Redaktur Penguntit

2.7K 165 33
                                    

"Gue nggak pernah ngasih nomer lo ke siapapun."

Joanna terdiam. Kalau bukan Robby, lantas darimana Bayu bisa tahu?

"Jo, hello ... kesambet apa? Malah diem," cerca Robby sambil melambaikan tangan di depan wajah Joanna.

Joanna mengerjap lalu membuka layar ponselnya lagi. Digesernya pesan dari Bayu yang lain, mencari percakapan beberapa hari lalu. Saat pertama kalinya Bayu mengirim pesan pada Joanna.

"Ini Rob, coba lo baca?" Joanna menyerahkan hapenya pada Robby.

Robby menyahut ponsel itu dengan sigap, dibacanya baik-baik apa yang tertulis di sana. Titi mangsa chattingan itu tertulis dua minggu yang lalu.

"Selamat malam Jo. Apa saya mengganggu?"

"Malam, dengan siapa ini?"

"Saya Bayu. Apa kamu keberatan saya menyimpan nomer ini?"

"Pak Bayu apa bukan?"

"Benar. Ada yang perlu saya bicarakan. Maka dari itu saya menghubungimu?"

"Bisa lewat grup atau kontak bisnis saya Pak kalau soal pekerjaan?"

"Memang soal kerjaan, tapi nomer bisnis kamu tidak aktif sejak tadi sore."

"Maaf, saya lupa kalau menonaktifkan nomer itu. Jadi ada apa Pak?"

"Sebelumnya saya mau memberi tahu, kalau saya mendapatkan nomer ini dari rekan kerjamu. Dia memberikannya sebab saya bilang ada perlu."

"Ini ada beberapa hal yang harus kamu revisi. Saya kirim filenya dulu."

"Filenya sudah saya terima. Menurut Bapak, mana yang belum sesuai?"

Robby berkerut kening membaca pesan-pesan selanjutnya, yang memang membicarakan pekerjaan. Bagi Robby, yang Bayu lakukan itu sangat janggal. Kalau membahas pekerjaan dan sebagainya, ada grup redaksi juga grup internal per satu tim peliput. Lalu, kenapa topik yang seharusnya diketahui semua anggota tim, malah dibicarakan secara personal. Terjawab sudah pertanyaan yang menggantung di benak Robby belakangan ini. Sudah beberapa hari, dia tidak melihat ada diskusi tuntas di kantor, semuanya berjalan lebih cepat dan segera terselesaikan. Tidak seperti yang dulu-dulu, sampai ada perdebatan alot, apalagi kalau melibatkan penilaian secara subyektif.

"Rob, kok malah diem sih? Bener! Bukan lo yang ngasih nomer gue ke Pak Bayu?" tanya Joanna.

Robby menggeleng lalu membenahi posisi duduk menghadap ke depan. Dia menyalakan komputer di depannya juga mengeluarkan laptop pribadi dari dalam tas. Saatnya memulai pekerjaan, mengedit beberapa video yang dia dapat dari lapangan. Laki-laki lulusan universitas swasta jurusan broadcasting itu memendam gelenyar aneh, yang merayap di sudut hatinya. Dua kata yang ingin Robby ucapkan soal aktivitas berbalas pesan antara Joanna dan Bayu, NGGAK SUKA. Namun, Robby menahan lidahnya melontarkan kata yang tidak berdasar atau memiliki alasan untuk dikatakan.

"Lalu siapa, Rob? Nggak banyak yang tahu nomer pribadi gue. Waktu Pak Bayu bilang dapet dari rekan kerja, gue pikir itu dari lo," keluh Joanna yang masih berdiri di samping Robby. Dia menyandarkan beban tubuhnya pada meja besar yang disekat menjadi beberapa kubikel kecil.

"Mana gue tahu, Jo. Duduk sana!" perintah Robby seraya mengibaskan tangan.

"Lo masuk kerja, Jo? Padahal, gue udah beli buket bunga sama parsel buah-buahan. Khusus buat lo," cerca seorang reporter lain. Joanna berbalik badan lalu menatap sinis wanita yang berdiri di seberang kubikelnya.

DiurnariiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang