Akhirnya Dia Kembali

1.6K 63 3
                                    

Joanna melirik jam tangan yang dia kenakan, baru pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Dia menyapu pandang ke penjuru ruangan yang masih sepi. Sudah dua hari ini Joanna selalu berangkat pagi. Tidak lain dan tidak bukan supaya cepat pergi dari rumah, melarikan diri dari tatapan tajam Rizki. Pun menghindari konflik berkepanjangan. Dalam waktu dekat, Joanna merasa tidak perlu ada bahasan, selama mereka berdua belum bisa meredam emosi dan membicarakan semuanya dengan kepala dingin.

Dering telpon meja mengalihkan perhatian Joanna dari deretan Palatino yang sedang dia edit. Wanita itu menghela napas seraya meraih gagang telepon di samping kanannya, mendekatkan alat komunikasi konvensional itu ke telinga.

"Halo selamat pagi, Joanna Anggita di sini," sapa Joanna beramah tamah.

"Jo, bisa ke ruangan saya. Sekarang?"

Joanna terdiam membisu, mendadak sesak napas, paru-parunya kesusahan menghirup pasokan udara untuk melegakan pernapasan. Tidak mungkin dia pergi begitu saja menuruti perintah orang yang dihindari.

"Jo, kamu masih di sana?" tanya Bayu di seberang telepon.

"Iya ... apa harus sekarang, Pak?" jawab Joanna terbata-bata.

"Saya tunggu sekarang juga!" Bayu menutup sambungan telepon sepihak.

Joanna menurunkan tangannya yang lemas. Sekarang harus bagaimana, tidak di rumah atau di kantor, di dua tempat dia harus menghindari orang yang berbeda. Baginya ini sangat tidak adil.

Wanita itu menutup wajah dengan kedua tangan lalu membenam di meja kerja. Air matanya menitik, kalut. Hati begitu perih. Sekejap saja Joanna ingin lari dari keadaan yang tidak memihak padanya. Adakah tempat untuk bersembunyi dan bebas dari semua masalah yang harus dia hadapi.

"Jo, lo kenapa?" tanya Robby yang baru datang. Laki-laki itu menyentuh pundak wanita yang terdiam, membenamkan wajah di meja kerja.

Joanna mengusap kedua pipi basah sebelum mendongak. Lalu menoleh ke Robby yang berdiri di samping kanannya. Laki-laki itu tersenyum manis, meski mendapati Joanna dengan mata kusut dan mata sembab. Wanita yang dia sayangi terlihat menyedihkan.

"Lo nangis? Kenapa sih?"

Robby menggeret kursi kerjanya agar mendekat dengan posisi duduk Joanna. laki-laki itu mengusap kedua pipi Joanna yang basah karena rembesan air matanya belum berhenti mengalir. Tak dia pedulikan lagi segala tatapan kurang bersahabat orang lain, prasangka yang dituduhkan, juga fitnah yang kian santer terdengar. Semua itu tak lebih penting dari apa yang dia janjikan pada diri sendiri juga maminya, menjaga Joanna tetaplah jadi prioritas.

"Gue ...." Joanna ragu-ragu menjawab.

Robby menautkan alis menunggu jawaban Joanna. Karena wanita itu tak kunjung bersuara, dia pun protes, "Lo kenapa?"

Digenggamnya tangan Joanna yang tertumpu di atas meja.

"Pak Bayu minta gue ke ruangannya."

"Sekarang?" cerca Robby.

"Dari tadi, tapi gue nggak mau ke sana sendiri."

"Ya udah gue temenin. Bentar gue naruh tas dulu," Robby menanggalkan tas punggung yang dia panggul. Diletakkan tas itu dengan hati-hati di atas meja kerjanya sendiri.

Tak sengaja mata Joanna menangkap sosok yang sangat dia kenali keluar dari lift kantor. Laki-laki yang dua hari lalu bilang ingin pulang kampung. Tidak salah lagi, yang dilihat Joanna adalah Mandala Husein. Joanna mengamati setiap gerak laki-laki yang sudah membawa pergi hatinya. Mandala meletakkan sebuah map di meja kerja reporter lain lalu masuk lagi ke lift menuju lantai atas, di mana ruang kerjanya berada.

Tanpa sadar Joanna bangkit dari duduk, mengabaikan Robby yang bersiap menemaninya ke ruangan Bayu.

"Jo, lo mau ke mana? Ruangan Pak Bayu di sebelah sana!" seru Robby dengan jempol mengacung ke arah ruang redaktur yang dia punggungi.

Joanna terus melangkah maju. "Ngejar DL," jawabnya sembari mempercepat langkah.

Air matanya menetes lagi, alirannya begitu deras hingga wanita itu kepayahan mengelap pipi. Dia tak kuasa menahan rindu, sakit hati yang tak terperi.

"Kenapa kamu nggak bilang kalau udah balik, Di? Kenapa kamu nggak ngasih kabar sama aku. Aku kangen sama kamu, Di."

Joanna berlari menuju lantai atas dengan naik tangga. Cuma satu lantai, tidak ada gunanya menunggu lift yang masih ada di puncak gedung. Kesabaran wanita itu tak tersisa lagi, sampainya di depan pintu yang tertulis nama Mandala Husein, Joanna menarik napas dalam beberapa kali. Berusaha bersikap tenang meski hanya sedikit pasokan udara yang dia hirup.

Mandala yang berdiri membelakangi pintu, sontak menoleh saat derit kayu bergesek dengan lantai mengusik telinganya. Laki-laki itu tersenyum kala melihat wanita yang dia cintai. Tak berselang lama, sang layouter terhenyak ketika Joanna menutup pintunya lagi dan memutar anak kunci.

Joanna mengelap kasar air mata yang terus merembes dari ceruk mata. Seraya berjalan menghampiri Mandala dia makin sesenggukan. Pikiran Joanna begitu kalut, tak ada yang baik dalam hidupnya saat ini. Keadaan berubah, seolah tak memberi celah untuk Joanna bisa sedikit merasa bahagia.

"Kenapa kamu nggak bilang kalau udah balik?" keluh Joanna ketika berdiri di hadapan Mandala.

Laki-laki itu mendekati Joanna dengan beragam pertanyaan tercetak di benaknya.

"Kamu kenapa?" tanya Mandala sambil menelengkan kepala agar bisa menatap wajah wanita yang dia cintai.

"Aku kangen," tutur Joanna lirih. Dia terus menunduk, tak berani menatap wajah Mandala yang sangat dia rindukan.

"Iya, tapi ada apa?" selidik Mandala ingin tahu. Laki-laki itu membenak semua kemungkinan yang mungkin terjadi. Tidak mungkin kan, hanya karena dirundung rindu, Joanna bisa sesedih itu. Pasti ada alasan di balik air mata yang mengalir di kedua pipi yang tak tersapu perona.

Joanna menyandarkan kepalanya di dada Mandala. Dengan kesadaran penuh, dia melingkarkan tangan di pinggang laki-laki yang bukan suaminya. Kewarasan wanita itu tergerus oleh masalah yang harus dia hadapi. Logikanya tahu, bahwa dia seharusnya bisa menjaga harga diri dan martabat. Namun, apa perlunya semua itu, jika orang yang harusnya melindungi malah menginjak-injak harga diri yang setengah mati Joanna pertahankan.

Yang Joanna inginkan saat ini adalah rasa aman. Dilindungi. Juga sandaran yang bisa menopang tegak kakinya. Wanita itu ingin menyuarakan semua sesak yang menggumpal di dadanya. Menjerit sekeras mungkin kalau saja hal itu bisa dilakukan.

Mandala pun membalas pelukan Joanna. Sejenak mereka larut dalam luapan cinta terlarang. Kasih yang begitu tulus tanpa meminta balasan, apalagi sebuah pengakuan berupa status. Terpisah raga tak menjadikan rasa mereka lantas ikut tercerai. Ada rasa murni yang tak didasari nafsu apalagi ego. Mereka hanya saling mencintai tanpa ungkapan. Mengasihi tanpa disebut kekasih. Memiliki hanya dengan bertaut hati.

"Aku ...." ucap mereka bersamaan.

"Ada hal penting yang mau kubicarakan. Sebelum itu, kamu bilang dulu ada apa? Sayangku kenapa nangis?" ucap Mandala berusaha mengalah.

"Bilang dulu apa yang penting."


Bersambung ....

Tulisan ini nggak tak edit lagi setelah tamat ketik beberapa bulan lalu. Aku menyadari sudah ada banyak perubahan jika dibandingkan dengan cara menulisku yang sekarang.

Entahlah, kadang prosea itu tidak kita sadari penuh. Perubahan-perubahan kecil atau besar yang bahkan lewat dari perhatian.

FYI cerita ini tinggal tiga bab lagi versi Wattpad. Aku berharap kalian nggak kecewa dengan akhir kisahnya ....

Love you all, doakan aku bisa aktif lagi kayak dulu.

DiurnariiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang