Untuk Dia

1.1K 57 2
                                    

Mandala keluar kamar dengan tas punggung bertengger di punggungnya. Laki-laki itu mengenakan celana panjang dengan atasan kemeja pendek, tak ketinggalan jaket berbahan jeans untuk menghalau udara dingin di malam hari. Abah dan Umi yang tengah duduk di teras sontak berdiri ketika melihat Mandala keluar dari ambang pintu. Mereka bertiga saling melempar pertanyaan dalam diam.

"Abah, Umi, aku—"

"Kamu mau ke mana, Le?" potong Umi.

"Aku harus balik ke Jakarta malam ini juga, Umi," jawab Mandala yakin.

Mata wanita yang berumur lebih dari separuh abad itu berkaca-kaca. Rasa rindu berubah menjadi nyeri tak tertahan, melihat anak laki-laki sulungnya secepat itu ingin pergi. Baru saja pagi tadi wanita itu merasakan angin sejuk berembus masuk ke rongga pernapasannya. Belum sampai sehari dia merasakan hangatnya rumah, sebab anak laki-lakinya pulang.

"Untuk apa pulang, nek mung gawe Umi-mu tambah sedih," sanggah Abah dengan suara berat.

"Ada kerjaan mendadak yang nggak bisa ditinggal, Abah. Lagipula aku sudah tahu kenapa Abah dan Umi memintaku pulang. Ngapunten, aku belum bisa jawab sekarang. Misal Pak Kiai menanyakan apa jawabanku. Bilang pada beliau, aku masih mau fokus meniti karir. Aku ndak mau beliau menggantung harapan besar padaku, apalagi menyangkut masa depan putrinya."

Dalam hati, Mandala menjeritkan penolakan atas kemauan orang tuanya. Tetapi, dia tak sampai hati berkata jujur. Mereka pun pasti kecewa kalau tahu kesalahan hati Mandala menjatuhkan pilihan.

Berkali-kali Mandala membenak. Seandainya wanita yang dia cintai tidak berstatus milik orang lain. Seandainya Joanna seorang single parent-pun, Mandala tak akan keberatan sama sekali. Bukan bermaksud meminta keburukan terjadi pada Joanna. Cuma seandainya saja, Mandala pun tahu apa yang dia andaikan adalah sesuatu yang mustahil terjadi. Seandainya dan hanya seandainya.

"Kamu menolak karena punya pilihan sendiri?" selidik Abah.

Mandala menahan napas. Pertanyaan yang dilontarkan abah serasa mencekik lehernya, hingga dia kesulitan bersuara. Mandala tak berani berbohong, terlebih lagi pada umi yang sangat dia sayangi. Mandala tak mau mematahkan harapan umi, apalagi membuatnya kecewa sebab tak menyetujui perkenalan dengan putri pak kiai.

"Aku sudah bilang belum, Abah," kilah Mandala.

"Sudah, tapi aku nggak bisa mengenalkan dia. Andai saja dia bukan istri orang. Aku pasti sudah membawanya ke sini."

"Apa ndak bisa berangkat besok saja, Le?" tanya Umi lirih. Bulir bening yang tak terbendung mengalir di kedua pipi umi. Wanita itu berhambur memeluk putra sulungnya.

Mandala membalas pelukan. Tanpa terasa dia pun menangis dalam diam, pilu menghujam jantung hatinya. Membuat air mata umi menitik sudah seperti dosa besar yang menghantui Mandala. Bagaimana dengan kenyataan pahit yang Mandala sembunyikan, betapa kecewanya umi kalau sampai tahu. Putra yang dia banggakan menaruh hati pada istri orang, bahkan sempat berpikir untuk merebut wanita itu dari suaminya.

Mandala mengurai pelukan uminya lantas berucap, "Umi kenapa sedih? Dalam waktu dekat aku akan minta cuti. Jadi, nggak akan terganggu dengan pekerjaan kalau pulang ke rumah." Laki-laki itu mengusap air mata umi. Berharap hatinya yang basah oleh cinta bisa kering secepat derai air mata yang tak terbendung.

"Umi masih kangen, Le. Rumah ini sudah lama sepi. Kamu dan adikmu sama saja. Apa kalian ndak kangen sama umi ini?"

"Aku pergi dulu, Umi, Abah. Mohon do'a kalian untuk selalu menyertaiku di manapun berada. Assalamualaikum."

DiurnariiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang