulai lemas. "Bagaimana, Mas?" tanyanya ketika melongok ke dalam mobil yang pintunya dibiarkan terbuka.

Robby mendekatkan jari telunjuknya ke lubang hidung Joanna. "Jo, sadar. Jangan bikin gue panik. Jo ... Joanna?" Robby mengguncang-guncangkan tubuh Joanna.

"Kita bawa ke klinik saja, Mas. Kasihan Mbak Joanna," bujuk pak sopir.

"Iya Pak. Takut terjadi apa-apa," ucap Robby setuju.

Pak sopir bergerak cepat, dilajukannya mobil yang mereka tumpangi menuju klinik atau rumah sakit yang paling dekat. Sedangkan Robby menemani Joanna di jok tengah. Dia bersimpuh di bawah sambil mengawasi Joanna yang tak sadarkan diri. Sesekali Robby membenahi letak kepala Joanna supaya rekannya itu mendapat posisi yang nyaman.

Benak Robby diterpa kecemasan lain. Dia tidak tahu harus menghubungi siapa tentang kondisi Joanna. "Pak ...," panggil Robby.

"Iya Mas, bentar lagi sampai. Di depan sana ada klinik bersalin, tak apa kan?"

"Bukan itu masalahnya, Pak. Saya bingung."

"Kenapa Mas?" tanya pak sopir.

"Nggak apa-apa. Cepat sedikit Pak."

Robby menggeleng, urung meminta pendapat dari pak sopir. Dia merasa tidak perlu ada orang lain yang tahu. Robby teringat prinsip yang dipegang Joanna. Bukan, sebisa mungkin dia tak ingin merepotkan orang lain.

"Rob," panggil Joanna lirih ketika mobil mereka berhenti di parkiran klinik.

"Iya Jo, lo udah sadar." Senyum sumringah menghiasi bibir Robby ketika Joanna menggeliat dan pelan-pelan membuka mata. "Mana yang sakit?" tanya Robby memberi perhatian.

"Gue nggak apa-apa. Di mana ini?" Joanna mencoba bangun sambil memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri. Robby membantu Joanna duduk, diambilkannnya botol air mineral yang terselip di keranjang bagian belakang jok. "Minum dulu, kita sampai klinik."

"Jangan bercanda, Rob. Ini klinik bersalin?" sergah Joanna setelah membaca plang nama klinik yang mereka datangi.

"Nggak apa-apa lah. Yang penting lo diperiksa dulu. Lagian, ini yang paling deket. Yuk!" bujuk Robby sembari menggamit tangan Joanna.

Robby tahu, wanita keras kepala di depannya itu paling susah dibujuk. Harus dengan cara lembut supaya Joanna mau mengalah, semakin dipaksa, dia akan membantah dengan kalimat kritis. Jangan coba-coba adu argument dengan Joanna, wanita 27 tahun sarjana psikologi. Kamu akan dibungkam dengan mudah olehnya. Maka dari itu, Robby memutar otak, merangkai kata yang tepat untuk membujuk Joanna.

Bukan cuma Robby, dalam rapat direksi pun, Joanna sering bersikap frontal dalam menyampaikan pendapat. Juga saat berdiskusi tentang sesuatu, Joanna selalu kekeuh menyuarakan isi kepalanya. Apalagi kalau dia sudah berkeyakinan, bahwa dirinya benar.

"Gue nggak apa-apa, kita langsung ke bandara aja," dalih Joanna. Robby berdecak sebal. Dia sudah menduga Joanna akan bersikap seperti itu. "Puter balik aja, Pak," perintah Joanna.

DiurnariiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang